“Seorang relawan, jika
masih bicara tentang aku, kamu, dan mereka, dalam kegiatan penanggulangan
bencana, dapat dipastikan dia belum khatam belajar tentang kebencanaan. Karena,
dalam penanggulangan bencana, tidak ada kata aku, dan kamu. Adanya kata kita yang bekerja dalam tim untuk saling
berkoodinasi dan bersinergi antara
pemerintah, relawan dan dunia usaha,” begitulah awal tausyiah mbah Dharmo dalam
kegiatan Arisan Ilmu Nol Rupiah, sabtu (10/3).
Kegiatan rutinan yang
diagendakan oleh sekretariat bersama relawan penanggulangan bencana jawa timur
(SRPB JATIM) ini mengambil tema, ‘Berbagi Pengalaman dalam Menggeluti Program
Desatana’. Yaitu, desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk
beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera
dari dampak bencana yang merugikan (Perka BNPB No.1 Tahun 2012).
Kali ini yang menjadi
nara sumber sebanyak tiga orang. Mereka memiliki pengalaman lapangan yang layak
dibagi untuk menambah wawasan relawan tentang kegiatan pra bencana. Mereka sangat
piawai menceritakan pengalamannya. Saling mengisi, saling melengkapi. Sehingga peserta
pun gembira terpana. Manggut-manggut, entah paham apa karena ngantuk.
Alfin, seorang
fasilitator desa tangguh bencana, menceritakan pengalamannya ditolak Pak Lurah
saat mengenalkan diri mensosialisasikan program destana. Namun, karena
ketangguhannya, Alfin pun menuai sukses. Bahkan ditawari bekerja di kelurahan.
Artinya, diawal
melaksanakan program perlu kiranya memperkenalkan diri terlebih dahulu melalui
kegiatan yang sudah ada di masyarakat. Seperti PKK, Karang Taruna, Remaja
Masjid, dan Kelompok Yasinan. Jangan lupa, juga melakukan pendekatan kepada
tokoh masyarakat dan perangkat desa setempat.
Sementara Ecak, dari
PSBL UNITOMO, menceritakan pengalamannya mendampingi program desatana di
kabupaten Sidoarjo, yang agak berbeda
cara penanganannya dengan konsep destana.
Dimana, ada upaya
pengintegrasian program destana dengan kegiatan KKN tematik yang digarap secara
nonformal dengan beberapa pembekalan keterampilan bagi masyarakat yang ditunjuk
menjadi relawan desa tangguh. Diantaranya dengan mengenalkan Tas Siaga, Biopori,
dan alat pemanen air hujan.
Menurutnya, yang
penting itu masyaralat paham akan potensi bencana di daerahnya. Dengan demikian,
hal ini akan memudahkan memberi virus kesiapsiagaan menghadapi bencana secara
mandiri sebelum bantuan dari luar datang.
Sementara Yeka
Kusumajaya, dari Komunitas Gimbal Alas Indonesia, menekankan bahwa tidak ada
istilah senior yunior dalam kegiatan tanggap darurat bencana, yang ada adalah
kebersamaan, saling berkoordinasi membangun jejaring kemitraan.
Terkait upaya
menciptakan desa tangguh bencana, maka menurut pria berkumis tipis ini, yang
perlu digarap terlebih dulu adalah membangun kesadaran masyarakat dimana
program itu berada. Menurutnya, ada tiga timgkatan kesdaran yang harus dipahami
oleh relawan agar pendampingan destana itu berhasil. Yaitu, kesadaran religi,
kesadaran naïf, dan kesadaran kritis. Tentu, ketiganya ini berbeda dalam
perlakuannya.
Kegiatan yang diadakan
di Joka, Juanda, Sidoarjo ini semakin lengkap ketika mBah Dharmo berkenan
membagi pengalamannya tentang destana dan pengurangan risiko bencana. Dengan gayanya
yang komunikatif, simbah yang sedang menyelesaikan tesisnya itu berhasil
membuat peserta arisan terkesima mendengarkan ‘wedaran’ ilmu dan pengalamannya
memberdayakan masyarakat lereng gunung Kelud dan gunung Agung, agar siap hidup
berdampingan dengan bencana.
Inilah salah satu
tugas relawan melakukan edukasi masyarakat dalam rangka mengurangi risiko, dan membangun
kapasitas menuju masyarakat tangguh bencana. Pria yang aktif dikepengurusan Forum
PRB Jatim ini mengutuk keras jika upaya penanggulangan bencana dilakukan hanya
sekedar untuk kepentingan lomba.
“Biasanya, program
yang beginian tidak bertahan lama karena semuanya serba sulapan, serba instan,”
Kata mBah Dharmo menyudahi ceritanya.
Sesungguhnyalah
program destana itu sebagai upaya pemerintah untuk memberdayakan masyarakat
dalam bidang pengurangan risiko bencana. Baik itu SDM atau SDA agar bisa
dimanfaatkan sewaktu-waktu jika terjadi bencana. [eBas]
kayaknya sudah waktunya relawan juga menekuni dan berperan dalam kegiatan pra bencana, termasuk terlibat dalam sosialisasi PRB.
BalasHapussehingga relawan itu tidak hanya bergiat saat tanggap darurat bencana seperti yang sering terjadi.
begitu juga BNPB/BPBD juga harus berubah dalam melihat potensi relawan, sehingga ada upaya pembinaan dan dialog yang hangat diantara keduanya agar tercipta kesepahaman dalam berbagai aktivitas terkait dgn PRB dan PB