Sabtu, 06 Agustus 2016

KOMUNITAS RELAWAN INDONESIA MENGGAPAI ASA

Sesuai pesan UU 24 tahun 2007, Masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam penanggulangan bencana, yaitu salah satunya dengan menjadi relawan penanggulangan bencana. Oleh karena itu ke depan, pengembangan pendataan jumlah dan mutu relawan jadi penting untuk memudahkan mobilisasi.

Dalam Undang undang kebencanaan, disebutkan bahwa relawan penanggulangan bencana  adalah seseorang atau sekelompok orang, yang memiliki kemampuan dan kepedulian dalam penanggulangan bencana yang bekerja secara ikhlas untuk kegiatan penanggulangan bencana. Prinsip kerja yang mendasari relawan adalah mandiri, profesional, solidaritas, sinergi dan akuntabilitas.

Ke depan,  untuk memudahkan pembinaan dan penugasan, relawan penanggulangan bencana dibagi menjadi sistem klaster (cluster) atau kelompok kerja. Ada 9 (sembilan) cluster yang membidangi kerja-kerja relawan penanggulangan bencana antara lain: Klaster Tim Reaksi Cepat (TRC), Klaster Pos Komando/Koordinasi (Posko), Klaster Medis, Klaster Logistik, Klaster Evakuasi, Klaster Shelter, Klaster Dapur Umum, Klaster Psikososial, dan Klaster Komunikasi.

Konon, dengan bimbingan petugas (dalam hal ini BNPB/BPBD) relawan menjadi garda terdepan dalam membantu penanganan tanggap darurat, yang bertugas mencari dan mengumpulkan data di lokasi terjadinya bencana, melakukan penelitian atas korban dan kerusakan yang terjadi akibat bencana, membuat perkiraan bantuan dan peralatan yang dibutuhkan serta membuat saran, tindakan serta bantuan pertolongan darurat lainnya untuk menyelamatkan korban.

Namun nyatanya, pemerintah belum mengatur mekanisme kerelawanan pada saat terjadi bencana, dalam bentuk regulasi yang dijadikan payung hukum oleh Pos Komando yang menangani ‘prosesi bencana’ saat itu. Karena dibanyak kasus, relawan yang datang dan melapor ke posko tidak mendapat tanggapan yang ‘mesra’ dari petugas posko (yang mungkin belum tahu manajemen posko dan belum paham peran relawan). Sehingga dengan kreativitasnya sendiri relawan melakukan kerja-kerja kemanusiaan versinya sendiri.  

Untuk itulah, dalam upaya membangun relawan yang seperti diharapkan, masing-masing komunitas  relawan Indonesia dengan segala macam bendera, seragam, visi misi dan idealisme yang diusung, mencoba meningkatkan mutu anggotanya secara mandiri, gabungan antar komunitas relawan maupun kerjasama dengan pemerintah (BNPB, BPBD, dan SKPD lain yang memiliki anggaran untuk bencana), sehingga paham perannya jika sewaktu-waktu tugas kemanusiaan memanggilnya.

Begitu juga dengan Komunitas Relawan Indonesia, juga melakukan upaya membangun sinergi meningkatkan kompetensinya melalui berbagai pelatihan. Dengan konsep saling sinau, saling peduli, saling berbagi dan beradaptasi, mereka bersama menyelenggarakan pertemuan berkala secara informal, jauh dari kesan formalitas

Pertemuan itu merupakan sarana komunikasi antar anggota untuk membangun kesepahaman dalam kerja-kerja kerelawanan, kaitannya dengan kesiapsiagaan penanggulangan bencana serta program kerja yang akan dilaksanakan, termasuk membangun relasi  memperluas jejaring kemitraan, juga bagaimana melakukan kaderisasi . Ini penting untuk melanggengkan organisasi sebagai tempat pengabdian ‘sedekah ilmu’ untuk  sesama.

Dari pertemuan-pertemuan itu diharapkan muncul gagasan bagaimana cara memberdayakan relawan. Karena, selama ini belum banyak relawan yang memikirkan masa depannya, masih berkutat pada peningkatan kompetensi, kapasitas dan profesionalitas untuk kerja-kerja kemanusiaan.

Sehingga, dibanyak kasus, banyak relawan yang kaget ketika dituntut untuk membangun keluarga, hidup ditengah-tengah masyarakat. Sungguh tidak selamanya relawan itu akan menjadi relawan yang hanya sibuk dengan kerja-kerja kemanusiaan, ngurusi orang lain, tanpa memperhatikan kehidupan pribadi dan keluarganya.   

Contoh sederhana, seperti yang sedang dilakukan oleh Mas Edy, seorang instruktur kegiatan alam bebas sekaligus pegiat lingkungan, yang punya nama beken Atmosfir Hawer, yaitu membuat tempat pembibitan aneka tanaman keras (bedengan), yang nantinya ditanam di lereng gunung dan bukit untuk mengurangi bahaya longsor. Kegiatan tersebut jika ditekuni kemudian dikerjasamakan dengan berbagai pihak, termasuk dunia usaha yang memiliki program CSR, pasti akan mendatangkan barokah.

Termasuk membuat souvenir dan perlengkapan kegiatan di alam bebas, juga bisa menjadi sebuah industri kreatif yang menjanjikan. Banyak contoh mantan aktivis mapala yang hidup mapan dengan jualan pernak pernik perlengkapan kegiatan di alam bebas (outdoor equipment). Konon, semuanya berawal dari gagasan yang muncul saat cangkruk bareng di warung kopi, untuk kemudian direalisasikan.

Mungkin, teman-teman komunitas relawan Indonesia belum menemukan gagasan yang jitu yang bisa dijual, sehingga kegiatan ngopi bareng masih menjadi media sambung paseduluran, sedekah ilmu serta tukar informasi saling sinau untuk memperluas wawasan terkait dengan penanggulangan bencana dan upaya pengurangan risiko bencana dan perubahan iklim. Semoga tetap barokah. “Tabah sampai akhir,” Kata Cak Lutfi. [eBas]







Tidak ada komentar:

Posting Komentar