Baru-baru
ini, dipenghujung tahun 2016, kawasan ujung utara Pulau Sumatera, kembali
diguncang gempa. Korban pun berjatuhan. Rumah, masjid, toko, sekolah, dan
gedung perkantoran roboh berantakan. Nestapa pun mengharu biru, mengundang
simpati anak negeri. Seluruh elemen membantu memberikan donasi sebagai bentuk
solidaritas sesama warga bangsa. Bahkan ada yang menyediakan diri datang ke
lokasi membantu evakuasi, langsung membantu mengurangi derita korban bencana.
Konon,
menurut catatan, di wilayah Sumatera utara itu paling sering dilanda gempa, dan
yang paling besar adalah gempa yang diikuti oleh tsunami. Sayang semua itu
kurang dijadikan pembelajaran bagi pemda dan bagi mereka yang berdomisili di
wilayah itu. Gempa Sumatera utara pun disusul dengan banjir bandang di Kota
Bima, Nusa Tenggara Barat dan longsor di kawasan Jawa Barat. Entah daerah mana
lagi yang akan menyusul.
Sehingga,
ketika ada gempa (juga banjir dan longsor), korban pun tetap berjatuhan dan
kerusakan infrastruktur juga terjadi disana sini, seolah konsep kesiapsiagaan
dan mitigasi bencana hanya indah saat diseminarkan, dipamerkan, dan
diseremonialkan. Namun tidak dipahami, apalagi diamalkan dalam kehidupan
masyarakat seperti yang diharapkan oleh ajakan menumbuhkan budaya tangguh
bencana, Living in Harmony With Risk.
Tampaknya,
program sosialisasi pengurangan risiko bencana (PRB) di daerah terdampak, serta
upaya mitigasi dan simulasi penanggulangan bencana belum dianggap penting,
kurang dianggarkan dalam program rutin BPBD Provinsi, Kabupaten/Kota setempat.
Sehingga budaya tangguh bencana yang digaungkan BNPB hanyalah sekedar ada
daripada tidak ada. Termasuk program diklat peningkatan kapasitas relawan pun
seringkali tidak ada tindak lanjutnya.
Sehingga,
saat terjadi bencana, sering timbul miskomunikasi dan miskoordinasi antara
relawan dengan pengelola Pos Komando, dalam BPBD yang mempunyai peran komando, koordinator,
dan pelaksana dalam penanggulangan bencana. Kalau sudah begini, maka relawan
pun (biasanya) akan bergerak sendiri sesuai kebisaannya dan kenekatannya.
Memang,
pada umumnya, kawan-kawan relawan lebih fokus pada kegiatan tanggap bencana.
Seperti ikut operasi SAR, evakuasi korban, pengadaan tempat pengungsian, dapur
umum, distribusi logistik, dan penggalangan dana. Semetara untuk kegiatan pra
bencana, seperti mitigasi dan kegiatan pengurangan risiko bencana, belum banyak
diminati. Padahal, urusan bencana itu meliputi pra bencana, tanggap bencana,
dan pasca bencana.
Untuk
kegiatan pra bencana, banyak yang harus dilakukan, diantaranya, menyusun Kajian
Risiko Bencana, membuat Rencana Penanggulangan Bencana, Rencana Mitigasi, Renkon,
Renop, dan Rencana Pemulihan Pasca Bencana. Penting juga melakukan Identifikasi
Kerentanan, Potensi Bencana, Kapasitas, Sumber Daya yang bisa dimanfaatkan, dan
lainnya.
Masalah
diatas itu masih harus dijabarkan secara rinci dalam dokumen tersendiri, dengan
harapan saat terjadi bencana, penanganannya bisa lebih cepat, efektif, efisien,
tepat sasaran, dan terukur. Termasuk siapa melakukan apa, juga telah tertata
dengan baik sesuai komitmen yang dibangun dalam renkon maupun renop.
Memang,
dalam masa tanggap bencana, masih sering terjadi ego sektoral yang merusak
tatanan kesepakatan operasi penanggulangan bencana. Inilah yang harus
dikomunikasikan dengan baik, dan relawan pun hendaknya dilibatkan agar memahami
tentang perbedaan cara pandang penanggulangan bencana
Kondisi
yang demikian inilah, tampaknya mulai ditepis oleh BPBD Provinsi, Kabupaten dan
Kota. dengan menyediakan anggaran penyelenggaraan simulasi penanggulangan
bencana, baik untuk pelajar maupun khalayak ramai, sebagai upaya menuju masyarakat
tangguh bencana, yaitu masyarakat yang mampu
mengantisipasi dan meminimalisir kekuatan yang merusak, melalui adaptasi.
Mereka juga mampu mengelola dan menjaga struktur dan fungsi dasar tertentu
ketika terjadi bencana. Dan jika terkena dampak bencana, mereka akan dengan
cepat bisa membangun kehidupannya menjadi normal kembali atau paling tidak
dapat dengan cepat memulihkan diri secara mandiri.
Dengan
kata lain, melalui penyuluhan, apel kesiapsiagaan, gladi lapang, dan simulasi
bencana, masyarakat akan semakin sigap, tanggap dan tangguh dalam menghadapi
bencana. Itu bisa cepat terwujud jika keberadaan relawan terlibat dalam
kegiatan pra bencana seperti tersebut diatas, tentu dengan fasilitasi dari
mereka yang berwenang secara hokum menangani masalah penanggulangan bencana. Salam
Kemanusiaan. [eBas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar