Senin, 10 Juni 2019

SEPENGGAL CERITA TENTANG SRPB JATIM


Cerita ini diawali dengan keterlibatan penulis dalam kegiatan forum pengurangan risiko bencana jawa timur (F-RPB JATIM).  Untuk itu, disini penulis merasa wajib mengucapkan terimakasih kepada Pak Misdarno, staf BPBD Provinsi Jawa Timur, dan Mas Didik, ‘direktur’ AIFDR Jawa Timur, yang berkenan melibatkan penulis belajar menjadi bagian dari F-PRB JATIM. dimana saat itu yang menjadi sekjen adalah Syaiful (almarhum).

Dari pergaulan  dengan aktivis F-PRB JATIM , diantaranya mbah Dharmo, Cak Rurid, dan mBak Arna, penulis menjadi tahu bahwa sebagai organisasi, F-PRB JATIM belum mempunyai kantor sekretariat untuk berkumpul, bersemuka antar anggota dalam rangka menyusun agenda organisasi.

Betapa memprihatinkannya, organisasi yang menyuarakan konsep PRBBK (pengurangan risiko bencana berbasis komunitas) belum memilki kantor. Sejak itulah setiap berkesempatan mengikuti rapat yang melibatkan BPBD JATIM, selalu saja penulis angkat bicara “memohon” agar diberi salah satu ruang di kantor BPBD JATIM untuk dijadikan Sekretariat F-PRB JATIM.

Ruang tersebut, disamping untuk keperluan rapat dan urusan administrasi forum, juga menjadi tempat berkumpulnya relawan penanggulangan bencana sebagai salah satu elemen yang memperkuat keberadaan F-PRB JATIM, disamping Akademisi, Birokrat, Praktisi, tokoh masyarakat, Organisasi Masyarakat, dan Media. Jauh sebelum istilah pentahelix dipopulerkan.

Singkat cerita, Pak wawan, Kalaksa BPBD Provinsi Jawa Timur, mengundang beberapa organisasi relawan untuk berdiskusi tentang rencana pembentukan sekretariat bersama (sekber) relawan. Saat itu sempat pula penulis tanyakan, mengapa membentuk sekber relawan ?. kenapa tidak Sekber F-PRB JATIM yang didalamnya juga melibatkan relawan ?.

Beliau bilang, F-PRB JATIM beda dengan Sekber Relawan. Forum anggotanya terdiri dari berbagai elemen masyarakat. Sedangkan Sekber Relawan khusus mewadahi organissi relawan sejawa timur untuk memudahkan berkoordinasi, berkomunikasi serta memudahkan pembinaan terkait meningkatkan kapasitas dalam hal penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana.

Begitulah, rapat pembentukan Sekretariat bersama terus bergulir, bertempat di Gedung Siaga, BPBD Provinsi Jawa Timur. Rapat itu didampingi Sugeng Yanu, sebagai Kabid Pencegahan dan Kesiapsiagaan, dan didukung sepenuhnya oleh Mercycorp (Lukman, Nandar, dan Afkar).

Secara aklamasi, peserta rapat menunjuk Dian Harmuningsih sebagai Ketua. Priyo Sancoyo, Sekretaris yang gak pernah aktif, dan Edi Basuki, sebagai bendahara yang tidak pernah membawa uang babar blas (karena memang tidak ada uang sama sekali). Ya, adanya hanya menyusun konsep kemudian rapat, konsultasi dan revisi, agar keberadaannya nanti tidak ‘layu sebelum berkembang’.

Rapat demi rapat terus berlangsung untuk mematangkan rencana kongres dengan segala kemampuan yang ada. Beberapa personil pun secara sukarela membantu bersibuk ria menyiapkan rapat relawan. Muncullah Hamid, Rizal, Wawan, Sri, Digdo, dan lainnya. mereka saling bahu membahu menyusun acara tanpa kenal lelah. ’Sing Penting Kongres Sukses’. Begitulah semboyan pasukan berani capek ini.

Sekitar 90 organisasi relawan yang hadir dari 110 undangan yang disebar. Dengan penuh semangat dan biaya mandiri, mereka berdatangan ke Hotel Regent Park, Kota Malang untuk berkongres. Ya, kongres pembentukan Sekber relawan itu berlangsung beberapa hari setelah F-PRB JATIM mengadakan Musyawarah Besar dalam rangka pergantian pengurus, di Hotel Pelangi, Kota Malang (24 – 25 April 2017).

Selama dua hari (28 - 29 April 2017) mereka rapat merumuskan ‘jabang bayi’ Sekber yang kemudian diberi nama sekretariat bersama relawan penanggulangan bencana jawa timur (SRPB JATIM). Pengurusnya pun diambil dari wakil-wakil organisasi relawan berbasis keterwakilan daerah di Jawa Timur. Dian Harmuningsih dipilih secara aklamasi sebagai koordinator. Disepakati pula SRPB JATIM hanya memiliki statuta sebagai AD/ART yang menjadi payung hukum dari segala penyusunan program dan keputusan yang akan diambil pengurus.

Seminggu pasca kongres, pengurus SRPB JATIM mulai sibuk menyusun laporan pelaksanaan kongres dan merencanakan kegiatan rutin sebagai upaya membangun persepsi dan chemistry diantara relawan dari berbagai organisasi, yang tentunya sudah memiliki visi misi sendiri. Semuanya coba disatukan untuk bersama-sama bekerja menggerakkan roda organisasi SRPB JATIM  dengan berbagai kegiatan penanggulangan bencana. baik itu saat pra bencana, tanggap darurat bencana, maupun pra bencana, dalam rangka peningkatan kapasitas relawan.

Dulu, rencana pertama yang diharapkan adalah melakukan pendataan seluruh organisasi relawan di Jawa Timur untuk dibukukan (sebagai bank data), Istilahnya Direktori Relawan. Harapannya, dengan adanya data ini akan  memudahkan koordinasi dan komunikasi jika sewaktu -  waktu di perlukan dalam kegiatan penanggulangan bencana maupun pengurangan risiko bencana.

Pertemuan-pertemuan pengurus pun secara berkala diadakan. Dari situ tercetuslah gagasan untuk membuat kegiatan rutin sebagai media saling belajar. Disepakatilah nama, Arisan Ilmu Nol Rupiah. Tujuan gelaran itu adalah sebagai media berkumpul untuk saling berbagi dan bersilaturahmi.

Itu penting, karena jika tidak ada media berkumpul, maka pasca kongres, semua peserta balik kanan ngurusi kesibukan hariannya masing-masing. Lupa menghidupi semangat kongres dengan segala keputusan yang disepakati. Inilah penyakit organisasi yang baru berdiri, jika tidak diantisipasi.

Begitulah, acara Arisan Ilmu yang digelar secara berkala menjadi media interaksi untuk membangun sinergi dan menambah wawasan dengan berbagai topik bahasan. Sebagai upaya menterjemahkan pesan UU nomor 24 tahun 2007, khususnya pasal 26, ayat 1, poin b, Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.  

Walaupun masih dalam proses mencari bentuk, kegiatan ini telah mencuri perhatian dan menginspirasi berbagai pihak untuk menduplikasi ke dalam programnya dengan beragam versi sesuai selera masing-masing. Sekecil apapun, itulah prestasi yang membanggakan dari aktivis SRPB JATIM.

Setahun menjelang kongres yang ke dua, SRPB JATIM telah banyak terlibat dalam berbagai kegiatan kebencanaan. baik yang diselenggarakan BPBD, maupun BNPB dan instansi lain. Bahkan mendapat apresiasi positif dari Pak Suban, Kepala BPBD Provinsi Jawa Timur dan jajarannya, dengan diberi ijin menempati salah satu ruangan di kantor BPBD sebagai sekretariat, lengkap dengan pemasangan ‘name board’ yang sangat  ‘Eye Catching’ sebagai tempat berkumpulnya relawan dalam merencanakan aksi yang terkoordinasi.

Di samping ‘keberhasilan’ yang dicapai, ada saja oknum yang tega menghambat laju perkembangan SRPB JATIM. Ya, itu memang wajar terjadi, sesuai hukum alam. Rasa suka dan tidak suka, yang datang dan yang pergi adalah sebuah sunatullah yang tidak bisa dihindari. Mereka yang tidak suka adanya SRPB JATIM itu pasti punya argumentasi sendiri yang seolah-olah bener dari nalar oknum yang keblinger.

Untuk itulah semua harus dihadapi dengan karya nyata. Bukan dijawab dengan sekedar saling berbantah. Ya, karya nyata yang berdampak pada meluasnya jaring kemitraan, meningkatkan kapasitas relawan serta terjadinya kaderisasi sebagai bentuk munculnya rasa “melu handarbeni” SRPB JATIM dengan segala suka dukanya dalam berproses sebagaimana organisasi yang sudah mapan.

Dari situ kemudian, diharapkan semua dapat berpartisipasi meramaikan kongres ke dua tahun 2020. Termasuk merevisi statuta dan perlu tidaknya SRPB JATIM memiliki akta notaris sebagai syarat legalitas formal sebuah organisasi. Sehingga narasi yang dikembangkan oleh oknum bahwa SRPB JATIM hanya didominasi oleh beberapa orang dan kepentingan tertentu, akan terpatahkan dengan sendirinya.

Di sisi lain, jika SRPB JATIM gagal melakukan kaderisasi, maka disitulah titik klimak kiprahnya untuk kemudian perlahan namun pasti, akan ditinggalkan oleh anggotanya, karena merasa tidak mendapat keuntungan apa-apa selama berkiprah bersama. Untuk itu, teruslah bergerak menunjukkan karya yang bisa ditindak lanjuti pasca kongres nanti. Waspadalah.

Berharap  sepenggal cerita ini dapat menginspirasi untuk mendokumentasikan segala kisah pengalaman dalam bentuk tulisan agar menjadi ‘jejak sejarah’ bahwa kita pernah ada dengan segala suka dukanya. Ingat, pesan Ali bin Abi Thalib, ikatlah ilmu (dan pengalaman,red) dengan menuliskannya. Ya, narasi panjang tentang  cerita hidup para pegiat kemanusiaan (termasuk pelestari lingkungan) akan menjadi kenangan tersendiri bagi mereka yang membaca dengan hati nurani. Wallahu a’lam bishowab. Salam Tangguh, Salam Lestari.[eBas/Jakarta diwaktu pagi usai hujan semalam, minggu-9/6]
      
      

1 komentar:

  1. NUKILAN KENANGAN DI KANTIN BPBD JATIM
    Dulu kala ketika penulis baru kenal dengan kawan-kawan Forum Pengurangan Risiko Bencana jawa timur (FPRB JATIM), maka penulis sering ‘kluyar kluyur’ ke kantor BPBD, lebih tepatnya ke ruangannya Mas Lukman, Direktur Mercycorp. Untuk sekedar ngobrol dengan para aktivis Forum.
    Apalagi pas ada rapat, dipastikan penulis akan selalu hadir. Satu tujuan, ingin tahu tentang program yang berkaitan dengan kebencanaan, juga ingin lebih dekat dengan para personilnya yang peduli dengan masalah kemanusiaan.
    Saking seringnya ‘beredar’ di lingkungan BPBD, penulis banyak kenal dengan karyawan BPBD, khusunya yang sering nongkrong di Kantin. Kalau yang di kantor, penulis tidak kenal karena takut disangka ‘cari-cari’.
    Pada suatu hari entah hari apa, enak-enak penulis cangkruk di Kantin, menunggu ruangannya mas Lukman buka. Duduk disebelah penulis seseorang entah siapa dari mana, penulis tidak memperhatikan, karena sibuk ditelpon sekjen Forum untuk ikut rapat di hotel santika.
    Si orang itu tiba-tiba bertanya, “Sampiyan relawan ya ?.”
    “Iya dari Komunitas Relawan, mau diajak rapat oleh teman-teman Forum,”. Jawab penulis sekenanya.
    “Kalau sampiyan relawan, berarti setiap ada bencana sampiyan ikut turun ke lokasi bencana ?.” Tanyanya, sambil mengepulkan asap ji sam su nya.
    “Wah, ya tidaklah,” jawabku malas, menahan kencing.
    “Lho, namanya relawan itu ya harus siap turun ke lokasi bencana secara mandiri tanpa minta uang transport. Kalau tidak mau turun secara mandiri ya jangan bilang sebagai relawan,” Katanya nyerocos kayak angkudes yang remnya blong.
    Belum sempat menjawab, dia sudah ngeloyor entah kemana. Penulis sendiri memaknai tentang seorang relawan harus selalu hadir di lokasi bancana seperti harapan orang misterius itu. Emangnya relawan tidak punya kesibukan lain dalam bermasyarakat dan ngurus keluarganya ?.
    Sambil menunggu kedatangan sekjen Forum PRB, penulis jadi ingat seseorang yang bilang bahwa relawan penanggulangan bencana itu berbeda dengan pekerja kemanusiaan penanggulangan bencana, pekerja sosial penanggulangan bencana, dan pegawai penanggulangan bencana. Namun ada kesamaannya, diantaranya sama-sama ngurusi masalah korban bencana. Cuma sebaiknya janganlah saling menafikan satu dengan lainnya. nyatanya lho setiap terjadi bencana, relawanlah yang seringkali datang duluan tanpa bayaran. Berhasil tidak dipuji, sementara kalau salah langsung dimaki.
    Tiba-tiba lamunan pun berantakan ketika mas sekjen Forum datang nggablok pundak penulis sambil berkata, “Ayo mas, sudah ditunggu mas lukman di ruang atas. Tuh mas Kevin juga sudah datang membawa martabak berserta es degan.”.
    Alhamdulillah, [eB]

    BalasHapus