Minggu, 07 Agustus 2022

KOLABORASI UNTUK LITERASI KEBENCANAAN

Rapat koordinasi forum pengurangan risiko bencana (F-PRB) Jawa Timur tahun 2022 ini mengambil tema, “Peneguhan Peran Strategis F-PRB Jatim dalam Penanggulangan Bencana”,telah berakhir dengan sangat memuaskan. Ya, semua peserta merasa puas dengan pelayanan panitia, puas dengan menu yang disajikan, serta paparan materi yang mencerahkan.

Bahkan yang istimewa lagi adalah ditandatanganinya nota kesepahaman antara F-PRB Jatim dengan PWI yang disaksikan oleh BPBD Provinsi Jawa Timur. (konon, SRPB juga melakukannya, namun tampaknya belum ada tindak lanjutnya). Hal ini untuk menjawab pertanyaan Mas Didik tentang apakah forum sudah memanfaatkan iklan layanan masyarakat untuk sosialisasi pengurangan risiko bencana.

Harapannya, ke depan, media massa semakin sering memberitakan peristiwa bencana dari berbagai sudut pandang, termasuk memberitakan semua kegiatan kebencanaan yang diagendakan BPBD dan F-PRB, agar khalayak ramai mengetahui informasi bencana dan kebencanaan, guna turut serta mensukseskan gerakan literasi kebencanaan.

Hal ini sejalan dengan materi jurnalisme kebencanaan yang disampaikan oleh Machmud Suhermono, wakil ketua PWI Jawa Timur, yang mengatakan bahwa Jurnalisme bencana membahas bagaimana media meliput dan memberitakan bencana kepada publik. Mulai dari tata cara pencegahan hingga pemulihan pasca bencana.

Sementara, praktik jurnalisme bencana dilakukan dengan meliput dan melaporkan informasi kebencanaan kepada masyarakat. Tidak hanya ketika bencana terjadi, melainkan dari pencegahan hingga upaya pemulihan pasca bencana.

Diharapkan pula, ada kerjasama diklat jurnalistik kebencanaan untuk relawan. Dimana, di dalam diklat itu pesertanya benar-benar dilatih untuk menjadi penulis, baik menulis berita maupun menulis esai melalui serangkaian praktek menulis.

Peserta juga dipahamkan tentang apa itu pola piramida terbalik, bagaimana mencari berita, apa itu bahasa jurnalistik maupun karya foto jurnalistik, dan sebagainya yang terkait dengan jurnalistik.

Artinya, peserta benar-benar diajak praktek menulis. Bukan sekedar mendengarkan cerita tentang dunia jurnalistik yang ndakik-ndakik namun tidak membuat peserta tergelitik untuk mencoba membuat tulisan yang menggelitik.

Paling tidak, dengan membaca materi yang kemarin disajikan tanpa diberi waktu tanya jawab itu, relawan mengetahui Tiga Fungsi Jurnalisme Bencana. Yaitu, Mendidik masyarakat terhadap kejadian bencana. Artinya, Jurnalisme bencana seharusnya tidak hanya membahas soal dampak dan kronologis bencana. Namun, juga harus mendidik masyarakat mengenai kejadian bencana. Hal ini bisa dilakukan lewat pemberitaan fakta bencana, agar dapat menjadi pembelajaran bagi pihak berwenang dan masyarakat di masa yang akan datang.

Selanjutnya Mengungkap data dan fakta yang akurat.  Yaitu, Praktik jurnalisme bencana harus mengedepankan nilai humanisme sosial, dengan mengungkap data dan fakta yang akurat.

Sehingga pemberitaan mengenai kebencanaan itu bisa menjadi pendidikan sosial bagi seluruh masyarakat, baik korban atau publik, tentang hikmah atau pembelajaran yang bisa didapatkan dari peristiwa bencana. Sedang fungsi ke tiga adalah, Tidak memberitakan peristiwa yang bisa melukai perasaan korban bencana.

Dengan kata lain, relawan menjadi paham bahwa karya jurnalstik itu bisa bersifat informatif, edukatif maupun sebagai kontrol sosial. Sehingga dalam memahami berita atau esai, harus menggunakan hati, bukan emosi. Ingat Ali bin Abi Thalib pernah berkata, jangan melihat siapa yang bicara, tapi lihatlah apa yang dibicarakan.

Sungguh, jika kolaborasi antara  PWI dan F-PRB benar-benar bisa terwujud, maka pengurus forum yang membidangi humas dan publikasi, pasti akan bersemangat membuat reportase tentang segala kegiatan forum melalui berbagai media yang dimiliki.

Dengan ilmu jurnalistik yang dimiliki, mereka akan rajin mendokumentasikan segala kegiatan forum di ketiga fase bencana, yang dirupakan dalam sebentuk buku untuk “diwariskan” kepada pengurus baru sebagai bahan pembelajaran yang inspiratif. [eBas_ndlemingDewe/SeninLegi-08072022]

 

  

 

 

 

 

1 komentar:

  1. dengan memahami literasi kebencanaan, relawan bisa turut serta mensosislisasikan masalah kebencanaan yang telah diprogramkan oleh bpbd.
    termasuk cerdas memahami bahwa karya jurnalistik itu banyak jenisnya dan harus dilihat dari berbagai perspektif. harus dipahami dengan hati, bukan emosi. karena di dalam dunia jurnalistik itu ada yang namanya hak jawab jika pembaca tidak setuju, tidak suka dengan isi tulisan. untuk kemudian di klarifikasi agar ada revisi dan perbaikan. tidak ujuk2 akan di somasi, akan di laporkan ke pak polisi.
    ingat lho berperkara di depan pak pulisi itu melelahkan dan tidak mudah. bisa2 malah habis uang banyak dan masalahnya melebar kemana-mana dan bisa saling menggigit banyak pihak.
    melalui gerakan literasi kebencanaan itu diharapkan relawan semakin cerdas dalam membaca berita sekaligus membaca situasi dan kondisi.

    kata orang dunia kerelawanan itu yang dicari kepuasan hati, bukan materi.

    salam sehat salam waras
    jangan lupa bahagia

    BalasHapus