Minggu, 11 Maret 2018

MBAH DHARMO LIHAT ARISAN SRPB


“Seorang relawan, jika masih bicara tentang aku, kamu, dan mereka, dalam kegiatan penanggulangan bencana, dapat dipastikan dia belum khatam belajar tentang kebencanaan. Karena, dalam penanggulangan bencana, tidak ada kata aku, dan kamu. Adanya  kata kita yang bekerja dalam tim untuk saling berkoodinasi dan bersinergi  antara pemerintah, relawan dan dunia usaha,” begitulah awal tausyiah mbah Dharmo dalam kegiatan Arisan Ilmu Nol Rupiah, sabtu (10/3).

Kegiatan rutinan yang diagendakan oleh sekretariat bersama relawan penanggulangan bencana jawa timur (SRPB JATIM) ini mengambil tema, ‘Berbagi Pengalaman dalam Menggeluti Program Desatana’. Yaitu, desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan (Perka BNPB No.1 Tahun 2012).

Kali ini yang menjadi nara sumber sebanyak tiga orang. Mereka memiliki pengalaman lapangan yang layak dibagi untuk menambah wawasan relawan tentang kegiatan pra bencana. Mereka sangat piawai menceritakan pengalamannya. Saling mengisi, saling melengkapi. Sehingga peserta pun gembira terpana. Manggut-manggut, entah paham apa karena ngantuk.

Alfin, seorang fasilitator desa tangguh bencana, menceritakan pengalamannya ditolak Pak Lurah saat mengenalkan diri mensosialisasikan program destana. Namun, karena ketangguhannya, Alfin pun menuai sukses. Bahkan ditawari bekerja di kelurahan.

Artinya, diawal melaksanakan program perlu kiranya memperkenalkan diri terlebih dahulu melalui kegiatan yang sudah ada di masyarakat. Seperti PKK, Karang Taruna, Remaja Masjid, dan Kelompok Yasinan. Jangan lupa, juga melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat dan perangkat desa setempat.

Sementara Ecak, dari PSBL UNITOMO, menceritakan pengalamannya mendampingi program desatana di kabupaten  Sidoarjo, yang agak berbeda cara penanganannya dengan konsep destana.

Dimana, ada upaya pengintegrasian program destana dengan kegiatan KKN tematik yang digarap secara nonformal dengan beberapa pembekalan keterampilan bagi masyarakat yang ditunjuk menjadi relawan desa tangguh. Diantaranya dengan mengenalkan Tas Siaga, Biopori, dan alat pemanen air hujan.

Menurutnya, yang penting itu masyaralat paham akan potensi bencana di daerahnya. Dengan demikian, hal ini akan memudahkan memberi virus kesiapsiagaan menghadapi bencana secara mandiri sebelum bantuan dari luar datang.

Sementara Yeka Kusumajaya, dari Komunitas Gimbal Alas Indonesia, menekankan bahwa tidak ada istilah senior yunior dalam kegiatan tanggap darurat bencana, yang ada adalah kebersamaan, saling berkoordinasi membangun jejaring kemitraan.

Terkait upaya menciptakan desa tangguh bencana, maka menurut pria berkumis tipis ini, yang perlu digarap terlebih dulu adalah membangun kesadaran masyarakat dimana program itu berada. Menurutnya, ada tiga timgkatan kesdaran yang harus dipahami oleh relawan agar pendampingan destana itu berhasil. Yaitu, kesadaran religi, kesadaran naïf, dan kesadaran kritis. Tentu, ketiganya ini berbeda dalam perlakuannya.

Kegiatan yang diadakan di Joka, Juanda, Sidoarjo ini semakin lengkap ketika mBah Dharmo berkenan membagi pengalamannya tentang destana dan pengurangan risiko bencana. Dengan gayanya yang komunikatif, simbah yang sedang menyelesaikan tesisnya itu berhasil membuat peserta arisan terkesima mendengarkan ‘wedaran’ ilmu dan pengalamannya memberdayakan masyarakat lereng gunung Kelud dan gunung Agung, agar siap hidup berdampingan dengan bencana.

Inilah salah satu tugas relawan melakukan edukasi masyarakat dalam rangka mengurangi risiko, dan membangun kapasitas menuju masyarakat tangguh bencana. Pria yang aktif dikepengurusan Forum PRB Jatim ini mengutuk keras jika upaya penanggulangan bencana dilakukan hanya sekedar untuk kepentingan lomba.

“Biasanya, program yang beginian tidak bertahan lama karena semuanya serba sulapan, serba instan,” Kata mBah Dharmo menyudahi ceritanya.

Sesungguhnyalah program destana itu sebagai upaya pemerintah untuk memberdayakan masyarakat dalam bidang pengurangan risiko bencana. Baik itu SDM atau SDA agar bisa dimanfaatkan sewaktu-waktu jika terjadi bencana. [eBas]








1 komentar:

  1. kayaknya sudah waktunya relawan juga menekuni dan berperan dalam kegiatan pra bencana, termasuk terlibat dalam sosialisasi PRB.
    sehingga relawan itu tidak hanya bergiat saat tanggap darurat bencana seperti yang sering terjadi.
    begitu juga BNPB/BPBD juga harus berubah dalam melihat potensi relawan, sehingga ada upaya pembinaan dan dialog yang hangat diantara keduanya agar tercipta kesepahaman dalam berbagai aktivitas terkait dgn PRB dan PB

    BalasHapus