Ada yang menarik dalam kegiatan
webinar tentang persepsi ahli kebencanaan dalam new normal covid-19. Acara ini diselenggarakan oleh IABI, Rabu
(3/6).Pesertanya banyak sekali dari berbagai daerah serta latar belakang akademik dan pengalamannya. Kalau para ahli yang kepakarannya telah teruji berbicara ‘tinggi’ dengan segala pengalamannya yang
didukung aneka teori dan informasi, itu biasa. Sangat mencerahkan dan
menyemangati para pegiat kebencanaan.
Sambil mendengarkan paparan para
pakar, mata saya tertambat pada beberapa chat dari partisipan. Diantaranya Dadang
dari Jawa Barat. Dia bilang bahwa FPRB tiap hari senin dan kamis ngantor di
BPBD dalam untuk memperkuat BPBD dalam penanganan covid-19. Wah, ini hebat. Karena
tidak semua FPRB yang ada, dilibatkan (melibatkan diri) dalam memperkuat BPBD.
Namun sayang, masih kata Dadang, BPBD
Jabar nyaris tidak diberdayakan oleh BTTC. Untuk itu kiranya BNPB perlu
pendekatan kepada BTTC agar mau melibatkan BPDB (sesuai amanat UU 24 tahun
2007, bahwa bencana itu ranahnya BNPB/BPBD, red).
“Relawan yang biasa bekerja
dikebencanaan nyaris tidak diberdayakan. Padahal banyak dari mereka yang
memiliki kemampuan, terutama untuk pendampingan di masyarakat (baik dalam
rangka edukasi untuk mengkomunikasikan program pemerintah maupun melakukan psikososial,
red),” Katanya. pinjam istilahnya Fauzi adalah sebagai upaya promotif kepada masyarakat
terkait konsep new normal.
Menurut Dadang, hal ini bisa
terjadi diantaranya, karena kepala daerah sibuk membuat struktur baru yang diisi oleh
SDM yang tidak memiliki kapasitas mengimplementasikan manajemen
bencana/kedaruratan. (dan kelakuan itu secara politis dibolehkan sebagai bagian hak seorang pejabat, red).
Kata ‘nyaris’ yang dimunculkan
oleh Dadang itu menurut penulis yang kurang pintar ini, bisa berarti dilibatkan
tapi tidak signifikan (sekedar angka ikut). Buktinya, banyak relawan teman
penulis yang dilibatkan dalam penanganan covid-19. Bukan sebagai konseptor yang
sibuk dalam rapat-rapat dengan pejabat. Tapi cukup terlibat dibidang Packing, Quality Control and
Distribution of Logistic.
Sementara Syafri dari Sumatra
Utara, mempertanyakan kenapa IABI, FPRB dan MPBI tidak dilibatkan dalam GTTC. (dalam
hati, penulis juga bertanya kepada Bang Syafri, kenapa kok Cuma IABI, FPBI dan
MPBI saja yang ditanyakan. Kan banyak tuh komunitas lain yang berbuat secara
mandiri, kenapa itu tidak di koordinasikan oleh GTTC agar mudah memobilisasinya?).
Ternyata kegalauan Syafri dijawab
oleh Gholantara, bahwa ternyata masih adanya ego sektoral yang membuat
komunikasi dan koordinasi lemah. Sehingga perlu ada kesepahaman antara pusat
dan daerah, dalam menangani pandemi covid-19. Disisi lain personil GTTC harus mau menampakkan kinerjanya dengan melibatkan pentahelix sesuai nilai gotong royong yang ada didalam kandungan Pancasila.
Tak terasa gelaran webinar ini, kata
Pak Lilik Kurniawan berbarengan dengan ulang tahun IABI yang ke 4 (?). Semua
pakar melontarkan pendapatnya yang dikemas dalam ‘power point’. Konon nantinya semua materi akan dikirimkan ke semua
peserta webinar. Sementara, oleh timnya Pak Lilik akan dijadikan bahan masukan penyusunan
kebijakan dalam penanganan wabah dari Kota Wuhan ini.
Semoga Pak Lilik juga
memperhatikan beberapa chat dari peserta yang lumayan tajam menginspirasi untuk
dijadikan bahan tambahan masukan. Bahkan ada beberapa chat yang meminta agar
IABI turun langsung mendapingi satuan
GTTC. Tapi itu tidak mudah, ada faktor lain yang berpengaruh. Jangankan mendampingi, rapat saja hampir jarang.
Hal ini seperti yang dikatakan
oleh Hendro dalam menjawab ‘permintaan’
Uda Kabuik. Dalam chatnya, Dosen
Unitomo, Surabaya ini bilang, “Siap Uda Kabuik. Kami akan turun dengan
mendorong pada penguatan dan pendayaan lembaga yang sudah ada, termasuk
programnya.”. Katanya.
Masih kata Hendro, kadang karena
berkelindan dengan agenda politik maka acapkali inisiasi programnya seolah
berdiri sendiri dan tidak merujuk pada program yang serumpun.
“Kadang untuk masuk dalam format
dan tata kelola baru dalam gugus tugas di daerah, memang tidak mudah,” Ujarnya.
Semoga si Uda dan kawan yang lain memahami mengapa IABI kurang tampak
keterlibatannya di dalam gegap gempitanya pandemi Covid-19 menuju new normal. Berharap
webinar dari IABI ini ada kelanjutannya sebagai media silaturahmi virtual di era new normal. Salam Tangguh.
[eBas/RabuKliwon-03062020]
IABI = Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia
BalasHapuskayaknya masalah adanya hambatan komunikasi dan koordinasi antar elemen pentahelix itu mungkin karena masih belum terciptanya kesepahaman, sehingga masing2 masih punya tafsir sendiri2 terhadap sesuatu yang seharusnya menjadi kesepahaman bersama.
BalasHapusbagaimana cara membongkarnya ?. tentu pihak birokrasilah yang bisa mengawali/menginisiasi karena punya kuasa untuk itu.
jika yg mengawali dari elemen masyarakat, biasanya sulit terjadi