Sesuai pesan
UU 24 tahun 2007, Masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam penanggulangan
bencana, yaitu salah satunya dengan menjadi relawan penanggulangan bencana.
Oleh karena itu ke depan, pengembangan pendataan jumlah dan mutu relawan jadi
penting untuk memudahkan mobilisasi.
Dalam Undang
undang kebencanaan, disebutkan bahwa relawan penanggulangan bencana adalah seseorang atau sekelompok orang, yang
memiliki kemampuan dan kepedulian dalam penanggulangan bencana yang bekerja
secara ikhlas untuk kegiatan penanggulangan bencana. Prinsip kerja yang
mendasari relawan adalah mandiri, profesional, solidaritas, sinergi dan
akuntabilitas.
Ke depan, untuk memudahkan pembinaan dan penugasan,
relawan penanggulangan bencana dibagi menjadi sistem klaster (cluster) atau
kelompok kerja. Ada 9 (sembilan) cluster yang membidangi kerja-kerja relawan
penanggulangan bencana antara lain: Klaster Tim Reaksi Cepat (TRC), Klaster Pos
Komando/Koordinasi (Posko), Klaster Medis, Klaster Logistik, Klaster Evakuasi, Klaster
Shelter, Klaster Dapur Umum, Klaster Psikososial, dan Klaster Komunikasi.
Konon, dengan bimbingan petugas (dalam
hal ini BNPB/BPBD) relawan menjadi garda terdepan dalam membantu penanganan
tanggap darurat, yang bertugas mencari dan mengumpulkan data di lokasi
terjadinya bencana, melakukan penelitian atas korban dan kerusakan yang terjadi
akibat bencana, membuat perkiraan bantuan dan peralatan yang dibutuhkan serta
membuat saran, tindakan serta bantuan pertolongan darurat lainnya untuk
menyelamatkan korban.
Namun nyatanya, pemerintah belum mengatur
mekanisme kerelawanan pada saat terjadi bencana, dalam bentuk regulasi yang
dijadikan payung hukum oleh Pos Komando yang menangani ‘prosesi bencana’ saat
itu. Karena dibanyak kasus, relawan yang datang dan melapor ke posko tidak
mendapat tanggapan yang ‘mesra’ dari petugas posko (yang
mungkin belum tahu manajemen posko dan belum paham peran relawan). Sehingga
dengan kreativitasnya sendiri relawan melakukan kerja-kerja kemanusiaan
versinya sendiri.
Untuk itulah,
dalam upaya membangun relawan yang seperti diharapkan, masing-masing komunitas relawan Indonesia dengan segala macam bendera,
seragam, visi misi dan idealisme yang diusung, mencoba meningkatkan mutu
anggotanya secara mandiri, gabungan antar komunitas relawan maupun kerjasama
dengan pemerintah (BNPB, BPBD, dan SKPD lain yang memiliki anggaran untuk
bencana), sehingga paham perannya jika sewaktu-waktu tugas kemanusiaan
memanggilnya.
Begitu juga
dengan Komunitas Relawan Indonesia, juga melakukan upaya membangun sinergi
meningkatkan kompetensinya melalui berbagai pelatihan. Dengan konsep saling
sinau, saling peduli, saling berbagi dan beradaptasi, mereka bersama
menyelenggarakan pertemuan berkala secara informal, jauh dari kesan formalitas
Pertemuan itu merupakan sarana
komunikasi antar anggota untuk membangun kesepahaman dalam kerja-kerja
kerelawanan, kaitannya dengan
kesiapsiagaan penanggulangan bencana serta program kerja yang akan dilaksanakan, termasuk membangun
relasi memperluas jejaring kemitraan, juga
bagaimana melakukan kaderisasi . Ini penting untuk melanggengkan organisasi
sebagai tempat pengabdian ‘sedekah ilmu’ untuk sesama.
Dari pertemuan-pertemuan itu diharapkan
muncul gagasan bagaimana cara memberdayakan relawan. Karena, selama ini belum
banyak relawan yang memikirkan masa depannya, masih berkutat pada peningkatan
kompetensi, kapasitas dan profesionalitas untuk kerja-kerja kemanusiaan.
Sehingga, dibanyak kasus, banyak relawan
yang kaget ketika dituntut untuk membangun keluarga, hidup ditengah-tengah
masyarakat. Sungguh tidak selamanya relawan itu akan menjadi relawan yang hanya
sibuk dengan kerja-kerja kemanusiaan, ngurusi orang lain, tanpa memperhatikan kehidupan
pribadi dan keluarganya.
Contoh sederhana, seperti yang sedang
dilakukan oleh Mas Edy, seorang instruktur kegiatan alam bebas sekaligus pegiat
lingkungan, yang punya nama beken Atmosfir Hawer, yaitu membuat tempat
pembibitan aneka tanaman keras (bedengan), yang nantinya ditanam di lereng
gunung dan bukit untuk mengurangi bahaya longsor. Kegiatan tersebut jika
ditekuni kemudian dikerjasamakan dengan berbagai pihak, termasuk dunia usaha
yang memiliki program CSR, pasti akan mendatangkan barokah.
Termasuk membuat souvenir dan
perlengkapan kegiatan di alam bebas, juga bisa menjadi sebuah industri kreatif
yang menjanjikan. Banyak contoh mantan aktivis mapala yang hidup mapan dengan
jualan pernak pernik perlengkapan kegiatan di alam bebas (outdoor equipment). Konon,
semuanya berawal dari gagasan yang muncul saat cangkruk bareng di warung kopi,
untuk kemudian direalisasikan.
Mungkin, teman-teman komunitas relawan Indonesia
belum menemukan gagasan yang jitu yang bisa dijual, sehingga kegiatan ngopi
bareng masih menjadi media sambung paseduluran, sedekah ilmu serta tukar
informasi saling sinau untuk memperluas wawasan terkait dengan penanggulangan
bencana dan upaya pengurangan risiko bencana dan perubahan iklim. Semoga tetap
barokah. “Tabah sampai akhir,” Kata Cak Lutfi. [eBas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar