Kamis, 29 September 2022

PROGRAM SPAB TAK SEINDAH WARNA ASLINYA

Nice sharing mbak Retno dan Mbak Ocha. Ijin bertanya kepada kedua implementator SPAB, baik dari FPRB maupun dari SRPB. Fasilitasi SPAB ini harus didukung oleh multipihak. Sustainibilitas menjadi salah satu indikator keberhasilannya. Apakah sudah ada strategi untuk mencapai hal itu?, misal melalui integrasi materi kebencanaan kedalam mata pelajaran. Karena untuk jenjang SD/sederajat dan SMP/sederajat belum ada mata pelajaran khusus tentang mitigasi bencana. Demikian, terima kasih.

Begitulah salah satu pertanyaan yang dilontarkan Annisatu Nadiroh, salah seorang peserta webinar tentang edukasi kebencanaan, dengan bahasan menuju sekolah aman bencana, sebuah praktik inklusi mandiri dan penerapan SPAB, yang digelar hari rabu (28/09/2022).

Webinar ini digelar dalam rangka turut “mangayubagyo” acara KN-PRBBK XV tahun 2022. Acara rutin yang digelar setiap tahun dalam bentuk kegiatan diskusi reflektif praktik baik upaya pengurangan risiko bencana berbasis komunitas, dengan berbagai tema yang dilih oleh masing-masing region.

Untuk region Jawa Timur, salah satu tema yang diambil adalah seputar edukasi kebencanaan. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi penikmat webinar untuk ikut menyimak. Jumlah pesertanya diluar prakiraan. Sebelumnya hanya berharap 47 partisipan, ternyata membludak banyak.

Ini menandakan bahwa pemilihan tema juga sangat menentukan. Harus dibuat sebombastis mungkin, kayak judul yang sering muncul di “koran kuning”. Tidak peduli isinya biasa-biasa saja, yang penting chasing nya eye catching, yang mendorong peserta untuk bertanya.

Diantaranya adalah pertanyaan dari Eko Yudha terkait SPAB, yaitu, tentang bagaimana terapan pilar ke 3 yang membahas kurikulum dan siapa yang mempunyai tanggung jawab untuk memasukkan poin tersebut kedalam kurikulum.

Sementara, Rurid dari Kota Kepanjen, Kabupaten Malang bertanya, apakah aktor yang diserahi melaksanakan SPAB juga menyiapkan perangkat untuk monev kegiatan pasca kegiatan edukasi bencana, serta mohon diceritakan tentang tantangan dalam keberlanjutan edukasi bencana untuk investasi pengetahuan.

Masih kata mantan Sekjen F-PRB Jatim sebelum digantikan mBah Dharmo, Edukasi bencana bukan hanya mengurangi risiko dalam jangka pendek, namun jangka panjang.  Tantangan yang sebenarnya adalah bagaimana efektivitas edukasi kebencanaan dengan berbagai latar belakang yang ada? dan bagaimana keberlanjutannya, karena berdasarkan pengalaman tentang program destana yang tidak berlanjut.

“Apakah teman-teman dalam memfasilitasi edukasi bencana juga merancang rencana tindak lanjut?,” Imbuhnya.

Agus Sadid, seorang pelaksana program pendidikan non formal dari Sumbawa, bertanya, apakah untuk edukasi kebencanaan, bisa masuk ke dalam kurikulum kami di SKB terutama terkait dgn program pendidilkan kesetaraan.

“Saya harapkan edukasi kebencanaan bisa disenergikan dengan program life skill dan pnguatan kapasitas peseta didik PAUD dan Dikmas. Begitu juga struktur materi edukasi kebencanaan sebaiknya memuat atau mengaitkan sistem model kearifan lokal sehingga lebih efektif,” Begitu harap Bang Sadid, panggilan akrabnya.

Sungguh, pertanyaan yang dipaparkan di atas tidak mudah dijawab, karena berbau kebijakan. Sementara dinas pendidikan sendiri masih banyak yang belum paham, bahkan tidak tahu akan keberadaan Permendikbud nomor 33 tahun 2019. Sehingga mereka belum mengeluarkan perintah agar sekolah menyelenggarakan SPAB.

Pihak dinas masih bersikap defensif, menunggu ajakan BPBD untuk ber SPAB lewat programnya. Sedangkan sekolah, khususnya sekolah negeri, kebanyakan masih menunggu arahan dan petunjuk atasan.

Ingat lho, program SPAB yang dibawa oleh “Tim SPAB bersertifikat”  itu programnya BPBD yang sifatnya masih sebatas sosialisasi demi daya serap anggaran. Jadi, disini yang diutamakan anggaran cepat terserap sesuai aturan untuk segera dilaporkan.

Masalah program SPAB ditindak lanjuti atau tidak oleh sekolah, pasca “didatangi” Tim SPAB bersertifikat, itu urusan lain. Hal ini sejalan dengan apa kata Rurid tentang program destana yang tidak diikuti oleh program penguatan maupun program pemandirian, seperti yang dipraktikkan dalam program pendidikan non formal.

Untuk itu, alangkah baiknya jika BPBD menggandeng elemen pentahelix yang tergabung dalam F-PRB untuk menindaklanjuti ke dua program itu, baik SPAB dan Destana, agar tidak “layu sebelum berkembang”. dimana Forum diberi tugas melakukan pendampingan secara berkala, baik untuk program SPAB dan Destana. Sehingga keberadaan ke dua program benar-benar berdampak positif terhadap upaya membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana.

Tentu, aturan mainnya perlu dibicarakan bersama sambil ngopi, dengan semangat musyawarah untuk mufakat. Ini penting, untuk mengatasi masih lemahnya koordinasi komunikasi dan kuatnya ego sektoral antar pihak (pentahelix) dalam upaya pengurangan risiko bencana dan penanggulangan bencana. [eB/KamisPon-29092022]   

3 komentar:

  1. sungguh banyak pihak yang mengatakan bahwa program SPAB sangat penting untuk dilakukan secara masif (khususnya di daerah yang memiliki potensi bencana besar)
    sayangnya pihak dinas pendidikan kurang responsif dan masih menganggap SPAB kurang penting. bahkan saking diremehkannya, ketika komunitas relawan ingin mensosialisasikan masalah kebencanaan (SPAB) ke sekolah2 masih sering menghadapi kendala birokrasi dan pihak sekolah pun tidak berani karena belum adanya petunjuk.
    beberapa sekolah swasta telah berani melakukan program SPAB yang diagendakan secara berkala. namun belum semua.
    inilah yang seharusnya menjadi perhatian FPRB dan BPBD untuk mengagendakan acara ngopi bareng antara dinas pendidikan, fprb dan bpbd untuk ngobrolin masalah pelaksanaan SPAB secara mandiri.

    BalasHapus
  2. perlu diketahui/dipahami bahwa satuan pendidikan itu ada yg formal dan ada yg non formal. untuk itulah kiranya relawan juga perlu menyasar pula satuan pendidikan non formal yang peserta didiknya lebih dewasa dan berpengalaman bermasyarakat sehingga strateginya tentu berbeda dengan satuan pendidikan formal

    BalasHapus