Senin, 29 Agustus 2016

FASILITATOR DESA TANGGUH BENCANA

Sungguh, yang namanya banjir dan tanah longsor kini semakin akrab menyapa sekaligus mengancam kehidupan masyarakat yang bermukim di sekitarnya (kawasan rawan bencana). Sementara, untuk melakukan relokasi pun tidaklah semudah membalik tangan, banyak faktor yang ikut bermain.

Untuk itulah, maka lahirlah konsep ‘Living Harmony with Disaster’, yaitu upaya untuk meningkatkan kesadaran dan ketangguhan masyarakat mengenai. Arti ketangguhan disini salah satunya dapat mengenali hazard/bahaya dilingkungannya, dapat menghindari terhadap ancaman, mempunyai daya adaptasi, dan daya lenting untuk bisa kembali seperti sedia kala.

Mungkin, dari situlah muncul  Perka BNPB No. 1/2012, tentang Desa Tangguh Bencana (destana), yaitu sebuah desa atau kelurahan yang memiliki kemampuan untuk mengenali ancaman di wilayahnya dan mampu mengorganisir sumber daya masyarakat untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas demi mengurangi risiko bencana.

Kemampuan ini diwujudkan dalam perencanaan pembangunan yang mengandung upaya-upaya pencegahan, kesiapsiagaan, pengurangan risiko bencana dan peningkatan kapasitas untuk pemulihan pasca bencana.

Dalam destana, masyarakat terlibat aktif dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau, mengevaluasi dan mengurangi risiko-risiko bencana yang ada di wilayah mereka, terutama dengan memanfaatkan sumber daya lokal demi menjamin keberkelanjutan.

Destana ini merupakan upaya pengurangan risiko bencana berbasis komunitas untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana. Tujuannya, antara lain, Melindungi masyarakat di kawasan rawan bahaya dari dampak-dampak merugikan bencana, Meningkatkan peran serta masyarakat, khususnya kelompok rentan, dalam pengelolaan sumber daya untuk mengurangi risiko bencana, dan Meningkatkan kerjasama antara para pemangku kepentingan dalam PRB, pihak pemerintah daerah, lembaga usaha, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyakarat (LSM), organisasi masyarakat, dan kelompok-kelompok lainnya yang peduli.

Salah satu fokus prioritas dalam NAWACITA, yaitu, "Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan". Maka direkrutlah fasilitator destana, yang tugasnya melakukan fasilitasi dan pendampingan kepada masyarakat desa guna mencapai target-target destana di atas melalui perspektif pendidikan orang dewasa dengan pendekatan proses pendidikan kritis.

Untuk itulah, maka diadakan peningkatan kapasitas fasilitator destana, agar dapat mengerjakan tugas dan fungsinya dengan baik dan lancar. Hal-hal yang perlu dipahami dan dikuasai oleh para fasilitator destana antara lain menyangkut peraturan perundang-undangan mengenai kebencanaan dan desa, teknik fasilitasi dengan perspektif pendidikan orang dewasa, analisa risiko bencana, teknik pengkajian desa secara partisipatif, sosial budaya dan bahasa masyakarat setempat, kepemimpinan dan pendampingan, gender, dan lain-lain.

Konon, pembentukan Destana itu diprakarsai oleh BNPB melalui programnya yang didampingi oleh fasilitator destana selama waktu tertentu. Setelah program selesai, destana diharapkan bisa mandiri mengelola kegiatannya yang dikoordinasikan dengan BPBD setempat. Mengingat, program penanggulangan bencana, termasuk pembentukan destana beserta kegiatannya, merupakan pekerjaan yang tidak mudah, diperlukan kerjasama dengan semua pihak terkait, terutama adanya sinergi antara BPBD setempat dengan SKPD terkait.

Namun nyatanya, di lapangan lain, tidak selalu seindah konsepnya. Harusnya, seperti program pemerintah yang lain terkait dengan upaya pemberdayaan masyarakat. Pasca program harusnya dilanjutkan dengan program lanjutan untuk penguatan dari program sebelumnya, kemudian ada program pendampingan dan terakhir program pemandirian.

Karena, mustahil masyarakat bisa langsung mandiri pasca program. Apalagi jika BPBD setempat tidak menganggarkan untuk kegiatan pembinaan maupun pendampingan desa tangguh. Kecuali, di desa tersebut sumber daya manusianyanya mumpuni dan seluruh warga mendukung program Destana, baik secara moril dan materiil.

Untuk itulah, alangkah eloknya jika BNPB/BPBD memanfaatkan fasilitator destana yang sudah menyelesaikan kontraknya, diangkat sebagai mitra yang bertugas mendampingi kegiatan destana sampai mandiri, dalam arti program destana benar-benar diakui keberadaannya dengan dimasukkannya program destana ke dalam RPJM Desa maupun Rencana Kerja Pemerintah desa, sehingga semua kegiatan kebencanaan akan terdanai oleh Anggaran Pembangunan Belanja Desa maupun Alokasi Dana Desa.

Sukur-sukur jika fasilitator destana yang sudah berpengalaman itu diangkat sebagai pegawai tidak tetap (honorer) untuk memperkuat tugas-tugas kemanusiaan yang diperankan oleh BNPB/BPBD. Upaya ini pun juga tidak mudah karena semua kembali kepada ketersediaan anggaran yang akan membiayai kiprah Fasilitator destana dalam upaya mewujudkan ketangguhan bangsa menghadapi bencana.[eBas/berbagai sumber]








3 komentar:

  1. sungguh sayang jika pasca program, fasilitatornya tdk dimanfaatkan utk melakukan pendampingan kepada desa binaannya, jelas nantinya destana akan mati dengan sendirinya jika tidak ada program lanjutan.
    sehinah hil yg mustahal jika destana sekali program langsung mandiri, jadi harus adda program lanjutannya, yg terdiri paling tidak program pendampingan (rintisan usaha), program pemandirian, dan program penguatan. sementara fasilitator yg sudah berpengalaman itu bisa dimanfaatkan dalam forum pengurangan risiko bencana.
    tinggal bagaimana bnpb/bpbd menganggarkannya.
    salam tangguh salam kemanusiaan

    BalasHapus
  2. Itulah yang kami harapkan dari dulu, namun kenyataan nya sampai saat ini itu semua hanya sebatas angan saja, walaupun sudah banyak yang mengusulkan agar Fasilitator tetap di berdaya kan pasca program ntah di BPBD Provinsi atau BPBD setempat...

    BalasHapus
  3. proyek fasdestana ini mirip dgn sarjana penggerak pembangunan di pedesaan (SP3) yg pernah saya ikuti.kontraknya 2 tahun tinggal di desa dgn tugas memberdayakan masyarakat dibidang pendidikan (pemberantasan buta huruf) menggali potensi ekonomi dgn memanfaatkan SDM dan SDA lokal, serta menumbuhkan kesadaran masyarakat agar berpartisipasi dalam pembangunan desanya. kerjanya santai mengukuti kehendak warga setempat dan kebanyakan alumninya diberi piagam untuk dilampirkan saat melamar pekerjaan. dan alhamdulillah banyak dari kami yg di rekrut jadi PNS (bahkan yg nasibnya baik bisa jadi pejabat kepala kantor dinas), pun sukses berwirausaha. karna kami dulu juga dibina dgn berbagai keterampilan wirausaha dan bermasyarakat (dibekali materi sosiologi masyarakat desa) ..... demikian mas Alfin. siapa tahu bisa dijadikan gerakan bersama antar sesama fasdes untuk membuat rekomendasi bersama kepada BNPB agar pasca kontrak diperhatikan. trims

    BalasHapus