Kamis, 02 Februari 2017

RELAWAN HENDAKNYA MENULISKAN PENGALAMANNYA

Sungguh, kawan-kawan relawan kemanusiaan yang telah lama malang melintang di dunia kerelawanan, menolong sesamanya yang tengah menderita terkena bencana, pastilah kaya akan cerita pengalaman. Suka duka memanjakan rasa kepeduliannya, yang harus rela meninggalkan keluarga dalam beberapa waktu, menyumbangkan tenaga, pikiran, dan mungkin dananya, semua dilakukan hanya karena keterpanggilan jiwa untuk menolong sesamanya.

Ya, mereka pasti banyak pengalaman yang indah untuk diceritakan kepada generasi penerus, bahwa ditengah-tengah pergaulan hidup yang semakin hedonis, konsumtif, dan individual ini, ternyata masih ada jiwa-jiwa sosial yang menebar kepedulian menolong mereka yang tertimpa bencana. Bersama bekerja sukarela, bersinergi dengan berbagai elemen dalam upaya penanggulangan bencana yang kini semakin sering terjadi dimana-mana.

Cerita pengalaman inilah yang seharusnya didokumentasikan dalam sebuah tulisan. Apa pun bentuk tulisannya, yang penting ditulis saja, nanti bersama-sama dibenahi (dihaluskan bahasanya) sebelum dicetak secara indie. Karena, biasanya percetakan resmi kurang berminat, mengingat profitnya kurang menjanjikan.

Jenis tulisan yang menarik untuk menceritakan pengalaman, diantaranya feature. Namun bisa juga dituliskan ala cerita pendek maupun novel. Itu tidak haram, malah lebih baik dan lengkap ceritanya. Karena, sesungguhnyalah cerita tentang kebencanaan maupun kesukarelawanan itu bisa diangkat dari berbagai sisi, dan belum banyak didokumentasikan.

Bitha’s files dalam blognya mensitir Daniel R. Williamson yang menulis buku “Feature Writing for Newspaper”  menyebutkan bahwa feature adalah sebuah kisah kreatif, terkadang subjektif yang dibuat untuk menghibur dan menginformasikan pada pembaca tentang suatu peristiwa, situasi atau aspek kehidupan. Masih menurut Williamson, unsur-unsur yang dimiliki feature adalah kreativitas, subyektivitas, informatif, menghibur dan tidak dibatasi waktu. Tulisan feature juga harus bersifat orisinal dan deskriptif. Bisa juga tulisan tersebut mengandung pesan edukasi maupun sebagai control sosial.

Sungguh, seringkali saat ngobrol di warung kopi, para relawan itu lancar bercerita tentang pengalamannya, tentang suka duka mengikuti operasi tanggap bencana. Mengikuti kegiatan diklat, gladi, simulasi, dan gelar relawan, baik yang diadakan oleh BNPB maupun BPBD. Juga saat mengikuti acara sosialisasi pengurangan risiko bencana di berbagai daerah dan ketika asik menggauli Destana. Termasuk saat menggelar diklat secara mandiri bersama sesama relawan.

Obrolan sebagai bahasa lisan itulah hendaknya yang dipindahkan ke dalam bahasa tulis dengan mengikuti kaidah-kaidah seperti yang disebutkan dalam teori di atas, semampunya dulu, karena tidak ada ceritanya, orang langsung bisa menulis dengan baik tanpa melalui proses belajar dan terus berlatih. Mengingat keterampilan menulis itu seperti keterampilan water rescue maupun vertical rescue yang harus dilatih dan terus berlatih.

Artinya, dalam menulis itu ada tahap membuat draft (tulisan kasar), kemudian membaca ulang draft, dilanjutkan dengan melakukan revisi dan editing, dan terakhir finishing (di publish melalui berbagai media agar dibaca orang). Akhirnya, tanpa menunggu sampai bisa menulis, maka, marilah mulai menulis apa saja seperti kalau kita ngobrol apa saja ‘sak njeplak’e cangkem’ sambil ngopi.

Mari menuliskan pengalaman tanpa takut salah, pokoknya menulis dan terus menulis tanpa lelah, tanpa merasa bosan untuk mengulang. Itulah kunci sukses menulis. Paling tidak apa yang ditulis itu akan menjadi kenangan yang terindah tentang sejarah hidup kita saat menggeluti dunia kerelawanan.

Kapan lagi kalau tidak sekarang, siapa lagi kalau bukan kita yang memulai, mumpung masih ada waktu. Jangan biarkan waktu berlalu. Jangan biarkan kesempatan itu pergi tanpa aksi, prestasi dan kreasi yang menginspirasi sesama insani. Mari kita mulai belajar mengikat pengalaman dengan tulisan…[eBas]  








Tidak ada komentar:

Posting Komentar