Warung mbah Cokro yang berada di jalan Prapen, Surabaya timur, menawarkan kuliner yang tidak
seperti warung kopi pada umumnya. Jangan berharap jika nongkrong di warung itu
bisa memesan soft drink atau aneka
kudapan masa kini, termasuk jangan mencari marning, kuaci, sanghai, kacang atum,
rokok eceran dan krupuk plastikan dan aneka minuman shacet yang biasa digantung.
Minuman
yang disajikan pun menu ndeso, diantaranya wedang tape, temu lawak, susu anget,
dan es teh, dan jagoannya tetap wedang kopi setengah pait. Sedangkan
jajanan yang ditampilkan standar warung kopi pinggir jalan, seperti tahu
brontak, tempe goreng, pisang goreng, sate usus, ceker ayam, sate telur puyuh. Juga
ada Sego Teri, Mie Kluntung, dan Nasi Kucing bungkus daun pisang.
Warung ini dibangun dari potongan bambu dan kayu
bekas yang sengaja tidak dihaluskan (kasaran). Mulai meja-kursi dari bambu,
dingklik dari kayu, piring dan gelas dari seng dan barang kuno lainnya yang
dijadikan asesoris, seperti sepeda onthel, radio, proyektor dan mesin cuci
rusak. Barang-barang jadul inilah yang bikin kangen siapa pun yang pernah
kesana. Ya, kesan pertama begitu menggoda.
Karena suasana yang sederhana dan apa adanya
itulah yang membuat nyaman untuk cangkruk’an di waktu malam, bersama teman,
bersama komunitas, untuk saling berbagi, saling peduli dan saling sinau untuk
menambah wawasan sekaligus mempererat paseduluran, seperti jargon lama, Mitreka
Satata, teman senasib seperjuangan. Tentu
semua itu dilakukan sambil nyruput kopi pelan-pelan.
Warungnya Mbah Cokro sering juga dijadikan tempat
diskusi oleh berbagai komunitas, menjadi tempat berkumpulnya berbagai relawan
kemanusiaan, yang mencoba melahirkan inspirasi dengan menebar berbagai
informasi. Mulai diskusi pendidikan, pameran foto, diskusi budaya dan media
penyiaran dan kegiatan lain yang diselenggarakan oleh berbagai komunitas yang
memiliki kepedulian terhadap sesama.
Materi diskusinya cukup aktual, dan berbobot,
walau disampaikan secara santai, jauh dari kesan formal. Ya diskusinya mengalir
apa adanya, bloko suto, sak njeplak’e
cangkem sehingga mengundang senyum dan tepuk tangan. Begitu juga tanggapan
peserta diskusi beragam, dan tak kalah ‘nakalnya’
dengan dialeg khas Suroboyoan.
Mereka, sesuai dengan potensi dan kapasitasnya, mencoba
ber-shodakoh wawasan dan pengalaman. Dengan gayanya sendiri, saling memberi tausyiah,
menyebarkan virus positif yang mencerahkan idealisme yang kini semakin memudar
di era industrialisasi, materialistis dan konsumtif. Konon, perilaku yang
demikian bisa berdampak pada pudarnya nilai-nilai keindonesiaan, nilai-nilai kebhinekaan.
Ya, di warungnya mbah Cokro, para relawan
kemanusiaan itu menemukan ladang berekspresi untuk mengasah idealismenya dan
mengamalkan segala kebisaannya, dengan harapan dapat menginspirasi mereka yang suka cangkruk’an di
halamannya mbah Cokro untuk melakukan aksi-aksi kemanusiaan. Semoga.[eBas/08123161763]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar