Sungguh, kawan-kawan relawan kemanusiaan yang
telah lama malang melintang di dunia kerelawanan, menolong sesamanya yang
tengah menderita terkena bencana, pastilah kaya akan cerita pengalaman. Suka
duka memanjakan rasa kepeduliannya, yang harus rela meninggalkan keluarga dalam
beberapa waktu, menyumbangkan tenaga, pikiran, dan mungkin dananya, semua
dilakukan hanya karena keterpanggilan jiwa untuk menolong sesamanya.
Ya, mereka pasti banyak pengalaman yang indah untuk
diceritakan kepada generasi penerus, bahwa ditengah-tengah pergaulan hidup yang
semakin hedonis, konsumtif, dan individual ini, ternyata masih ada jiwa-jiwa
sosial yang menebar kepedulian menolong mereka yang tertimpa bencana. Bersama
bekerja sukarela, bersinergi dengan berbagai elemen dalam upaya penanggulangan
bencana yang kini semakin sering terjadi dimana-mana.
Cerita pengalaman inilah yang seharusnya
didokumentasikan dalam sebuah tulisan. Apa pun bentuk tulisannya, yang penting
ditulis saja, nanti bersama-sama dibenahi (dihaluskan bahasanya) sebelum
dicetak secara indie. Karena,
biasanya percetakan resmi kurang berminat, mengingat profitnya kurang
menjanjikan.
Jenis tulisan yang menarik untuk menceritakan
pengalaman, diantaranya feature.
Namun bisa juga dituliskan ala cerita pendek maupun novel. Itu tidak haram,
malah lebih baik dan lengkap ceritanya. Karena, sesungguhnyalah cerita tentang
kebencanaan maupun kesukarelawanan itu bisa diangkat dari berbagai sisi, dan belum
banyak didokumentasikan.
Bitha’s files dalam blognya mensitir Daniel R.
Williamson yang menulis buku “Feature
Writing for Newspaper” menyebutkan bahwa feature adalah sebuah kisah kreatif, terkadang subjektif yang
dibuat untuk menghibur dan menginformasikan pada pembaca tentang suatu
peristiwa, situasi atau aspek kehidupan. Masih menurut Williamson, unsur-unsur
yang dimiliki feature adalah
kreativitas, subyektivitas, informatif, menghibur dan tidak dibatasi waktu. Tulisan feature juga harus bersifat
orisinal dan deskriptif. Bisa juga tulisan tersebut mengandung pesan edukasi
maupun sebagai control sosial.
Sungguh, seringkali saat ngobrol di warung kopi,
para relawan itu lancar bercerita tentang pengalamannya, tentang suka duka
mengikuti operasi tanggap bencana. Mengikuti kegiatan diklat, gladi, simulasi,
dan gelar relawan, baik yang diadakan oleh BNPB maupun BPBD. Juga saat
mengikuti acara sosialisasi pengurangan risiko bencana di berbagai daerah dan
ketika asik menggauli Destana. Termasuk saat menggelar diklat secara mandiri
bersama sesama relawan.
Obrolan sebagai bahasa lisan itulah hendaknya yang
dipindahkan ke dalam bahasa tulis dengan mengikuti kaidah-kaidah seperti yang
disebutkan dalam teori di atas, semampunya dulu, karena tidak ada ceritanya,
orang langsung bisa menulis dengan baik tanpa melalui proses belajar dan terus
berlatih. Mengingat keterampilan menulis itu seperti keterampilan water rescue maupun vertical rescue yang harus dilatih dan terus berlatih.
Artinya, dalam menulis itu ada tahap membuat draft (tulisan kasar), kemudian membaca
ulang draft, dilanjutkan dengan melakukan revisi
dan editing, dan terakhir finishing
(di publish melalui berbagai media agar dibaca orang). Akhirnya, tanpa menunggu
sampai bisa menulis, maka, marilah mulai menulis apa saja seperti kalau kita
ngobrol apa saja ‘sak njeplak’e cangkem’
sambil ngopi.
Mari menuliskan pengalaman tanpa takut salah,
pokoknya menulis dan terus menulis tanpa lelah, tanpa merasa bosan untuk
mengulang. Itulah kunci sukses menulis. Paling tidak apa yang ditulis itu akan
menjadi kenangan yang terindah tentang sejarah hidup kita saat menggeluti dunia
kerelawanan.
Kapan lagi kalau tidak sekarang, siapa lagi
kalau bukan kita yang memulai, mumpung masih ada waktu. Jangan biarkan waktu
berlalu. Jangan biarkan kesempatan itu pergi tanpa aksi, prestasi dan kreasi
yang menginspirasi sesama insani. Mari kita mulai belajar mengikat pengalaman dengan tulisan…[eBas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar