Rabu, 03 Agustus 2016

PENDIDIKAN ALTERNATIF YANG MEMERDEKAkAN ANAK



Di era yang serba mungkin ini, atas nama demokrasi dan kebebasan berekspresi, beberapa orang yang mempunyai kepedulian kepada anak-anak yang terlantar pendidikannya, mencoba menawarkan model lain dalam mendidik anak lewat proses pembelajaran yang interaktif, nyaman dan menyenangkan serta keluar dari pembelajaran klasikal. 

Mereka membentuk komunitas peduli pendidikan anak, yang percaya bahwa suasana belajar yang kondusif membuat anak didik mudah menumbuh kembangkan kreativitas, bakat, dan potensi diri. Sehingga guru sebagai pendamping akan lebih mudah mendidik.

Ada komunitas peduli pendidikan yang tidak mementingkan ijasah sebagai tanda lulus untuk prasyarat  melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun, mereka memberikan laporan berbentuk portofolio yang lengkap tentang segala kompetensi dibidang kognitif, affektif dan psikomotor  serta kebisaan lain yang telah dikuasai oleh peserta didik.

“Kami dari Sanggar Anak Akar mencoba mengembangkan bakat dan potensi anak jalanan dan anak pinggiran yang terbuang dari sistem persekolahan karena ketiadaan biaya dan sulitnya akses,” Kata Susilo, menceritakan pengalamannya bersentuhan dengan anak-anak marjinal yang dilupakan Negara.

Masih menurut Pak Sus, begitu panggilan mesranya, anak-anak itu dibimbing untuk menuliskan pengalamannya dan dibukukan (didokumentasikan untuk koleksi perpustakaan atau pun di jual jika ada yang berminat). Kemudian buku itu dibaca bersama sebagai bahan belajar. Ya, mereka belajar dari pengalamannya sendiri.

Di Sanggar Anak Akar, anak-anak itu belajar membuat puisi, cerpen, bahkan lagu serta karya lain. Ternyata mereka bisa mengembangkan bakat dan potensinya yang kelak akan berguna. Ya, sesungguhnyalah, masih banyak anak yang terlantar pendidikannya, tidak tertampung pada jalur pendidikan formal.

Inilah, konon, yang menginspirasi lahirnya pendidikan alternatif di berbagai daerah, oleh orang-orang yang peduli kepada sesama. Mereka ini melakukan berbagai  gerakan mandiri, mencoba memberdayakan anak pinggiran melalui bidang pendidikan sebagai medan pengabdian, shodakoh ilmu dan kebisaan yang bermanfaat bagi sesamanya.

Dalam brosur yang dibagikan, dikatakan bahwa pendidikan alternatif ini muncul karena ketidak puasan terhadap kualitas pendidikan, khususnya terhadap pendidikan yang tidak memberikan ruang yang luas pada kemerdekaan dan kebutuhan individu anak, dalam rangka mengembangkan bakat, minat, potensi, kreativitas dan kecerdasan sosial sejak dini.

Hal ini senafas dengan testimoni yang dikemukakan Yuli, dari Sanggar Alit, Surabaya, selama bergelut dengan anak-anak yang “Emoh Sekolah” dengan berbagai alasan. Yuli bergerak dengan pendekatan andragogi yang menghargai keberagaman anak, serta menumbuhkan kesadaran untuk berpendidikan  (senang belajar) dalam rangka menyiapkan mental menghadapi problem kehidupan.

Celetukan yang cerdas dan sedikit nakal itu muncul bersahutan dalam format “Diskusi Pendidikan Arternatif; Membangun Keragaman Model Pendidikan”, yang berlangsung gayeng di Warkopnya ‘Mbah Cokro’, di daerah Prapen, Surabaya.

“Sekolah telah menjadi masalah yang ‘merusak’ dengan berbagai aturan dan merongrong secara massif serta menyengsarakan. Dengan dukungan anggaran besar, sekolah semakin menjadi ladang investasi yang bernilai ekonomis dan cenderung otoriter,” celetuk Daniel, M Rosyid, guru besar ITS, mengawali celotehannya tentang sekolah sebagai instrument teknokratis.

Semua yang hadir tertawa, termasuk moderator dan pelayan Warkop. Namun, yakinlah bahwa penikmat diskusi itu menertawakan sesuatu yang tidak dipahami, hanya seolah-olah ngerti. Karena celetukan seorang guru besar itu perlu dikaji secara akademis empirik, agar paham apa makna dibalik celetukan yang menyegarkan tentang pendidikan alternatif.

Ya, dalam prakteknya, pendidikan alternatif kini mulai marak dimana-mana dengan berbagai keunikannya, untuk membekali anak didiknya dengan berbagai pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Ini dilakukan  dalam rangka menumbuhkan kemampuan membaca, mengalami (praktek), dan menulis, serta berani berbicara dan bertanya.

“Ini penting, karena belajar itu pada hakekatnya memaknai pengalaman hidup,” Ujar Pak Dan, sapaan guru besar ITS, yang malam itu tampil mbois.

Keunikan penyelenggaraan pendidikan alternatif itu tidak terlepas dari selera, kepentingan dan pengalaman yang diusung oleh para pegiatnya, guna menyiapkan anak didiknya menghadapi masa depannya.

Namun, mengingat sistem pendidikan nasional masih mementingkan ijasah untuk berbagai keperluan (ngelamar kerja dan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi), maka, mau tidak mau para pegiat pendidikan alternatif pun tetap harus tunduk menyiapkan anak didiknya mengikuti ujian nasional.

Jika mereka dengan kesadaran sendiri yakin bisa hidup tanpa ijasah, cukup mengandalkan potensi diri sendiri  membuka peluang usaha di sektor informal secara mandiri, ya silahkan saja. Itu artinya telah membantu pemerintah mengurangi panjangnya barisan pencari kerja.

Sungguh materi diskusi di Warkopnya ‘Mbah Cokro’ malam itu sangat menarik untuk direnungkan. Dengan sajian kopi ireng di cangkir blirik yang terbuat dari seng, peserta dihibur nuraninya, digelitik idealismenya untuk turut serta berbuat sesuatu yang membawa manfaat bagi sesamanya yang sedang menerima nikmat miskin dan bodo dari Tuhan.

Semoga Warkop ‘Mbah Cokro’ yang telah menjadi ruang publiK untuk saling sinau, saling peduli serta berbagi informasi dan pengalaman dari berbagai elemen masyarakat, terus menghentak dengan topik bahasan yang menginspirasi sesama pegiat kemanusiaan. Wassalam. [edibasuki/08123161763]


1 komentar:

  1. pendidikan bermaksud menuntun segala kekuatan kodrati yang ada pada anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.(Ki Hajar Dewantara)
    untuk itu dalam proses belajar memanusia dan membudaya itu, tugas guru menuntun mengeluarkan potensi bawaan anak agar bertumbuh (kompas-4/8)

    BalasHapus