Rabu, 17 Juni 2020

NEW NORMAL BUKAN KEMBALI NORMAL


Sejak istilah new normal diperkenalkan kepada khalayak ramai melalui berbagai media, masyarakat antusias menyambutnya dengan berbagai cara suka cita. Pemerintah daerah pun dengan berbagai argumentasinya mulai menanggalkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Dalam lamannya tirto.id, dikatakan bahwa definisi new normal adalah skenario untuk mempercepat penanganan COVID-19 dalam aspek kesehatan dan sosial-ekonomi. Pemerintah Indonesia telah mengumumkan rencana untuk mengimplementasikan skenario new normal dengan mempertimbangkan studi epidemiologis dan kesiapan regional.

Pasar, toko, mall, terminal mulai ramai kerumunan tanpa mengindahkan protokol kesehatan. Termasuk warkop langganan juga mulai dijejali pelanggan setianya. Ada yang bermasker, ada yang membawa masker, juga banyak yang tidak bermasker. Tentu semua dilakukan tanpa menjaga jarak, karena warga beranggapan sudah kembali normal.

Sambil nyruput kopi dan ngemil gorengan, obrolan seru tentang apa saja berseliweran. Termasuk bicara masalah zona merah pandemi covid-19, rapid test massal, korban positif yang berjatuhan dikubur sesuai protokol kesehatan dan bantuan sosial yang salah sasaran.

Wacana new normal pun semakin santer menggema, pemerintah juga sudah berancang-ancang memberlakukan dengan menyusun aneka peraturan. Konon, sebelum diberlakukan new normal, akan diawali dengan masa transisi. Namun masyarakat sudah memulainya dengan segala aktivitasnya dengan normal.

Banyak yang salah kaprah dengan istilah new normal. Ada yang mengartikan bahwa new normal itu adalah kondisi yang sudah normal kembali seperti sebelum ada pandemi yang mematikan ini. Karena sudah dianggap aman, maka sebagian orang mulai menanggalkan maskernya, abai dengan social and physical distancing dan meninggalkan protokol kesehatan.

Sehingga yang terjadi, penyandang ODP, PDP, OTG dan positif Covid-19 masih saja bertambah. Mengapa bisa begitu ?. sesungguhnyalah, dalam era new normal itu, virus corona masih ada dengan segala ancamannya, namun sudah bisa dikendalikan.

Mengutip berita di lamannya tirto.id, dimana, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Suharso Monoarfa, menyampaikan beberapa indikator dari WHO dalam rangka skenario new normal di tengah pandemi corona.

"Jadi WHO memberikan beberapa indikator yang diminta untuk dapat dipatuhi oleh semua negara di dunia dalam rangka menyesuaikan kehidupan normalnya, new normal-nya itu dengan COVID-19, sampai kita menemukan vaksin," jelas Kepala Bappenas.

Indikator yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Tidak menambah penularan atau memperluas penularan atau semaksimalnya mengurangi penularan. 2. Menggunakan indikator sistem kesehatan yakni seberapa tinggi adaptasi dan kapasitas dari sistem kesehatan bisa merespons untuk pelayanan COVID-19. 3. Surveilans yakni cara menguji seseorang atau sekelompok kerumunan apakah dia berpotensi memiliki COVID-19 atau tidak sehingga dilakukan tes masif.

Dengan 3 indikator itu, Pemerintah akan menempatkan sebuah daerah itu siap atau tidak dan WHO mensyaratkan R0-nya tadi itu atau R0 pada waktu t atau Rt, itu setidak-tidaknya dalam waktu 14 hari di bawah 1, maka daerah itu dinyatakan siap untuk melakukan penyesuaian atau pengurangan PSBB, sekaligus masuk ke new normal.

Bagaimana menjelaskan masalah new normal kepada masyarakat agar tidak salah kaprah ?. tentunya dengan melakukan sosialisasi tentang kebiasaan baru dalam menjalani kehidupan sesuai protokol kesehatan yang lebih massif lagi dan melibatkan semua elemen pentahelix, termasuk melalui media massa.

Sesungguhnyalah sosialisasi protokol kesehatan itu sudah lama diperkenalkan sejak covid-19 ada. Namun karena promosinya kurang gencar tanpa diikuti dengan regulasi dan pengkondisian lingkungan, maka protokol itu hanya didengar atau diketahui saja tanpa dilaksanakan. Apalagi budaya masyarakat bersifat komunal, sehingga anjuran jaga jarak itu ya agak tertolak.  

Untuk itulah, dimasa transisi menuju new normal, pemerintah hendaknya membangun sinergi multisektor, termasuk tokoh masyarakat, untuk penanganan pandemi covid-19 secara efektif. Paling tidak masyarakat bisa membantu mensosialisasikan kepada khalayak untuk taat protokol kesehatan saat memasuki era new normal.  

Sebenarnya aturan pelibatan masyarakat sebagai salah satu elemen pentahelix, sudah ada. Tapi tampaknya masih perlu dimotivasi agar upaya menerapkan new normal benar-benar membawa kenormalan baru dalam aktivitas hidup yang produktif. Salam tangguh. [eBas/RabuWage-17062020]













Tidak ada komentar:

Posting Komentar