Saat ini
kata ‘literasi’ mulai banyak
digunakan di berbagai bidang. Contohnya ada literasi kesehatan, literasi
budaya, literasi komunikasi dan mungkin juga akan muncul istilah literasi
pandemi covid-19. Semua itu tidak terlepas dari media massa yang
mempublikasikan dan diamini oleh para akademisi dalam sebuah karya tulis.
Ya,
sekarang kemampuan literasi itu bukan sekedar kemampuan untuk membaca, menulis
dan berhitung saja. Namun juga mencakup kemampuan berkomunikasi, membangun
jejaring kemitraan dan menciptakan peluang kerja. Kemampuan ini kiranya perlu
dimiliki oleh masyarakat, tak terkecuali relawan penanggulangan bencana, guna
meningkatkan kesejahteraan hidup dalam arti luas.
Termasuk
literasi kebencanaan yang sedang digagas menjadi sebuah gerakan. Ahmad Arif,
dari Kompas, mengatakan bahwa literasi bencana adalah kemampuan individu
membaca, memahami dan menggunakan infomasi guna memperkuat kapasitas diri dan
orang lain dalam menghadapi bencana.
Sementara
literasi kebencanaan menurut Wien Muldian adalah, kecakapan hidup untuk
mengelola, memahami, dan menggunakan informasi dalam pengambilan keputusan yang
tepat untuk mengikuti panduan penguatan ketangguhan di semua bidang dalam
tahapan penanggulangan bencana.
Disamping
kemampuan menggunakan informasi seperti yang dikatakan ke dua pakar di atas, masing-masing
individu atau masyarakat juga perlu memiliki kemampuan antisipasi, adaptasi,
proteksi terhadap kemungkinan terjadinya bencana, serta memiliki daya lenting
agar tidak terpuruk dalam kesedihan berkepanjangan pasca “dihajar” bencana. Semua ini bisa terwujud melalui gerakan literasi
yang melibatkan multi pihak, tentunya dibawah komando BNPB/BPBD
Dalam
webinar yang digelar hari minggu (13/12/2020) dengan mengambil tema perlunya
literasi kebencanaan. Pujiono sebagai pemandu acara mengakatakan perlunya
membagi peran, siapa melakukan apa dengan siapa, agar cikal bakal gerakan
literasi kebencanaan benar-benar segera tampak kebermanfaatannya bagi khalayak
ramai. Khususnya masyarakat yang berdomisili di kawasan rawan bencana, dengan
tetap mengakomodasi kearifan lokal, terkait dengan sejarah, cerita, dan mitos
kejadian bencana.
Seperti,
BNPB dan BPBD melakukan apa, Komunitas relawan bergerak di sisi mana dan elemen
pentahelix lainnya berbuat dibagian mananya bersama siapa. Sementara media
massa, maukah memberitakan kegiatan tanggap darurat dengan segala dinamikanya
secara berkala ?. ini penting agar khalayak ramai mendapat informasi yang benar
tentang upaya penanganan bencana oleh berbagai pihak.
Sebenarnya,
gerakan literasi kebencanaan itu sudah dilakukan oleh BNPB/BPBD maupun
komunitas relawan, dalam bentuk edukasi untuk meningkatkan kapasitas. Hanya, gaungnya
yang mungkin belum tampak. Sehingga diperlukan sebuah gerakan literasi yang
dipublikasikan secara besar-besaran dan terus menerus.
Tak lupa
pula dalam paparannya, wien Muldian juga menyemangati para aktor yang terlibat
dalam webinar untuk menggulirkan gagasan gerakan literasi kebencanaan. Dia
bilang, Jika semangat sudah tergalang, tiada hujan jadi perintang, tiada lautan
jadi penghalang, betapa pun jalan itu panjang … (yang penting kelak ada
regulasi yang menunjang. Agar tidak hanya berdebat panjang, tapi gagasan itu
bisa langsung berjalan dan diterapkan di berbagai kalangan. Red).
Semoga
para penggagasnya yang terdiri dari para pakar dibidangnya, benar-benar bisa
istiqomah mengawal kelahiran gerakan ini agar tidak sekedar wacana akhir tahun
2020 yang mengiringi isue pengadaan vaksin sinovac untuk mengatasi pandemi covid-19
yang masih fluktuatif perkembangannya. Salam Sehat, Salam Literasi, tetap
menginspirasi. [eBas/RabuLegi-16122020]
jika literasi kebencanaan dikaitkan dengan program sosialisasi PRB, pembentukan dan pembinaan destana dan katana yg dilakukan BNPB/BPBD selama ini. serta edukasi yang dilakukan komunitas relawan utk meningkatkan kapasitas anggotanya maupun masyarakat yang menjadi sasran programnya (misalnya kegiatan rutin Arisan Ilmu Nol Rupiah yg diselenggarakan oleh SRPB Jawa Timur bertempat di JOKA Sedati, Sidoarjo), itu berarti ya sudah dilakukan kegiatan literasi terkait dengan edukasi.
BalasHapusmungkin semua itu gaungnya masih terbatas belum terasakan karena (mungkin) keterlibatan media massa dalam mempublikasikan giat edukasi/literasi terkait dengan kebencanaan belumlah dilakukan secara besar2an dan terprogram sehingga khalayak ramai belum paham
tetap semangat membangun budaya tangguh, budaya kesiapsiagaan menghadapi bencana sehingga bisa mengurangi dampak bencana secara mandiri
sementara komunitas relawan yg lain pastinya juga punya agenda utk mengedukasi anggotanya juga masyarakat sasaran dengan versinya masing2.
BalasHapussementara BNPB sudah menerbitkan buku2 kebencanaan namun darung download sendiri, jelas itu jarang yg melakukannya karena budaya kita iru bukan budaya baca tapi budaya tutur. buru2 men download buku bacaan yg diterbitkan bnpb, sudah ada bukunya saja masyarakat banyak yg ogah membacanya.
inilah yg hendaknya juga menjadi bahan pemikirang kawan2 penggagas GLK
salam literasi untuk menginspirasi sebuah aksiuntuk mengabdi kepada negeri
BalasHapus