Kamis, 23 Februari 2017

ORGANISASI RELAWAN PENANGGULANGAN BENCANA

“Kenalkan, nama saya Sokran, dari Organisasi Relawan Sandal Gunung. Jumlah personil Enam Ribu Tiga Ratus  Empat Puluh Lima, dengan berbagai spesialisasi yang menguasai delapan klaster yang ditetapkan oleh BNPB. Berpengalaman diberbagai bencana apa saja dimana pun berada. Sekarang seluruh personil dalam kondisi siap siaga untuk diberangkatkan ke lokasi bencana manapun dan tetap setia berharap mendapat surat perintah berangkat. Sekian,”

Begitulah cara perkenalan khas organisasi relawan yang bergerak dibidang penanggulangan bencana. Mereka saling memperkenalkan diri dalam rangka berkumpul mengikuti rapat koordinasi menggagas kegiatan bersama untuk meningkatkan kapasitas personil, khususnya saat tanggap bencana. Sebuah kegiatan yang sampai saat ini masih menjadi primadona bagi relawan untuk menunjukkan kehebatannya.

Dalam kegiatan yang dihadiri berbagai organisasi, tampaknya, relawan bisa dikelompokkan dalam beberapa kategori. Pertama, relawan yang menjadi binaan instansi pemerintah (mendapat subsidi dari APBD/APBN). Relawan yang bernaung dibawah lembaga keagamaan atau yayasan, bahkan partai. Ada juga yang bersedia bergabung menjadi relawan karena kesamaan minat dan hobi. Pun ada  relawan yang berjalan sendiri sesuai kapasitas dan profesionalismenya. Itu sah-sah saja, tidak menyalahi aturan hukum.

Dari kategori tersebut, ternyata juga beda gerak langkahnya saat tugas kemanusiaan memanggil, yaitu ketika bencana datang tanpa diundang. Ada yang langsung berangkat dengan membawa surat tugas (surat perintah) dari lembaganya (induk organisasinya) maupun berbagi tugas dengan anggota yang ada di daerah terdekat dengan lokasi bencana.

Ada juga yang secara mandiri berangkat sendiri  sesuai kondisi dompet pribadi. Ya, namanya juga relawan, mereka yang mempunyai kepedulian dan secara sukarela membantu sesamanya tanpa pamrih. Relawan jenis ini, tentu berbeda dengan relawan yang keberadaannya dibawah lembaga yang dana operasionalnya selalu tersedia, siap digunakan sewaktu-waktu (on call).

Ada pepatah “Nafsu besar tenaga kurang”, relawan jenis ini akan selalu berhitung dengan dompetnya, manakala akan turun ke lapangan. Juga harus melihat apakah pekerjaan pokoknya bisa ditinggal atau tidak. Jangan sampai tergerak membantu sesamanya, namun mengorbankan mata pencahariannya yang akan berpengaruh langsung terhadap stabilitas rumah tangganya.

Namun ada pula kelompok relawan yang secara mandiri selalu tampil diberbagai lokasi bencana. Karena, secara ekonomi mereka sudah lebih dari mapan, dengan swadaya dan swadana bisa melakukan aksi-aksi kemanusiaan tanpa khawatir kondisi keluarganya. Biasanya mereka hanya perlu koordinasi sebelum beraksi.

Makanya, dalam perkenalan tersebut, istilah “siap diberangkatkan”. Itu artinya, mereka siap beraksi turun ke lokasi membantu tenaga dan pikiran , dengan catatan difasilitasi selama bertugas. Hal itu sangat wajar. Karena, dengan terpenuhi fasilitas maka relawan tidak akan memikirkan kebutuhannya dan keluarga yang ditinggalkan.

Dalam kegiatan kumpul-kumpul sambil ngopi itu, disebutkan pula bahwa di Jawa Timur ada sekitar 136 organisasi relawan (sesuai data yang terkumpul di BPBD Provinsi Jawa Timur. Tentunya masih banyak lagi organisasi relawan yang belum berkesempatan menyerahkan datanya karena sesuatu dan lain hal.

Organisasi relawan itu ada yang berbadan hukum atau sekedar perkumpulan berdasar minat dan pertemanan. Baik yang lembaganya sudah terstruktur dengan agenda rutin yang terjadwal, maupun yang sekedar kumpul-kumpul mengikuti kata hati membangun paseduluran, kemudian baru bergerak ketika ada bencana. Itu pun jika kondisi memungkinkan. Juga ada yang fokus bergerak pada sisi edukasi sesuai kemampuan, dan  itu juga boleh tidak ada yang melarang.

Di sisi lain,ternyata juga ada pegiat lingkungan yang fokus pada upaya pelestarian alam, namun juga bergiat pada bencana alam, bersama relawan lain gotong royong membantu sesamanya yang tertimpa musibah. Itu pun jika kondisi mendukung.

Sebagai organisasi yang ‘independen’ dengan segala kelebihannya, pastilah punya agenda sendiri dalam pergerakannya, kadang sulit dimengerti, apalagi dikendalikan. Untuk itulah, mungkin, melalui upaya mempersering pertemuan koordinasi inilah bisa menjadi media menyamakan langkah dalam operasi penanggulangan bencana.

Disini pun, BPBD diharapkan selalu di depan dalam setiap peristiwa bencana, sesuai dengan fungsi komando, koordinator dan pelaksana. Ini penting, agar di lapangan tidak terjadi ‘pagelaran operasi’. Dimana, masing-masing organisasi bergerak sendiri, buka posko sendiri, buka dapur umum sendiri, dan melakukan kegiatan sendiri tanpa koordinasi dengan posko induk (yang kadang memang tidak ada, atau terlambat berdiri karena masalah SDM BPBD).

Dengan semakin seringnya bertemu, tentu akan terjadi pengimbasan pengetahuan yang berdampak pada luasnya wawasan dibidang penanggulangan bencana. Untuk itulah BPBD perlu memperkuat sinergi dengan berbagai pihak, termasuk berkolaborasi dengan organisasi relawan sebagai bentuk upaya kreatif meningkatkan profesionalitas dalam operasi penanggulangan bencana. Salam tangguh. [eBas]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar