Konon,
bangsa yang berperadaban maju itu dapat dipastikan memiliki budaya baca tulis
yang tinggi. Dengan kata lain, jika ingin maju, maka mau tidak mau harus
menggerakkan literasi, yaitu membiasakan diri akrab dengan bacaan untuk
kemudian diikuti dengan kebiasaan menulis. Begitu juga dengan relawan
penanggulangan bencana, harus mau mengembangkan budaya baca dan mengasah
gagasan dan idenya melalui kegiatan diskusi dan ngopi (ngabrol pintar) .
Dalam Wikipedia,
pengertian literasi itu istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan
dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan
memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari.
Relawan pun
tampaknya juga harus mumpuni dalam hal membaca, menulis dan berbicara sehingga
bisa turut berperan serta dalam fase pra bencana, diantaranya melakukan
penyuluhan dan sosialisasi pengurangan risiko bencana kepada masyarakat,
khususnya mereka yang berdomisili di daerah rawan bencana.
Hal ini
mengingat Indonesia memiliki potensi bencana dan selalu memunculkan risiko
korban harta benda, bahkan jiwa. Ingat, bencana alam tidak bisa dihindari,
tetapi jumlah korban jiwa bisa dikurangi. Maka dari itu, diperlukan gerakan
literasi kebencanaan oleh komunitas (sukur-sukur bisa berkolaborasi dengan BPBD
setempat).
SRPB
Jatim, yang memiliki kegiatan rutin Arisan Ilmu, merupakan upaya meningkatkan
kapasitas relawan. Baik melalui materi yang disajikan maupun saat ngobrol antar
relawan sambil ngopi berbagi pengalaman dan tukar informasi, sekaligus
membangun jejaring kemitraan yang berbasis simbiosa mutualisma. Tinggal bagaimana
mendokumentasikan aneka pembicaraan (termasuk postingan dan komentar di grup
whatsapp), dalam bentuk tulisan, tanpa takut salah. Yang penting nulis dan belajar menulis aneka pengalaman yang tentunya mengesankan (paling tidak untuk diri sendiri).
Tanpa
disadari, apa yang dilakukan dalam Arisan Ilmu itu merupakan sebuah gerakan literasi,
khususnya literasi kebencanaan. Melalui gerakan ini relawan mengajak seluruh
elemen masyarakat untuk lebih peduli lingkungannya, mengenali potensi bencana
yang ada di daerahnya.
Harapannya,
setelah masyarakat paham akan adanya potensi bencana, dan paham bagaimana
mengantisipasinya sesuai konsep kesiapasiagaan menghaadaapi bencana, mereka
juga mau dan mampu merawat pengetahuan tersebut yang diwariskan kepada generasi
penerusnya.
Contohnya
adalah masyarakat Kepulauan Simeulu, Aceh. Mereka di sana masih menjaga erat
kearifan lokal literasi kebencanaan secara turun-temurun. Seperti istilah smong
yang diteriakkan masyarakat ketika tahu ada tanda-tanda bahaya tsunami.
Gerakan literasi
kebencanaan itu juga perlu didukung oleh peran media massa menyampaikan
pengetahuan tentang kebencanaan. baik berupa iklan sadar bencana, maupun
berita-berita terjadinya bencana beserta upaya penanggulangannya di berbagai
daerah, juga acara berbagi informasi tentang pengurangan risiko bencana.
Salah satu
akibat dari belum tumbuhnya budaya sadar bencana diantaranya banyak sarana
prasarana sistem peringatan dini (EWS) yang dibiarkan rusak oleh masyarakat
setempat, bahkan mereka juga tidak peduli ketika alat peringatan dini itu
dicuri. sehingga tidak berfungsi ketika ada potensi datangnya bencana.
Untuk itulah,
sudah waktunya BPBD menggandeng relawan melakukan gerakan literasi kebencanaan
melalui penyuluhan pengurangan risiko bencana, pendampingan desa tangguh
bencana dan keluarga tangguh bencana, serta program sejenis yang bertujuan
menumbuhkan budaya sadar becana, membangun ketangguhan masyarakat menghadapi
bencana. Paling tidak, SRPB bisa mengajaka organisasi mitranya untuk mewujudkan
gerakan literasi kebencanaan dalam berbagai bentuknya.
Ingat,
musim hujan sebentar lagi datang. Bencana banjir dan longsor pun pasti akan
meminta korban. Belum lagi bencana angin puting beliung yang semakin sering
menimbulkan kerusakan. Waspadalah. [eBas/SabtuPon-141219]
pengalaman relawan itu sbenarnya buanyak dan penuh ketegangan keharuan kecemasan kesenangan dan lainnya.
BalasHapusuntuk itu alangkah emannya jika pengalaman itu tidak ditulis untuk diwariskan ke relawan penerusnya sbg bahan acuan dan pembelajaran.
jika pengalaman itu hanya indah untuk diceritakan. maka ketika sang pencerita (pelaku) meninggal dunia, maka usai sudah cerita pengalaman itu seiring pelaku menghadap sang pencipta.
makanya ayo senyampang masih sehat ingatan masih kuat kita tulis semua pengalaman. tanpa harus takut tulisan kita jelek.
ayo yg penting menulis dan terus menulis agar pengalaman indah itu menjadi sejarah bahwa kita pernah berkiprah
salam tangguh
tetap bahagia disegala cuaca
Terkait mitigasi bencana, pejabat daerah diharapkan lebih inovatif. Salah satunya penggunaan dana desa untuk program pengembalian fungsi konservasi di kawasan yang rusak. (Ka. BNPB/kompas-131219)
BalasHapusPerlu inpres yang mewajibkan daerah menyusun rencana cadangan penanggulangan bencana yang meliputi sebelum, saat, dan sesudah terjadinya bencana. termasuk kewajiban menyiapkan dana tanggap darurat sementara untuk bencana. dana ini penting supaya saat bencana, pertolongan pertama bisa dilakukan daerah tanpa menunggu pusat. (Ka. BNPB/Kompas-131219)