Bermula dari pertanyaan di grup whatsapp tentang dari mana dana untuk mengadakan pendampingan program satuan pendidikan aman bencana (SPAB). oleh salah satu anggota grup, dijawab bahwa untuk sekolah negeri dananya dari Dinas Pendidikan (Diknas).
Lho, benarkah ?. Jika benar ya Alhamdulillah, itu artinya program SPAB yang sudah ada permendikbudnya dengan nomor 33 tahun 2019, sudah dipahami oleh semua jajaran yang ada di Diknas untuk dilaksanakan di semua jenjang pendidikan di sekolah.
Sayangnya, menurut cerita dari teman-teman yang rutin bergelut dengan program SPAB itu, untuk saat ini pihak Sekolah hanya menjadi sasaran program yang telah ditentukan oleh Diknas. Dimana dana dan programnya dari BNPB atau BPBD setempat. Artinya Diknas selama ini belum punya dana tersendiri untuk mendukung pelaksanaan program SPAB di sekolah secara merata dan berkesinambungan.
Dengan kata lain pihak sekolah posisinya masih hanya menunggu budi baik BNPB atau BPBD yang punya program sekaligus anggaran untuk SPAB. Jika sekolahnya ditempati program SPAB ya alhamdulillah, kalau pun tidak ya tidak masalah.
Masih kata teman-teman, waktu yang disediakan untuk ‘edukasi’ SPAB di sekolah sering kali dimampatkan dari waktu yang ideal, dengan berbagai alasan. Katanya yang penting tujuan terpenuhi dan daya serap anggaran beres untuk dilaporkan, demi tertib admisistrasi,
Lucunya sekolah yang sudah ‘disentuh’ program SPAB langsung diberi label “Sekolah Tangguh Bencana”. Lho ya benarkah membangun kesiapsiagaan, membangun budaya tangguh bencana cukup dengan sekali sentuhan ?. Sungguh sebuah hil yang mustahal. Mungkinkah semua program kebencanaan yang ada juga bernasib sama , sekali sentuh langsung tangguh ?. Mungkin kawan-kawan yang selalu berkesempatan terlibat dalam program beginian dapat memberi jawaban. Namun, tampaknya itulah yang sesungguhnya terjadi selama ini, dan dinikmati dengan senang hati tanpa evaluasi.
Jika pun ada sekolah atawa daerah yang program kebencanaannya dapat berjalan berkelanjutan. Kemungkinan besar (dapat dipastikan) mereka mendapat ‘kucuran’ program dari pihak tertentu. Atau, sekolah atawa daerah itu dijadikan binaan lembaga/kantor tertentu dalam jangka waktu tertentu.
Begitu juga dengan gagasan Diknas membentuk sekretariat bersama (sekber) SPAB. Baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, nasibnya juga setali tiga uang. Artinya, ada uang baru jalan, dalam bentuk seremonial, beli baju seragam, menggelar rapat dan diskusi dilanjutkan dengan pembentukan pengurus, untuk kemudian diam ditempat menunggu arahan untuk kelanjutannya.
Semoga paparan (yang pasti dinilai nakal) ini tidak benar adanya karena semua sudah berubah sejalan dengan berubahnya gaya kepemimpinan dan kebijakan dari pejabat baru di lingkungan dunia pendidikan di era presiden Prabowo, khususnya kebijakan anggaran untuk program SPAB dalam rangka mengamalkan Permendikbud nomor 33 tahun 2019. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/senin-08092025]

tetap asik di jalur pengurangan risiko bencana
BalasHapusbaik yang berjalan secara mandiri, maupun yang selalu dapat subsidi dari lembaga/kantor terkait
Sesungguhnya lah hampir semua pejabat diknas tidak tahu tidak paham tidak ngerti bahkan belum pernah menyentuh (melihat) secara fisik yg namanya buku tentang Permendikbud nomor 33 thn 219.
BalasHapusAdi wajar jika program SPAB tidak menjadi perhatian sekaligus tidak ada snggarannya
jika benar pejabat diknas belum tahu adanya permendikbud 33 ya dapat dimaklumi jika mereka masih ragu gamang dan enggan melaksanakan SPAB di sekolah. karena takut nyalahin aturan penggunaan anggaran sekolah.
BalasHapuspadahal jika diknas mau menggandeng komunitas relawan untuk mengadakan kegiatan SPAB pasti banyak yang mau dan bersedia tanpa harus mikir ada tidaknya dukungan dana..
begitu juga PGRI dan IGI juga belum mau kenalan dengan komunitas relawan yang dapat diajak kerjasama untuk melaksanakan program SPAB