Di era yang serba mungkin ini,
atas nama demokrasi dan kebebasan berekspresi, beberapa orang yang mempunyai
kepedulian kepada anak-anak yang terlantar pendidikannya, mencoba menawarkan
model lain dalam mendidik anak lewat proses pembelajaran yang interaktif,
nyaman dan menyenangkan serta keluar dari pembelajaran klasikal.
Mereka
membentuk komunitas peduli pendidikan anak, yang percaya bahwa suasana belajar
yang kondusif membuat anak didik mudah menumbuh kembangkan kreativitas, bakat,
dan potensi diri. Sehingga guru sebagai pendamping akan lebih mudah mendidik.
Ada komunitas peduli pendidikan
yang tidak mementingkan ijasah sebagai tanda lulus untuk prasyarat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi. Namun, mereka memberikan laporan berbentuk portofolio yang lengkap
tentang segala kompetensi dibidang kognitif, affektif dan psikomotor serta kebisaan lain yang telah dikuasai oleh
peserta didik.
“Kami dari Sanggar Anak Akar
mencoba mengembangkan bakat dan potensi anak jalanan dan anak pinggiran yang
terbuang dari sistem persekolahan karena ketiadaan biaya dan sulitnya akses,”
Kata Susilo, menceritakan pengalamannya bersentuhan dengan anak-anak marjinal
yang dilupakan Negara.
Masih menurut Pak Sus, begitu panggilan
mesranya, anak-anak itu dibimbing untuk menuliskan pengalamannya dan dibukukan
(didokumentasikan untuk koleksi perpustakaan atau pun di jual jika ada yang
berminat). Kemudian buku itu dibaca bersama sebagai bahan belajar. Ya, mereka
belajar dari pengalamannya sendiri.
Di Sanggar Anak Akar, anak-anak
itu belajar membuat puisi, cerpen, bahkan lagu serta karya lain. Ternyata
mereka bisa mengembangkan bakat dan potensinya yang kelak akan berguna. Ya,
sesungguhnyalah, masih banyak anak yang terlantar pendidikannya, tidak
tertampung pada jalur pendidikan formal.
Inilah, konon, yang menginspirasi
lahirnya pendidikan alternatif di berbagai daerah, oleh orang-orang yang peduli
kepada sesama. Mereka ini melakukan berbagai
gerakan mandiri, mencoba memberdayakan anak pinggiran melalui bidang
pendidikan sebagai medan pengabdian, shodakoh ilmu dan kebisaan yang bermanfaat
bagi sesamanya.
Dalam brosur yang dibagikan,
dikatakan bahwa pendidikan alternatif ini muncul karena ketidak puasan terhadap
kualitas pendidikan, khususnya terhadap pendidikan yang tidak memberikan ruang
yang luas pada kemerdekaan dan kebutuhan individu anak, dalam rangka
mengembangkan bakat, minat, potensi, kreativitas dan kecerdasan sosial sejak
dini.
Hal ini senafas dengan testimoni
yang dikemukakan Yuli, dari Sanggar Alit, Surabaya, selama bergelut dengan
anak-anak yang “Emoh Sekolah” dengan berbagai alasan. Yuli bergerak dengan
pendekatan andragogi yang menghargai keberagaman anak, serta menumbuhkan
kesadaran untuk berpendidikan (senang
belajar) dalam rangka menyiapkan mental menghadapi problem kehidupan.
Celetukan yang cerdas dan sedikit
nakal itu muncul bersahutan dalam format “Diskusi
Pendidikan Arternatif; Membangun Keragaman Model Pendidikan”, yang
berlangsung gayeng di Warkopnya ‘Mbah Cokro’, di daerah Prapen, Surabaya.
“Sekolah telah menjadi masalah
yang ‘merusak’ dengan berbagai aturan dan merongrong secara massif serta
menyengsarakan. Dengan dukungan anggaran besar, sekolah semakin menjadi ladang
investasi yang bernilai ekonomis dan cenderung otoriter,” celetuk Daniel, M
Rosyid, guru besar ITS, mengawali celotehannya tentang sekolah sebagai
instrument teknokratis.
Semua yang hadir tertawa,
termasuk moderator dan pelayan Warkop. Namun, yakinlah bahwa penikmat diskusi
itu menertawakan sesuatu yang tidak dipahami, hanya seolah-olah ngerti. Karena
celetukan seorang guru besar itu perlu dikaji secara akademis empirik, agar
paham apa makna dibalik celetukan yang menyegarkan tentang pendidikan
alternatif.
Ya, dalam prakteknya, pendidikan
alternatif kini mulai marak dimana-mana dengan berbagai keunikannya, untuk
membekali anak didiknya dengan berbagai pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Ini dilakukan dalam rangka menumbuhkan
kemampuan membaca, mengalami (praktek), dan menulis, serta berani berbicara dan
bertanya.
“Ini penting, karena belajar itu
pada hakekatnya memaknai pengalaman hidup,” Ujar Pak Dan, sapaan guru besar
ITS, yang malam itu tampil mbois.
Keunikan penyelenggaraan
pendidikan alternatif itu tidak terlepas dari selera, kepentingan dan
pengalaman yang diusung oleh para pegiatnya, guna menyiapkan anak didiknya
menghadapi masa depannya.
Namun, mengingat sistem
pendidikan nasional masih mementingkan ijasah untuk berbagai keperluan
(ngelamar kerja dan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi), maka,
mau tidak mau para pegiat pendidikan alternatif pun tetap harus tunduk
menyiapkan anak didiknya mengikuti ujian nasional.
Jika mereka dengan kesadaran
sendiri yakin bisa hidup tanpa ijasah, cukup mengandalkan potensi diri sendiri membuka peluang usaha di sektor informal
secara mandiri, ya silahkan saja. Itu artinya telah membantu pemerintah
mengurangi panjangnya barisan pencari kerja.
Sungguh materi diskusi di
Warkopnya ‘Mbah Cokro’ malam itu sangat menarik untuk direnungkan. Dengan
sajian kopi ireng di cangkir blirik yang terbuat dari seng, peserta dihibur
nuraninya, digelitik idealismenya untuk turut serta berbuat sesuatu yang
membawa manfaat bagi sesamanya yang sedang menerima nikmat miskin dan bodo dari
Tuhan.
Semoga Warkop ‘Mbah Cokro’ yang
telah menjadi ruang publiK untuk saling sinau, saling peduli serta berbagi
informasi dan pengalaman dari berbagai elemen masyarakat, terus menghentak
dengan topik bahasan yang menginspirasi sesama pegiat kemanusiaan. Wassalam.
[edibasuki/08123161763]
pendidikan bermaksud menuntun segala kekuatan kodrati yang ada pada anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.(Ki Hajar Dewantara)
BalasHapusuntuk itu dalam proses belajar memanusia dan membudaya itu, tugas guru menuntun mengeluarkan potensi bawaan anak agar bertumbuh (kompas-4/8)