Rapat koordinasi forum pengurangan risiko bencana (F-PRB)
Jawa Timur tahun 2022 ini mengambil tema, “Peneguhan Peran Strategis F-PRB Jatim
dalam Penanggulangan Bencana”,telah berakhir dengan sangat memuaskan. Ya, semua
peserta merasa puas dengan pelayanan panitia, puas dengan menu yang disajikan,
serta paparan materi yang mencerahkan.
Bahkan yang istimewa lagi adalah ditandatanganinya nota
kesepahaman antara F-PRB Jatim dengan PWI yang disaksikan oleh BPBD Provinsi
Jawa Timur. (konon, SRPB juga melakukannya, namun tampaknya belum ada tindak
lanjutnya). Hal ini untuk menjawab pertanyaan Mas Didik tentang apakah forum
sudah memanfaatkan iklan layanan masyarakat untuk sosialisasi pengurangan
risiko bencana.
Harapannya, ke depan, media massa semakin sering
memberitakan peristiwa bencana dari berbagai sudut pandang, termasuk
memberitakan semua kegiatan kebencanaan yang diagendakan BPBD dan F-PRB, agar
khalayak ramai mengetahui informasi bencana dan kebencanaan, guna turut serta
mensukseskan gerakan literasi kebencanaan.
Hal ini sejalan dengan materi jurnalisme kebencanaan yang
disampaikan oleh Machmud Suhermono, wakil ketua PWI Jawa Timur, yang mengatakan
bahwa Jurnalisme
bencana membahas bagaimana media meliput dan memberitakan bencana kepada
publik. Mulai dari tata cara pencegahan hingga pemulihan pasca bencana.
Sementara, praktik jurnalisme bencana
dilakukan dengan meliput dan melaporkan informasi kebencanaan kepada
masyarakat. Tidak hanya ketika bencana terjadi, melainkan dari pencegahan
hingga upaya pemulihan pasca bencana.
Diharapkan pula, ada kerjasama diklat jurnalistik
kebencanaan untuk relawan. Dimana, di dalam diklat itu pesertanya benar-benar
dilatih untuk menjadi penulis, baik menulis berita maupun menulis esai melalui
serangkaian praktek menulis.
Peserta juga dipahamkan tentang apa itu pola piramida
terbalik, bagaimana mencari berita, apa itu bahasa jurnalistik maupun karya
foto jurnalistik, dan sebagainya yang terkait dengan jurnalistik.
Artinya, peserta benar-benar diajak praktek menulis. Bukan
sekedar mendengarkan cerita tentang dunia jurnalistik yang ndakik-ndakik
namun tidak membuat peserta tergelitik untuk mencoba membuat tulisan yang menggelitik.
Paling tidak, dengan membaca materi yang kemarin
disajikan tanpa diberi waktu tanya jawab itu, relawan mengetahui Tiga
Fungsi Jurnalisme Bencana. Yaitu, Mendidik masyarakat terhadap
kejadian bencana. Artinya, Jurnalisme
bencana seharusnya tidak hanya membahas soal dampak dan kronologis bencana.
Namun, juga harus mendidik masyarakat mengenai kejadian bencana. Hal ini bisa
dilakukan lewat pemberitaan fakta bencana, agar dapat menjadi pembelajaran bagi
pihak berwenang dan masyarakat di masa yang akan datang.
Selanjutnya Mengungkap data dan fakta yang akurat. Yaitu, Praktik
jurnalisme bencana harus mengedepankan nilai humanisme sosial, dengan
mengungkap data dan fakta yang akurat.
Sehingga
pemberitaan mengenai kebencanaan itu bisa menjadi pendidikan sosial bagi
seluruh masyarakat, baik korban atau publik, tentang hikmah atau pembelajaran
yang bisa didapatkan dari peristiwa bencana. Sedang fungsi ke tiga adalah, Tidak
memberitakan peristiwa yang bisa melukai perasaan korban bencana.
Dengan kata lain, relawan menjadi paham bahwa karya
jurnalstik itu bisa bersifat informatif, edukatif maupun sebagai kontrol
sosial. Sehingga dalam memahami berita atau esai, harus menggunakan hati, bukan
emosi. Ingat Ali bin Abi Thalib pernah berkata, jangan melihat siapa yang
bicara, tapi lihatlah apa yang dibicarakan.
Sungguh, jika kolaborasi antara PWI dan F-PRB benar-benar bisa terwujud, maka
pengurus forum yang membidangi humas dan publikasi, pasti akan bersemangat membuat reportase
tentang segala kegiatan forum melalui berbagai media yang dimiliki.
Dengan ilmu jurnalistik yang dimiliki, mereka akan rajin
mendokumentasikan segala kegiatan forum di ketiga fase bencana, yang dirupakan
dalam sebentuk buku untuk “diwariskan” kepada pengurus baru sebagai
bahan pembelajaran yang inspiratif. [eBas_ndlemingDewe/SeninLegi-08072022]
dengan memahami literasi kebencanaan, relawan bisa turut serta mensosislisasikan masalah kebencanaan yang telah diprogramkan oleh bpbd.
BalasHapustermasuk cerdas memahami bahwa karya jurnalistik itu banyak jenisnya dan harus dilihat dari berbagai perspektif. harus dipahami dengan hati, bukan emosi. karena di dalam dunia jurnalistik itu ada yang namanya hak jawab jika pembaca tidak setuju, tidak suka dengan isi tulisan. untuk kemudian di klarifikasi agar ada revisi dan perbaikan. tidak ujuk2 akan di somasi, akan di laporkan ke pak polisi.
ingat lho berperkara di depan pak pulisi itu melelahkan dan tidak mudah. bisa2 malah habis uang banyak dan masalahnya melebar kemana-mana dan bisa saling menggigit banyak pihak.
melalui gerakan literasi kebencanaan itu diharapkan relawan semakin cerdas dalam membaca berita sekaligus membaca situasi dan kondisi.
kata orang dunia kerelawanan itu yang dicari kepuasan hati, bukan materi.
salam sehat salam waras
jangan lupa bahagia