Sabtu, 14 Desember 2019

SRPB JATIM DAN GERAKAN LITERASI KEBENCANAAN


Konon, bangsa yang berperadaban maju itu dapat dipastikan memiliki budaya baca tulis yang tinggi. Dengan kata lain, jika ingin maju, maka mau tidak mau harus menggerakkan literasi, yaitu membiasakan diri akrab dengan bacaan untuk kemudian diikuti dengan kebiasaan menulis. Begitu juga dengan relawan penanggulangan bencana, harus mau mengembangkan budaya baca dan mengasah gagasan dan idenya melalui kegiatan diskusi dan ngopi (ngabrol pintar) .

Dalam Wikipedia, pengertian literasi itu istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.

Relawan pun tampaknya juga harus mumpuni dalam hal membaca, menulis dan berbicara sehingga bisa turut berperan serta dalam fase pra bencana, diantaranya melakukan penyuluhan dan sosialisasi pengurangan risiko bencana kepada masyarakat, khususnya mereka yang berdomisili di daerah rawan bencana.

Hal ini mengingat Indonesia memiliki potensi bencana dan selalu memunculkan risiko korban harta benda, bahkan jiwa. Ingat, bencana alam tidak bisa dihindari, tetapi jumlah korban jiwa bisa dikurangi. Maka dari itu, diperlukan gerakan literasi kebencanaan oleh komunitas (sukur-sukur bisa berkolaborasi dengan BPBD setempat).

SRPB Jatim, yang memiliki kegiatan rutin Arisan Ilmu, merupakan upaya meningkatkan kapasitas relawan. Baik melalui materi yang disajikan maupun saat ngobrol antar relawan sambil ngopi berbagi pengalaman dan tukar informasi, sekaligus membangun jejaring kemitraan yang berbasis simbiosa mutualisma. Tinggal bagaimana mendokumentasikan aneka pembicaraan (termasuk postingan dan komentar di grup whatsapp), dalam bentuk tulisan, tanpa takut salah. Yang penting nulis dan belajar menulis aneka pengalaman yang tentunya mengesankan (paling tidak untuk diri sendiri).

Tanpa disadari, apa yang dilakukan dalam Arisan Ilmu itu merupakan sebuah gerakan literasi, khususnya literasi kebencanaan. Melalui gerakan ini relawan mengajak seluruh elemen masyarakat untuk lebih peduli lingkungannya, mengenali potensi bencana yang ada di daerahnya.

Harapannya, setelah masyarakat paham akan adanya potensi bencana, dan paham bagaimana mengantisipasinya sesuai konsep kesiapasiagaan menghaadaapi bencana, mereka juga mau dan mampu merawat pengetahuan tersebut yang diwariskan kepada generasi penerusnya.

Contohnya adalah masyarakat Kepulauan Simeulu, Aceh. Mereka di sana masih menjaga erat kearifan lokal literasi kebencanaan secara turun-temurun. Seperti istilah smong yang diteriakkan masyarakat ketika tahu ada tanda-tanda bahaya tsunami.

Gerakan literasi kebencanaan itu juga perlu didukung oleh peran media massa menyampaikan pengetahuan tentang kebencanaan. baik berupa iklan sadar bencana, maupun berita-berita terjadinya bencana beserta upaya penanggulangannya di berbagai daerah, juga acara berbagi informasi tentang pengurangan risiko bencana.

Salah satu akibat dari belum tumbuhnya budaya sadar bencana diantaranya banyak sarana prasarana sistem peringatan dini (EWS) yang dibiarkan rusak oleh masyarakat setempat, bahkan mereka juga tidak peduli ketika alat peringatan dini itu dicuri. sehingga tidak berfungsi ketika ada potensi datangnya bencana.

Untuk itulah, sudah waktunya BPBD menggandeng relawan melakukan gerakan literasi kebencanaan melalui penyuluhan pengurangan risiko bencana, pendampingan desa tangguh bencana dan keluarga tangguh bencana, serta program sejenis yang bertujuan menumbuhkan budaya sadar becana, membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana. Paling tidak, SRPB bisa mengajaka organisasi mitranya untuk mewujudkan gerakan literasi kebencanaan dalam berbagai bentuknya.

Ingat, musim hujan sebentar lagi datang. Bencana banjir dan longsor pun pasti akan meminta korban. Belum lagi bencana angin puting beliung yang semakin sering menimbulkan kerusakan. Waspadalah. [eBas/SabtuPon-141219]  





2 komentar:

  1. pengalaman relawan itu sbenarnya buanyak dan penuh ketegangan keharuan kecemasan kesenangan dan lainnya.
    untuk itu alangkah emannya jika pengalaman itu tidak ditulis untuk diwariskan ke relawan penerusnya sbg bahan acuan dan pembelajaran.
    jika pengalaman itu hanya indah untuk diceritakan. maka ketika sang pencerita (pelaku) meninggal dunia, maka usai sudah cerita pengalaman itu seiring pelaku menghadap sang pencipta.
    makanya ayo senyampang masih sehat ingatan masih kuat kita tulis semua pengalaman. tanpa harus takut tulisan kita jelek.
    ayo yg penting menulis dan terus menulis agar pengalaman indah itu menjadi sejarah bahwa kita pernah berkiprah

    salam tangguh
    tetap bahagia disegala cuaca

    BalasHapus
  2. Terkait mitigasi bencana, pejabat daerah diharapkan lebih inovatif. Salah satunya penggunaan dana desa untuk program pengembalian fungsi konservasi di kawasan yang rusak. (Ka. BNPB/kompas-131219)

    Perlu inpres yang mewajibkan daerah menyusun rencana cadangan penanggulangan bencana yang meliputi sebelum, saat, dan sesudah terjadinya bencana. termasuk kewajiban menyiapkan dana tanggap darurat sementara untuk bencana. dana ini penting supaya saat bencana, pertolongan pertama bisa dilakukan daerah tanpa menunggu pusat. (Ka. BNPB/Kompas-131219)

    BalasHapus