Kamis, 22 September 2022

PEMBELAJARAN DARI BENCANA GUNUNG SEMERU 2022

Sungguh, tidak rugi menyimak webinar kali ini yang bertajuk “Lokakarya Strategi Penanganan Shelter dan Pemulihan Pasca Bencana; Pembelajaran dari Awan Panas Gunung Semeru”. Banyak informasi baru yang muncul dalam kegiatan webinar kali ini.

Mulai dari Pak Bupati yang merasa harus kuliah pasca sarjana (S2) di Unair Surabaya, agar semakin paham bagaimana menangani bencana, termasuk paham akan klaster, sehingga tidak bertanya tanya lagi, dan banyak lagi yang harus dibenahi, termasuk perlunya peningkatan sumber daya manusia yang menangani kebencanaan.

Ya, bencana Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang tahun 2022 ini, perlu kiranya menjadi sebuah pembelajaran bagi para pihak untuk dijadikan bahan penyusunan kebijakan, dan program peningkatan kapasitas para pihak, termasuk aktor lokal (relawan sebagai salah satu unsur pentahelix yang tergabung dalam Forum PRB) agar semakin baik ke depannya.

Hal ini sejalan dengan apa yang dirasakan oleh Alfin, salah seorang pengurus Forum PRB Provinsi Jawa Timur, bahwa pelaksanaan manajemen posko kurang sesuai dengan SKPDB, sistem koordinasi dan komunikasi antar pihak (khususnya OPD), kurang maksimal, distribusi logistik tidak merata.

Masih kata pria yang aktif sebagai fasilitator destana ini, mengatakan bahwa donasi yang masuk ke Baznas cukup banyak, lebih dari 30 milyar, namun belum tersalurkan, pengelolaan data dan informasi tentang korban hingga masa transisi darurat belum valid dikarenakan masing-masing OPD mempunyai data sendiri yang berbeda satu sama lain.

Sebuah pekerjaan rumah yang harus mendapat perhatian dari para pihak, termasuk Forum PRB, baik tingkat Provinsi Jawa Timur, khususnya pengurus Forum PRB Kabupaten Lumajang.

Kegiatan ini merupakan hasil  kerjasama antara Kemenko pembangunan manusia dan kebudayaan, dengan sub klaster shelter pengungsian dan perlindungan yang dikoordinasikan oleh kementerian sosial serta Human Initiative, Catholic Relief Service, IFRC, dan Predik, di hotel morissey jakarta, selasa (20/09/2022).

Pembicara dalam webinar ini bukan kaleng-kaleng, semua berkaliber nasional, bahkan ada yang berpengalaman internasional. Sehingga apa yang disampaikan itu pastilah bukan hoax, tetapi benar-benar berdasar data, fakta dan laporan dari lapangan.

Misalnya, kurangnya pelibatan masyarakat setempat dalam fase tanggap bencana dan pasca bencana. Program pemberdayaan masyarakat yang diberikan oleh lembaga tertentu, sering kali tidak disertai dengan upaya tindak lanjut, khususnya masalah pemasaran produknya. Sehingga tidak bisa berkembang dan berhenti setelah dana stimulusnya habis digunakan.

Ada juga harapan bahwa pemerintah daerah harus memahami tentang adanya potensi ancaman bencana di daerahnya, juga kerentanan dan kapasitasnya, sehingga bisa membangun ketangguhan melalui mitigasi dan kesiapsiagaan dengan melibatkan aktor lokal. Dengan demikian mereka siap menghadapi bencana.

Diharapkan juga mereka memahami pentingnya koordinasi, dan komunikasi antar pihak dalam kerja-kerja pengurangan risiko bencana dan penanggulangan bencana seperti yang dipesankan oleh UU 24 tahun 2007.

Dalam sesi tanya jawab, banyak sekali dari peserta  webinar yang dilakukan secara hybrid ini mengemukakan pendapatnya, sesuai sudut pandang dan informasi yang diterimanya.

Di kolom chat, ada yang menuliskan bahwa praktik baik yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Lumajang dalam menangani bencana awan panas guguran Gunung Semeru, sulit untuk diduplikasikan ke daerah lain, karena kuatnya politik lokal yang mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh pimpinan daerah.

“Ya, semua tergantung kebijakan pemda dan kemampuannya dalam berkoordinasi dengan pusat. Beda pimpinan tentu berbeda pula cara berkomunikasinya. Termasuk beda bencana, beda pula penanganannya,” Kata Tommy dalam chat nya.

Sementara, Nugroho, mengatakan bahwa kecepatan penanganan bencana di Lumajang tempo hari itu karena Bupatinya yang istimewa. Akan lebih baik lagi jika dia memahami tentang konsep pengurangan risiko bencana dan kajian risiko bencana sehingga akan muncul rencana penanggulangan bencana. Apa yang dikemukakan ini tentunya perlu didiskusikan lebih lanjut.

Terkait dengan pernyataannya di atas, Nugroho juga mengatakan bahwa beda ancaman bencana, beda pula skema tindakan dan strategi yang akan diambil. Begitu juga beda karakter dan kultur (kearifan lokal), serta pemahaman pimpinan daerah juga berpengaruh terhadap arah kebijakan yang akan diambil untuk menangani bencana.

Hal ini senada dengan pendapat Samuel. Menurutnya, praktik baik yang dilakukan oleh Kabupaten Lumajang, layak diadopsi oleh pemerintah daerah lain, khususnya yang memiliki kemiripan potensi ancamannya. Jika memungkinkan bisa dikampanyekan lewat berbagai media.

Sementara, masalah huntara dan huntap diangkat oleh Alfin, yang aktif menjaga Pos Bersama (POSMA) yang didirikan oleh Forum PRB Jawa Timur. Dia bilang bahwa huntap dibangun lebih cepat daripada huntara. Padahal, konon, dasar dari pembangunan huntap itu harus mengacu pada rencana rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana (R3P).

Pertanyaannya kemudian, dokumen R3P belum selesai atau masih dalam proses penyusunan, namun huntap sudah berdiri, dengan beberapa kekurangan disana sini. Apakah ini tidak menyalahi aturan, atau memang boleh dilanggar asalkan sesuai dengan kebijakan yang disepakati. Konon masalah ini hanya terjadi di Lumajang, daerah lain belum.

Terkait dengan chatnya Alfin, Nugroho menambahkan bahwa kami dalam operasi tanggap darurat maupun pasca bencana selalu berhitung dengan sphere (standar minimum). Memang praktek di Lumajang berbeda dengan standar minimum untuk shelter. Itulah yang menjadikan banyak NGO mengalihkan program pasca bencana kebentuk atau pendampingan selain hunian (huntara maupun huntap).

“Mohon maaf, termasuk kami salah satunya yang berencana mendirikan huntara dialihkan ke program pemulihan saluran air, karena ketidak jelasan kebijakan” Tambahnya.

Ya apalah artinya saling adu cepat dalam membangun huntara dan huntap namun hasilnya tidak layak huni. Apakah ini termasuk salah satu kriteria keberhasilan relokasi. Tampaknya pernyataan ini juga perlu didiskusikan lebih lanjut sambil ngopi.

Mengakhiri webinar yang dinamis ini, Nugroho dari Kota Semarang, dalam chatnya, mengajak para pihak untuk bergandeng tangan membangun bangsa dari pasca bencana. Jangan manjakan penyintas, yang secara tidak sadar kita telah membodohkan mereka.

“Mari mainkan strategi dan kolaborasi pentahelix serta kearifan lokal, sehingga penggunaan anggaran bencana bisa lebih efisien, dengan kinerja yang efektif sehingga pengalokasian bantuan bisa lebih luas,” Katanya.

Yang jelas, semua komentar yang muncul dalam webinar ini perlu dijadikan bahan evaluasi dan dibahas antar pihak sambil ngopi, agar tidak ada dusta diantara pihak yang terlibat. Salam Sehat. [eBas/KamisLegi-22092022]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1 komentar:

  1. sungguh semua infomasi yang muncul saat webinar itu sangat berarti untuk dijadikan pembelajaran bagi para pihak yang berkecimpung dalam kebencanaan di jawa timur.
    semua yang muncul merupakan dampak dari kurangnya saling pengertian antar pihak, masih adanya egosektoral dalam hal program dan anggaran penanganan bencana, masih lemahnya SKPDB sehingga semua alur data, informasi dan kebijakan belum melalui satu pintu. masing-masing merasa memiliki kuasa sendiri untuk melakukan apa yang menjadi program masing-masing kantor/lembaga.
    aktor lokal yang bernama relawan yang tergabung dlam forum prb juga belum diikut sertakan dalam penanggulangan bencana dalam arti sebenarnya.
    meeka, para relawan dari berbagai komunitas masih bekerja sesuai panggilan jiwa dan rasa kepedulian kepada sesama sesuai visi misi masing2 komunitas. inilah yang seharusnya oleh bpbd dikoordinir dan diajak berkomunikasi.
    semoga forum prb menjadikan webinar tersebut menjadi bahan rapat untuk menyusun rekomendasi.

    BalasHapus