“Sependek yang aku tau, relawan
dengan kompetensi khusus yang akan diperbolehkan membantu mas, ini berangkat
dari banyak pengalaman dimana lebih banyak yang jadi wisatawan bencana dibanding
jadi relawan yang ketrampilannya dibutuhkan. Jadi perlakuan relawan lebih
profesional dan kita bisa melakukan penertiban di lapangan bagi wisatawan
bencana yang menyaru jadi Relawan,” Kata
Didik Mulyono mengawali obrolan online.
Dikatakan pula bahwa, relawan
harus terakomodir di
tengah keterbatasan sumberdaya personil lokal di wilayah yang terdampak bencana. Tantangannya
adalah pemda via sistem komando penanganan
darurat bencana (SKPDB)
belum memiliki strategi untuk memobilisir dan mendayagunakan tenaga relawan.
“Makanya untuk memastikan antar
unit kerja bisa bersinergi, harus disusun proses bisnis /tata Laksana nya di
SKPDB. Kalau cuma
mengunggulkan ego ya bakalan bubar, nggak pernah ada praktik kolaborasi dalam penanganan darurat bencana.” Ujarnya.
Artinya, SKPDB itu representasi dari pemda,
bukan hanya BPBD saja, untuk itu organisasi perangkat daerah (OPD) dan lembaga lain perlu menyepakati
proses dan prosedur kinerja di masing-masing
unit kerja yang ada di SKPDB. Disisi
lain, pentahelix bisa ditempatkan dimana-mana (unit
kerja) yang ada di SKPDB, yang penting mekanisme dan prosedur kerjanya jelas
dan terukur, jadi siapapun yang masuk/terlibat dalam unit kerja akan tau bagaimana
tugas, fungsi dan batasan dari unit kerja yang dia ikuti.
Didik juga bilang bahwa praktek
selama ini banyak BPBD Kabupaten/Kota
yang belum
mampu menyusun proses bisnis SKPDB sehingga respon
di lapangan masih sering mengedepankan ego
sektoral karena nggak diatur sebagai satu kesatuan kerja dalam SKPDB.
Sementara itu, penataan database
Relawan juga dilakukan termasuk mapping kebutuhan kompetensi relawan yang bisa
mendukung fungsi SKPDB. Dalam peta pengelolaan relawan yang digagasnya, Sebelum terlibat dalam tanggap darurat, mereka
harus daftar dan registrasi dulu di seksi admin (sekretariat), lalu ada
klasifikasi kompetensi (oleh
seksi personil sekretariat). Habis itu mereka akan standby untuk
penempatan sesuai dengan kompetensi teknis yang dibutuhkan di lapangan.
Selama penempatan, kinerja Relawan
dipantau oleh koordinator sektor teknis yang menggunakan ketrampilannya. Jika
selesai durasi penempatan, Relawan akan ditarik ke sekretariat lagi. Gagasan ini
menarik, namun pelaksanaannya jelas tidak mudah. Perlu proses, perlu
kesepahaman.
Apa yang digagas pria berkacamata ini ada kemiripan
dengan konsep desk relawan dari Pangarso Suryotomo dan Lilik Kurniawan, dari
BNPB. Bahkan konsep itu sudah pernah di diskusikan pada acara Dharma Relawan
Adhirajasa 2019 di Buleleng, Provinsi Bali.
Didik yang dulu ‘menggawangi’ Australia-Indonesia Facility for Disaster Reduction (AIFDR) di Jawa Timur, juga mengusulkan ke kawan-kawan FPRB DIY untuk memfasilitasi
gelang karet yang ada barcode nya sebagai identitas relawan di lapangan. Dengan
menggunakan karet gelang, berarti dia sudah terregistrasi di poško utama dan
warna gelang karet menunjukkan kompetensi yang dia miliki.
“Kalau di Sleman, ada wacana bahwa tugas desk relawan itu
menerima, mencatat, registrasi dan klasifikasi kompetensi relawan, serta mengeluarkan tanda pengenal (gelang
karet) yang berisi informasi detail tentang relawan yang bersangkutan,” Katanya. Sebuah wacana yang kreatif
inovatif dan layak sebagai masukan untuk BNPB/BPBD.
Sungguh, ngobrol online dengan Mas Didik, sapaan
akrabnya, sangat menyenangkan. Banyak informasi tentang masalah kebencanaan
yang menurutnya perlu dibenahi (termasuk relawan juga harus berbenah untuk
menyesuaikan dengan gerak jamannya, seperti mapping
kebutuhan untuk peningkatan kapasitasnya).
Dia juga berharap, agar komunitas
relawan yang banyak jumlahnya itu mau
berkumpul dan menyepakati prosedur dan mekanisme kerja di wilayah terdampak
bencana, termasuk bagaimana kode etik dipatuhi dan aspek keamanan dan
keselamatan relawan di lapangan juga menjadi prioritas untuk diperhatikan.
Kode etik dalam bentuk standard operating procedure (SOP)
ini sudah pernah disusun hasil kerja bareng Mercycorps, namun tidak ditindak
lanjuti oleh pemegang regulasi, sehingga mandek begitu saja tanpa
kelanjutannya. Termasuk penerapan desk relawan yang sering disalah pahami oleh
multi pihak, sehingga muncul istilah ‘matahari kembar’. Hal ini bisa
terjadi karena masing-masing daerah punya karakter dan
kekhasan sendiri-sendiri dalam memaknai
penanganan bencana.
Di penghujung obrolan online, Didik mengatakan bahwa saat
ini personil relawan yang memiliki kompetensi analisis media sangat jarang,
padahal biasanya publik menyampaikan suaranya via media sosial, jadi kalau ada informasi yang berseliweran
di media sosial terkait penanganan dampak bencana, tidak ada satu pihakpun yang
merangkum, menganalisis dan menyusun rekomendasi untuk menjelaskan kepada
publik terkait isu yang berkembang. Jika
dibiarkan, bisa menurunkan
kepercayaan publik terhadap kinerja
SKPDB, dimana relawan ada di dalamnya.
Begitu juga dengan pusdalops, minimal mereka harus memiliki tiga operator (radio, media sosial
dan media massa) untuk memantau, menangkap, memilah, klarifikasi, merangkum,
menganalisis dan menyusun rekomendasi, informasi apa yang ada di publik yang
perlu ditindak lanjuti oleh institusi.
Tentunya semua ini harus dibangun sinergitas antar elemen pentahelix yang
diantaranya bisa memasok informasi yang benar untuk menangkal berita hoax.
Semoga pandemi covid-19 segera berlalu agar gagasan
cemerlang dari seorang Didik Mulyono bisa menjadi bahan diskusi secara luring di sore hari yang bisa menginspirasi untuk membuat aksi, tentunya sambil nyruput
kopi khas Banyuwangi yang rasanya tidak kalah dengan kopi Gunung kawi. Salam Tangguh [eBas/MingguKliwon-20122020]
bismillah, mencoba mendokumentasikan ide/gagasan dari mas Didik untuk dijadikan bahan pembelajaran sesama relawan saat jagongan di warkop sambil ngopi (ngolah pikir).
BalasHapusbiasanya lewat jagongan akan muncul ide/gagasan yang hebat untuk menggelar aksi yg bermanfaat bagi masyarakat.
semoga