Senin, 25 Februari 2019

KOMUNIKASI ANTAR INSTANSI TAK SELALU SERASI


Sambil cangkruk, menikmati kopi ireng udekane Cak Min, penjaga warkop langganan, saya mendengarkan celoteh mas Dalbo yang galau melihat aneka bencana silih berganti menyapa berbagai daerah dengan membawa kerugian harta benda, bahkan nyawa.

Menurut sebuah seminar yang baru saja diikuti mas Dalbo, nara sumbernya bilang, bahwa aturan perundangan tentang penanggulangan bencana sudah ada, pelatihan dan simulasi menghadapi bencana juga sudah sering diadakan, penyusunan rencana penanggulangan bencana dan renkon serta rapat koordinasi pun juga sudah rutin dilakukan. Termasuk pendidikan mitigasi dan kesiapsiagaan menghadapi bencana, yang saat ini sedang ngetren dibicarakan (dan dilakukan?).

Namun nyatanya, setiap kali terjadi bencana, semuanya panik, seakan apa yang pernah dipelajari, lupa begitu saja. Dampaknya pun (terkait jumlah korban dan kerugian) kurang lebih masih sama dengan bencana-bencana yang sudah pernah terjadi. Ya, mungkin bencananya sama, tapi berbeda dampak dan penanganannya di setiap daerah. Termasuk anggaran yang harus dikeluarkan oleh Negara pun kian membengkak.

“Hal ini mungkin karena kebijakan daerah yang tidak sama, SDM setempat yang masih perlu ditingkatkan, atau mungkin juga anggaran daerah terkait dengan penanggulangan bencana yang belum memadai sehingga belum setahun anggarannya sudah habis karena banyaknya kejadian dan salah memprediksi potensi bencana,” Kata saya sambil nyruput kopi, mencoba menetralkan kegalauan mas Dalbo.

“Iya, Cak, tadi di seminar ada peserta yang bilang bahwa respon penanggulangan bencana itu juga tergantung pemahaman dan kepedulian penguasa setempat. Apalagi jika dikaitkan dengan kepentingan politik, maka bencana bisa dimanfaatkan untuk ajang pencitraan, dan sebagai komoditas mencari simpati, bahkan bisa dieksploitasi untuk mendatangkan donasi,” Kata mas Dalbo sambil nyakot pisang goreng kesukaannya.

Ya, apa yang disampaikan mas Dalbo itu benar-benar terjadi dan dilakukan secara sadar oleh oknum, seperti yang pernah dilansir oleh Koran Kompas, yang memberitakan bahwa bencana telah dijadikan sebagai ladang korupsi. Para pelaku tidak hanya berani menyelewengkan dana dan proyek bantuan, tetapi juga tega memeras korban bencana.

Gempa Lombok, NTB, mendorong anggota DRPD memeras kepala dinas pendidikan dan kontraktor terkait proyek rehabilitasi gedung sekolah yang terdampak gempa. sedang pegawai kemenag memotong dana pembangunan masjid pasca gempa.

Dalam gempa-tsunami di Palu dan Donggala, Sulteng, KPK menangkap pengusaha dan pejabat PUPR. mereka terlibat suap proyek pembangunan sistem penyediaan air minum untuk korban gempa-tsunami.

Sementara dalam bencana tsunami selat Sunda, polisi menetapkan beberapa pegawai rumah sakit yg melakukan pungli dlm proses pengurusan jenazah korban tsunami. Sangat jelas, korupsi memperburuk dampak bencana dan memperberat derita para korban.

Praktek tercela itu menjadi biang keladi atas kegagalan upaya meminimalkan kerusakan dan jumlah korban. termasuk menghambat proses rehabilitasi pasca bencana (willi toisuta/kompas,28/1).

“Lha terus simpulan dari seminar itu apa Cak,?” Tanya saya setelah ngobrol ngalor ngidul tentang upaya penanggulangan bencana yang konon harus dikerjakan secara keroyokan antara BPBD/BNPB, kementerian dan Oganisasi perangkat daerah (OPD) terkait, dunia usaha, dan masyarakat.

“Simpulannya?. Katanya sih perlu membangun komunikasi yang harmonis antar instansi terkait agar ada pemahaman tentang upaya penanggulangan bencana yang efektif, efisien, terpadu, tepat, cepat dan terukur. Yang bagaimana itu, saya dan peserta seminar lainnya juga tidak paham karena sibuk nikmati kudapan yang disediakan, hehehe…” Kata mas Dalbo sambil mringis, hilang galaunya.

Namun, semua peserta seminar sepakat bahwa komunikasi dan koordinasi itu harus segera dibangun dan disepakati bersama, sehingga benar benar bisa mengurangi risiko bencana dan tidak terulang kembali kesalahan administrasi.

Konon, salah satu penyebab saling lempar tanggungjawab antar OPD dalam penanggulangan bencana itu  adalah adanya beda tupoksi, dan beda prioritas pembangunan daerah. Sehingga segala masukan yang terkait dengan potensi bencana sering kali masih diabaikan. Termasuk info hasil penelitian para ahli/pakar kebencanaan.

Kalau sudah begini, apa yang harus dilakukan oleh kawan-kawan yang tergabung dalam berbagai komunitas peduli masalah kebencanaan dan pelestarian alam?.

Ya, tetap saja berkiprah melaksanakan program sesuai visi misinya. Melakukan edukasi, mengadakan sarasehan dan diskusi untuk menambah wawasan dan meningkatkan persaudaraan, serta berlatih bersama meningkatkan kapasitas. Baik itu menggunakan dana bantuan pemerintah (proyek dari BPBD/BNPB), ataupun mandiri berbasis urunan.

 “Yakinlah bahwa jalan dharma itu bisa dimana saja, berupa apa saja, dan bersama siapa saja yang penting manfaatnya berdampak pada sesama,” Kata saya meyakinkan mas Dalbo agar tidak galau karena masalah komunikasi dan koordinasi yang enak didiskusikan tapi sulit dibuktikan. Wallahu a’lam bishowab.[eBas/selasa pahing-26/2]


  








1 komentar:

  1. Komunikasi interpersonal atau disebut juga dengan komunikasi antar personal atau komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi yang dilakukan oleh individu untuk saling bertukar gagasan ataupun pemikiran kepada individu lainnya. Atau dengan kata lain, komunikasi interpersonal adalah salah satu konteks komunikasi dimana setiap individu mengkomunikasikan perasaan, gagasan, emosi, serta informasi lainnya secara tatap muka kepada individu lainnya.

    ads
    Komunikasi interpersonal dapat dilakukan dalam bentuk verbal maupun nonverbal. Komunikasi interpersonal tidak hanya tentang apa yang dikatakan dan apa yang diterima namun juga tentang bagaimana hal itu dikatakan, bagaimana bahasa tubuh yang digunakan, dan apa ekspresi wajah yang diberikan.

    BalasHapus