Dalam postingannya, Mochammad Iqbal, sebagai
ketua mengingatkan kepada seluruh anggota grup, bahwa komunitas relawan Indonesia
(K.R.I) merupakan sekumpulan orang yang memiliki pandangan, hobi dan minat yang
sama dalam aksi-aksi kemanusiaan, yang bersifat cair tanpa harus mengorbankan
aktivitas utamanya, yaitu menjalani kehidupan untuk keluarga dan masyarakatnya.
Artinya disini, tidak harus memaksakan turun ke
lokasi bencana manakala ‘situsi dan
kondisi’ pribadi tidak memungkinkan. Termasuk agenda pertemuan anggota pun
tidak harus dikemas dalam suasana formal dan paripurna, seperti organisasi lain
yang mempunyai aturan yang jelas tegas dan mengikat anggotanya.
“ Itu yang namanya
komunitas, bertukar ide bisa di mana saja, tidak hanya di ruangan kantor/kelas/meeting
room atau acara-acara resmi lainnya. Dengan tidak mengurangi keseriusan dalam
bertindak sebagai "RELAWAN"
ngobrol santai tanpa beban rasanya lebih enjoi dan lebih HIDUP dalam berbagi ide,” Ujarnya.
Benar sekali apa yang
dikatakan Cak Kabul, begitu sapaan akrab ketua K.R.I yang memiliki kemahiran
dibidang pembuatan piranti sound system
untuk hajatan di luar maupun di dalam gedung. Sambil gentian ngucut gaple,
aneka masalah dan gagasan dilontarkan bagitu saja, oleh siapa saja sambil
nyruput kopi dan melepas baju.
Termasuk rencana
latihan bersama biasanya muncul dalam pertemuan nonformal empat atau enam orang
saja, kemudian di share lewat media sosial,
maka jadilah sebuah keputusan untuk mengadakan sinau bareng, baik di sungai
maupun di pantai. Tidak menutup kemungkinan ide liar yang asal ucap dari si
Papa Romi tentang perlunya mengadakan kegiatan susur sungai menjadi nyata.
Ya, mungkin inilah
organisasi yang digagas bersama di kantor PWI beberapa tahun silam bahwa Komunitas
Relawan Indonesia (K.R.I) adalah wadah relawan kebencanaan yang mendiskusikan
secara khusus tentang kegiatan pengurangan resiko bencana, untuk kemudian
memberikan masukan kepada pihat terkait.
Di sini, setiap anggota boleh melontarkan
gagasan/ide terkait dengan issue-issue
kebencanaan dan masalah sosial lainnya sebagai dampak dari terjadinya bencana, lalu mendiskusikannya berdasar kesetaraan yang demokratis. Jika ada yang perlu disempurnakan, akan dibahas bersama-sama. Masing-masing tidak diharamkan untuk mendokumentasikan kegiatan apa saja kemudian mengunggahnya di media sosial sebagai upaya promosi eksistensi.
kebencanaan dan masalah sosial lainnya sebagai dampak dari terjadinya bencana, lalu mendiskusikannya berdasar kesetaraan yang demokratis. Jika ada yang perlu disempurnakan, akan dibahas bersama-sama. Masing-masing tidak diharamkan untuk mendokumentasikan kegiatan apa saja kemudian mengunggahnya di media sosial sebagai upaya promosi eksistensi.
Lontaran ide Cak Kemat untuk perawatan perahu
karet dan rapat membahas penerimaan anggota baru sebagai upaya kaderisasi pun,
munculnya di warkop saat guyon sambil ngopi, bukan saat pertemuan resmi. Begitu
juga kegiatan komunikasi dengan teman-teman pegiat K.R.I di daerah perlu
kiranya dipersering, walau hanya melalui facebook, whatsapp, sms dan bbm. Ini penting,
karena K.R.I bukan organisasi biasa yang sangat cair dan luwes sifat
keanggotaan dan kegiatannya.
Selanjutnya K.R.I akan menjadi tempat bertemu bagi
anggotanya untuk saling sinau, berbagi informasi dan pengalaman, atau belajar
bersama tentang apa saja seputar kebencanaan dan kerelawanan. Sebagai organisasi soaial nonformal, anggota K.R.I sangat luwes dalam melakukan komunikasi, koordinasi dan konsultasi untuk merancang aksi kemanusiaan tanpa harus memaksakan diri. semuanya mengalir begitu saja mengikuti perjalanan sang waktu. Wassalam …*[Pak
dhe]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar