Selasa, 17 Januari 2017

SIMULASI MENUJU MASYARAKAT TANGGUH BENCANA

Baru-baru ini, dipenghujung tahun 2016, kawasan ujung utara Pulau Sumatera, kembali diguncang gempa. Korban pun berjatuhan. Rumah, masjid, toko, sekolah, dan gedung perkantoran roboh berantakan. Nestapa pun mengharu biru, mengundang simpati anak negeri. Seluruh elemen membantu memberikan donasi sebagai bentuk solidaritas sesama warga bangsa. Bahkan ada yang menyediakan diri datang ke lokasi membantu evakuasi, langsung membantu mengurangi derita korban bencana.

Konon, menurut catatan, di wilayah Sumatera utara itu paling sering dilanda gempa, dan yang paling besar adalah gempa yang diikuti oleh tsunami. Sayang semua itu kurang dijadikan pembelajaran bagi pemda dan bagi mereka yang berdomisili di wilayah itu. Gempa Sumatera utara pun disusul dengan banjir bandang di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat dan longsor di kawasan Jawa Barat. Entah daerah mana lagi yang akan menyusul.

Sehingga, ketika ada gempa (juga banjir dan longsor), korban pun tetap berjatuhan dan kerusakan infrastruktur juga terjadi disana sini, seolah konsep kesiapsiagaan dan mitigasi bencana hanya indah saat diseminarkan, dipamerkan, dan diseremonialkan. Namun tidak dipahami, apalagi diamalkan dalam kehidupan masyarakat seperti yang diharapkan oleh ajakan menumbuhkan budaya tangguh bencana, Living in Harmony With Risk.

Tampaknya, program sosialisasi pengurangan risiko bencana (PRB) di daerah terdampak, serta upaya mitigasi dan simulasi penanggulangan bencana belum dianggap penting, kurang dianggarkan dalam program rutin BPBD Provinsi, Kabupaten/Kota setempat. Sehingga budaya tangguh bencana yang digaungkan BNPB hanyalah sekedar ada daripada tidak ada. Termasuk program diklat peningkatan kapasitas relawan pun seringkali tidak ada tindak lanjutnya.

Sehingga, saat terjadi bencana, sering timbul miskomunikasi dan miskoordinasi antara relawan dengan pengelola Pos Komando, dalam BPBD yang mempunyai peran komando, koordinator, dan pelaksana dalam penanggulangan bencana. Kalau sudah begini, maka relawan pun (biasanya) akan bergerak sendiri sesuai kebisaannya dan kenekatannya.

Memang, pada umumnya, kawan-kawan relawan lebih fokus pada kegiatan tanggap bencana. Seperti ikut operasi SAR, evakuasi korban, pengadaan tempat pengungsian, dapur umum, distribusi logistik, dan penggalangan dana. Semetara untuk kegiatan pra bencana, seperti mitigasi dan kegiatan pengurangan risiko bencana, belum banyak diminati. Padahal, urusan bencana itu meliputi pra bencana, tanggap bencana, dan pasca bencana.

Untuk kegiatan pra bencana, banyak yang harus dilakukan, diantaranya, menyusun Kajian Risiko Bencana, membuat Rencana Penanggulangan Bencana, Rencana Mitigasi, Renkon, Renop, dan Rencana Pemulihan Pasca Bencana. Penting juga melakukan Identifikasi Kerentanan, Potensi Bencana, Kapasitas, Sumber Daya yang bisa dimanfaatkan, dan lainnya.

Masalah diatas itu masih harus dijabarkan secara rinci dalam dokumen tersendiri, dengan harapan saat terjadi bencana, penanganannya bisa lebih cepat, efektif, efisien, tepat sasaran, dan terukur. Termasuk siapa melakukan apa, juga telah tertata dengan baik sesuai komitmen yang dibangun dalam renkon maupun renop.

Memang, dalam masa tanggap bencana, masih sering terjadi ego sektoral yang merusak tatanan kesepakatan operasi penanggulangan bencana. Inilah yang harus dikomunikasikan dengan baik, dan relawan pun hendaknya dilibatkan agar memahami tentang perbedaan cara pandang penanggulangan bencana

Kondisi yang demikian inilah, tampaknya mulai ditepis oleh BPBD Provinsi, Kabupaten dan Kota. dengan menyediakan anggaran penyelenggaraan simulasi penanggulangan bencana, baik untuk pelajar maupun khalayak ramai, sebagai upaya menuju masyarakat tangguh bencana, yaitu masyarakat yang mampu mengantisipasi dan meminimalisir kekuatan yang merusak, melalui adaptasi. Mereka juga mampu mengelola dan menjaga struktur dan fungsi dasar tertentu ketika terjadi bencana. Dan jika terkena dampak bencana, mereka akan dengan cepat bisa membangun kehidupannya menjadi normal kembali atau paling tidak dapat dengan cepat memulihkan diri secara mandiri.

Dengan kata lain, melalui penyuluhan, apel kesiapsiagaan, gladi lapang, dan simulasi bencana, masyarakat akan semakin sigap, tanggap dan tangguh dalam menghadapi bencana. Itu bisa cepat terwujud jika keberadaan relawan terlibat dalam kegiatan pra bencana seperti tersebut diatas, tentu dengan fasilitasi dari mereka yang berwenang secara hokum menangani masalah penanggulangan bencana. Salam Kemanusiaan. [eBas]    


     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar