“Kenalkan,
nama saya Sokran, dari Organisasi Relawan Sandal Gunung. Jumlah personil Enam
Ribu Tiga Ratus Empat Puluh Lima, dengan
berbagai spesialisasi yang menguasai delapan klaster yang ditetapkan oleh BNPB.
Berpengalaman diberbagai bencana apa saja dimana pun berada. Sekarang seluruh
personil dalam kondisi siap siaga untuk diberangkatkan ke lokasi bencana
manapun dan tetap setia berharap mendapat surat perintah berangkat. Sekian,”
Begitulah
cara perkenalan khas organisasi relawan yang bergerak dibidang penanggulangan
bencana. Mereka saling memperkenalkan diri dalam rangka berkumpul mengikuti
rapat koordinasi menggagas kegiatan bersama untuk meningkatkan kapasitas
personil, khususnya saat tanggap bencana. Sebuah kegiatan yang sampai saat ini
masih menjadi primadona bagi relawan untuk menunjukkan kehebatannya.
Dalam
kegiatan yang dihadiri berbagai organisasi, tampaknya, relawan bisa
dikelompokkan dalam beberapa kategori. Pertama, relawan yang menjadi binaan
instansi pemerintah (mendapat subsidi dari APBD/APBN). Relawan yang bernaung
dibawah lembaga keagamaan atau yayasan, bahkan partai. Ada juga yang bersedia
bergabung menjadi relawan karena kesamaan minat dan hobi. Pun ada relawan yang berjalan sendiri sesuai kapasitas
dan profesionalismenya. Itu sah-sah saja, tidak menyalahi aturan hukum.
Dari
kategori tersebut, ternyata juga beda gerak langkahnya saat tugas kemanusiaan
memanggil, yaitu ketika bencana datang tanpa diundang. Ada yang langsung berangkat
dengan membawa surat tugas (surat perintah) dari lembaganya (induk
organisasinya) maupun berbagi tugas dengan anggota yang ada di daerah terdekat
dengan lokasi bencana.
Ada juga
yang secara mandiri berangkat sendiri
sesuai kondisi dompet pribadi. Ya, namanya juga relawan, mereka yang mempunyai
kepedulian dan secara sukarela membantu sesamanya tanpa pamrih. Relawan jenis
ini, tentu berbeda dengan relawan yang keberadaannya dibawah lembaga yang dana
operasionalnya selalu tersedia, siap digunakan sewaktu-waktu (on call).
Ada pepatah
“Nafsu besar tenaga kurang”, relawan
jenis ini akan selalu berhitung dengan dompetnya, manakala akan turun ke
lapangan. Juga harus melihat apakah pekerjaan pokoknya bisa ditinggal atau
tidak. Jangan sampai tergerak membantu sesamanya, namun mengorbankan mata
pencahariannya yang akan berpengaruh langsung terhadap stabilitas rumah
tangganya.
Namun ada
pula kelompok relawan yang secara mandiri selalu tampil diberbagai lokasi
bencana. Karena, secara ekonomi mereka sudah lebih dari mapan, dengan swadaya
dan swadana bisa melakukan aksi-aksi kemanusiaan tanpa khawatir kondisi
keluarganya. Biasanya mereka hanya perlu koordinasi sebelum beraksi.
Makanya,
dalam perkenalan tersebut, istilah “siap
diberangkatkan”. Itu artinya, mereka siap beraksi turun ke lokasi membantu
tenaga dan pikiran , dengan catatan difasilitasi selama bertugas. Hal itu
sangat wajar. Karena, dengan terpenuhi fasilitas maka relawan tidak akan
memikirkan kebutuhannya dan keluarga yang ditinggalkan.
Dalam kegiatan
kumpul-kumpul sambil ngopi itu, disebutkan pula bahwa di Jawa Timur ada sekitar
136 organisasi relawan (sesuai data yang terkumpul di BPBD Provinsi Jawa Timur.
Tentunya masih banyak lagi organisasi relawan yang belum berkesempatan menyerahkan
datanya karena sesuatu dan lain hal.
Organisasi
relawan itu ada yang berbadan hukum atau sekedar perkumpulan berdasar minat dan
pertemanan. Baik yang lembaganya sudah terstruktur dengan agenda rutin yang
terjadwal, maupun yang sekedar kumpul-kumpul mengikuti kata hati membangun
paseduluran, kemudian baru bergerak ketika ada bencana. Itu pun jika kondisi
memungkinkan. Juga ada yang fokus bergerak pada sisi edukasi sesuai kemampuan,
dan itu juga boleh tidak ada yang
melarang.
Di sisi
lain,ternyata juga ada pegiat lingkungan yang fokus pada upaya pelestarian
alam, namun juga bergiat pada bencana alam, bersama relawan lain gotong royong
membantu sesamanya yang tertimpa musibah. Itu pun jika kondisi mendukung.
Sebagai organisasi
yang ‘independen’ dengan segala
kelebihannya, pastilah punya agenda sendiri dalam pergerakannya, kadang sulit
dimengerti, apalagi dikendalikan. Untuk itulah, mungkin, melalui upaya
mempersering pertemuan koordinasi inilah bisa menjadi media menyamakan langkah
dalam operasi penanggulangan bencana.
Disini pun,
BPBD diharapkan selalu di depan dalam setiap peristiwa bencana, sesuai dengan fungsi
komando, koordinator dan pelaksana. Ini penting, agar di lapangan tidak terjadi
‘pagelaran operasi’. Dimana, masing-masing organisasi bergerak sendiri, buka
posko sendiri, buka dapur umum sendiri, dan melakukan kegiatan sendiri tanpa koordinasi
dengan posko induk (yang kadang memang tidak ada, atau terlambat berdiri karena
masalah SDM BPBD).
Dengan semakin
seringnya bertemu, tentu akan terjadi pengimbasan pengetahuan yang berdampak
pada luasnya wawasan dibidang penanggulangan bencana. Untuk itulah BPBD perlu
memperkuat sinergi dengan berbagai pihak, termasuk berkolaborasi dengan
organisasi relawan sebagai bentuk upaya kreatif meningkatkan profesionalitas
dalam operasi penanggulangan bencana. Salam tangguh. [eBas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar