Sungguh, tidak rugi menyimak webinar kali ini yang
bertajuk “Lokakarya Strategi Penanganan Shelter dan Pemulihan Pasca Bencana; Pembelajaran
dari Awan Panas Gunung Semeru”. Banyak informasi baru yang muncul dalam
kegiatan webinar kali ini.
Mulai dari Pak Bupati yang merasa harus kuliah pasca
sarjana (S2) di Unair Surabaya, agar semakin paham bagaimana menangani bencana,
termasuk paham akan klaster, sehingga tidak bertanya tanya lagi, dan banyak
lagi yang harus dibenahi, termasuk perlunya peningkatan sumber daya manusia yang
menangani kebencanaan.
Ya, bencana Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang tahun
2022 ini, perlu kiranya menjadi sebuah pembelajaran bagi para pihak untuk
dijadikan bahan penyusunan kebijakan, dan program peningkatan kapasitas para pihak,
termasuk aktor lokal (relawan sebagai salah satu unsur pentahelix yang
tergabung dalam Forum PRB) agar semakin baik ke depannya.
Hal ini sejalan dengan apa yang dirasakan oleh Alfin,
salah seorang pengurus Forum PRB Provinsi Jawa Timur, bahwa pelaksanaan
manajemen posko kurang sesuai dengan SKPDB, sistem koordinasi dan komunikasi antar
pihak (khususnya OPD), kurang maksimal, distribusi logistik tidak merata.
Masih kata pria yang aktif sebagai fasilitator destana ini,
mengatakan bahwa donasi yang masuk ke Baznas cukup banyak, lebih dari 30 milyar,
namun belum tersalurkan, pengelolaan data dan informasi tentang korban hingga
masa transisi darurat belum valid dikarenakan masing-masing OPD mempunyai data
sendiri yang berbeda satu sama lain.
Sebuah pekerjaan rumah yang harus mendapat perhatian dari
para pihak, termasuk Forum PRB, baik tingkat Provinsi Jawa Timur, khususnya
pengurus Forum PRB Kabupaten Lumajang.
Kegiatan ini merupakan hasil kerjasama antara Kemenko pembangunan manusia
dan kebudayaan, dengan sub klaster shelter pengungsian dan perlindungan yang dikoordinasikan
oleh kementerian sosial serta Human Initiative, Catholic Relief Service, IFRC,
dan Predik, di hotel morissey jakarta, selasa (20/09/2022).
Pembicara dalam webinar ini bukan kaleng-kaleng, semua
berkaliber nasional, bahkan ada yang berpengalaman internasional. Sehingga apa
yang disampaikan itu pastilah bukan hoax, tetapi benar-benar berdasar data,
fakta dan laporan dari lapangan.
Misalnya, kurangnya pelibatan masyarakat setempat dalam fase
tanggap bencana dan pasca bencana. Program pemberdayaan masyarakat yang
diberikan oleh lembaga tertentu, sering kali tidak disertai dengan upaya tindak
lanjut, khususnya masalah pemasaran produknya. Sehingga tidak bisa berkembang
dan berhenti setelah dana stimulusnya habis digunakan.
Ada juga harapan bahwa pemerintah daerah harus memahami
tentang adanya potensi ancaman bencana di daerahnya, juga kerentanan dan
kapasitasnya, sehingga bisa membangun ketangguhan melalui mitigasi dan
kesiapsiagaan dengan melibatkan aktor lokal. Dengan demikian mereka siap
menghadapi bencana.
Diharapkan juga mereka memahami pentingnya koordinasi, dan
komunikasi antar pihak dalam kerja-kerja pengurangan risiko bencana dan
penanggulangan bencana seperti yang dipesankan oleh UU 24 tahun 2007.
Dalam sesi tanya jawab, banyak sekali dari peserta webinar yang dilakukan secara hybrid ini
mengemukakan pendapatnya, sesuai sudut pandang dan informasi yang diterimanya.
Di kolom chat, ada yang menuliskan bahwa praktik baik
yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Lumajang dalam menangani bencana awan
panas guguran Gunung Semeru, sulit untuk diduplikasikan ke daerah lain, karena
kuatnya politik lokal yang mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh pimpinan
daerah.
“Ya, semua tergantung kebijakan pemda dan kemampuannya dalam
berkoordinasi dengan pusat. Beda pimpinan tentu berbeda pula cara
berkomunikasinya. Termasuk beda bencana, beda pula penanganannya,” Kata Tommy
dalam chat nya.
Sementara, Nugroho, mengatakan bahwa kecepatan penanganan
bencana di Lumajang tempo hari itu karena Bupatinya yang istimewa. Akan lebih
baik lagi jika dia memahami tentang konsep pengurangan risiko bencana dan kajian
risiko bencana sehingga akan muncul rencana penanggulangan bencana. Apa yang
dikemukakan ini tentunya perlu didiskusikan lebih lanjut.
Terkait dengan pernyataannya di atas, Nugroho juga mengatakan
bahwa beda ancaman bencana, beda pula skema tindakan dan strategi yang akan diambil.
Begitu juga beda karakter dan kultur (kearifan lokal), serta pemahaman pimpinan
daerah juga berpengaruh terhadap arah kebijakan yang akan diambil untuk
menangani bencana.
Hal ini senada dengan pendapat Samuel. Menurutnya, praktik
baik yang dilakukan oleh Kabupaten Lumajang, layak diadopsi oleh pemerintah
daerah lain, khususnya yang memiliki kemiripan potensi ancamannya. Jika memungkinkan
bisa dikampanyekan lewat berbagai media.
Sementara, masalah huntara dan huntap diangkat oleh
Alfin, yang aktif menjaga Pos Bersama (POSMA) yang didirikan oleh Forum PRB
Jawa Timur. Dia bilang bahwa huntap dibangun lebih cepat daripada huntara. Padahal,
konon, dasar dari pembangunan huntap itu harus mengacu pada rencana
rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana (R3P).
Pertanyaannya kemudian, dokumen R3P belum selesai atau
masih dalam proses penyusunan, namun huntap sudah berdiri, dengan beberapa
kekurangan disana sini. Apakah ini tidak menyalahi aturan, atau memang boleh
dilanggar asalkan sesuai dengan kebijakan yang disepakati. Konon masalah ini
hanya terjadi di Lumajang, daerah lain belum.
Terkait dengan chatnya Alfin, Nugroho menambahkan bahwa
kami dalam operasi tanggap darurat maupun pasca bencana selalu berhitung dengan
sphere (standar minimum). Memang praktek di Lumajang berbeda dengan standar
minimum untuk shelter. Itulah yang menjadikan banyak NGO mengalihkan program
pasca bencana kebentuk atau pendampingan selain hunian (huntara maupun huntap).
“Mohon maaf, termasuk kami salah satunya yang berencana
mendirikan huntara dialihkan ke program pemulihan saluran air, karena ketidak
jelasan kebijakan” Tambahnya.
Ya apalah artinya saling adu cepat dalam membangun huntara
dan huntap namun hasilnya tidak layak huni. Apakah ini termasuk salah satu
kriteria keberhasilan relokasi. Tampaknya pernyataan ini juga perlu
didiskusikan lebih lanjut sambil ngopi.
Mengakhiri webinar yang dinamis ini, Nugroho dari Kota
Semarang, dalam chatnya, mengajak para pihak untuk bergandeng tangan membangun
bangsa dari pasca bencana. Jangan manjakan penyintas, yang secara tidak sadar
kita telah membodohkan mereka.
“Mari mainkan strategi dan kolaborasi pentahelix serta
kearifan lokal, sehingga penggunaan anggaran bencana bisa lebih efisien, dengan
kinerja yang efektif sehingga pengalokasian bantuan bisa lebih luas,” Katanya.
Yang jelas, semua komentar yang muncul dalam webinar ini
perlu dijadikan bahan evaluasi dan dibahas antar pihak sambil ngopi, agar tidak
ada dusta diantara pihak yang terlibat. Salam Sehat. [eBas/KamisLegi-22092022]
sungguh semua infomasi yang muncul saat webinar itu sangat berarti untuk dijadikan pembelajaran bagi para pihak yang berkecimpung dalam kebencanaan di jawa timur.
BalasHapussemua yang muncul merupakan dampak dari kurangnya saling pengertian antar pihak, masih adanya egosektoral dalam hal program dan anggaran penanganan bencana, masih lemahnya SKPDB sehingga semua alur data, informasi dan kebijakan belum melalui satu pintu. masing-masing merasa memiliki kuasa sendiri untuk melakukan apa yang menjadi program masing-masing kantor/lembaga.
aktor lokal yang bernama relawan yang tergabung dlam forum prb juga belum diikut sertakan dalam penanggulangan bencana dalam arti sebenarnya.
meeka, para relawan dari berbagai komunitas masih bekerja sesuai panggilan jiwa dan rasa kepedulian kepada sesama sesuai visi misi masing2 komunitas. inilah yang seharusnya oleh bpbd dikoordinir dan diajak berkomunikasi.
semoga forum prb menjadikan webinar tersebut menjadi bahan rapat untuk menyusun rekomendasi.