Minggu, 20 Desember 2020

DIDIK MULYONO MENGGAGAS SKPDB YANG BERKELAS

“Sependek yang aku tau, relawan dengan kompetensi khusus yang akan diperbolehkan membantu mas, ini berangkat dari banyak pengalaman dimana lebih banyak yang jadi wisatawan bencana dibanding jadi relawan yang ketrampilannya dibutuhkan. Jadi perlakuan relawan lebih profesional dan kita bisa melakukan penertiban di lapangan bagi wisatawan bencana yang menyaru jadi Relawan,” Kata Didik Mulyono mengawali obrolan online.

Dikatakan pula bahwa, relawan harus terakomodir di tengah keterbatasan sumberdaya personil lokal di wilayah yang terdampak bencana. Tantangannya adalah pemda via sistem komando penanganan darurat bencana (SKPDB) belum memiliki strategi untuk memobilisir dan mendayagunakan tenaga relawan.

“Makanya untuk memastikan antar unit kerja bisa bersinergi, harus disusun proses bisnis /tata Laksana nya di SKPDB. Kalau cuma mengunggulkan ego ya bakalan bubar, nggak pernah ada praktik kolaborasi dalam penanganan darurat bencana.” Ujarnya.

Artinya, SKPDB itu representasi dari pemda, bukan hanya BPBD saja, untuk itu organisasi perangkat daerah (OPD) dan lembaga lain perlu menyepakati proses dan prosedur kinerja di masing-masing unit kerja yang ada di SKPDB. Disisi lain, pentahelix bisa ditempatkan dimana-mana (unit kerja) yang ada di SKPDB, yang penting mekanisme dan prosedur kerjanya jelas dan terukur, jadi siapapun yang masuk/terlibat dalam unit kerja akan tau bagaimana tugas, fungsi dan batasan dari unit kerja yang dia ikuti.

Didik juga bilang bahwa praktek selama ini banyak BPBD Kabupaten/Kota yang belum mampu menyusun proses bisnis SKPDB sehingga respon di lapangan masih sering mengedepankan ego sektoral karena nggak diatur sebagai satu kesatuan kerja dalam SKPDB.

Sementara itu, penataan database Relawan juga dilakukan termasuk mapping kebutuhan kompetensi relawan yang bisa mendukung fungsi SKPDB. Dalam peta pengelolaan relawan yang digagasnya, Sebelum terlibat dalam tanggap darurat, mereka harus daftar dan registrasi dulu di seksi admin (sekretariat), lalu ada klasifikasi kompetensi (oleh seksi personil sekretariat). Habis itu mereka akan standby untuk penempatan sesuai dengan kompetensi teknis yang dibutuhkan di lapangan.

Selama penempatan, kinerja Relawan dipantau oleh koordinator sektor teknis yang menggunakan ketrampilannya. Jika selesai durasi penempatan, Relawan akan ditarik ke sekretariat lagi. Gagasan ini menarik, namun pelaksanaannya jelas tidak mudah. Perlu proses, perlu kesepahaman.

Apa yang digagas pria berkacamata ini ada kemiripan dengan konsep desk relawan dari Pangarso Suryotomo dan Lilik Kurniawan, dari BNPB. Bahkan konsep itu sudah pernah di diskusikan pada acara Dharma Relawan Adhirajasa 2019 di Buleleng, Provinsi Bali.

Didik yang dulu ‘menggawangi’ Australia-Indonesia Facility for Disaster Reduction (AIFDR) di Jawa Timur, juga mengusulkan ke kawan-kawan FPRB DIY untuk memfasilitasi gelang karet yang ada barcode nya sebagai identitas relawan di lapangan. Dengan menggunakan karet gelang, berarti dia sudah terregistrasi di poško utama dan warna gelang karet menunjukkan kompetensi yang dia miliki.

“Kalau di Sleman, ada wacana bahwa tugas desk relawan itu menerima, mencatat, registrasi dan klasifikasi kompetensi relawan, serta mengeluarkan tanda pengenal (gelang karet) yang berisi informasi detail tentang relawan yang bersangkutan,” Katanya. Sebuah wacana yang kreatif inovatif dan layak sebagai masukan untuk BNPB/BPBD.

Sungguh, ngobrol online dengan Mas Didik, sapaan akrabnya, sangat menyenangkan. Banyak informasi tentang masalah kebencanaan yang menurutnya perlu dibenahi (termasuk relawan juga harus berbenah untuk menyesuaikan dengan gerak jamannya, seperti mapping kebutuhan untuk peningkatan kapasitasnya).

Dia juga berharap, agar komunitas relawan yang banyak jumlahnya itu mau berkumpul dan menyepakati prosedur dan mekanisme kerja di wilayah terdampak bencana, termasuk bagaimana kode etik dipatuhi dan aspek keamanan dan keselamatan relawan di lapangan juga menjadi prioritas untuk diperhatikan.

Kode etik dalam bentuk standard operating procedure (SOP) ini sudah pernah disusun hasil kerja bareng Mercycorps, namun tidak ditindak lanjuti oleh pemegang regulasi, sehingga mandek begitu saja tanpa kelanjutannya. Termasuk penerapan desk relawan yang sering disalah pahami oleh multi pihak, sehingga muncul istilah ‘matahari kembar’. Hal ini bisa terjadi karena masing-masing daerah punya karakter dan kekhasan sendiri-sendiri dalam memaknai penanganan bencana.  

Di penghujung obrolan online, Didik mengatakan bahwa saat ini personil relawan yang memiliki kompetensi analisis media sangat jarang, padahal biasanya publik menyampaikan suaranya via media sosial, jadi kalau ada informasi yang berseliweran di media sosial terkait penanganan dampak bencana, tidak ada satu pihakpun yang merangkum, menganalisis dan menyusun rekomendasi untuk menjelaskan kepada publik terkait isu yang berkembang. Jika dibiarkan, bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap kinerja SKPDB, dimana relawan ada di dalamnya.

Begitu juga dengan pusdalops, minimal mereka harus memiliki tiga operator (radio, media sosial dan media massa) untuk memantau, menangkap, memilah, klarifikasi, merangkum, menganalisis dan menyusun rekomendasi, informasi apa yang ada di publik yang perlu ditindak lanjuti oleh institusi. Tentunya semua ini harus dibangun sinergitas antar elemen pentahelix yang diantaranya bisa memasok informasi yang benar untuk menangkal berita hoax.

Semoga pandemi covid-19 segera berlalu agar gagasan cemerlang dari seorang Didik Mulyono bisa menjadi bahan diskusi secara luring di sore hari yang bisa menginspirasi untuk membuat aksi, tentunya sambil nyruput kopi khas Banyuwangi yang rasanya tidak kalah dengan kopi Gunung kawi. Salam Tangguh [eBas/MingguKliwon-20122020]

1 komentar:

  1. bismillah, mencoba mendokumentasikan ide/gagasan dari mas Didik untuk dijadikan bahan pembelajaran sesama relawan saat jagongan di warkop sambil ngopi (ngolah pikir).
    biasanya lewat jagongan akan muncul ide/gagasan yang hebat untuk menggelar aksi yg bermanfaat bagi masyarakat.
    semoga

    BalasHapus