Rabu, 03 Juni 2020

IABI ber-WEBINAR-ria

Ada yang menarik dalam kegiatan webinar tentang persepsi ahli kebencanaan dalam new normal  covid-19. Acara ini diselenggarakan oleh IABI, Rabu (3/6).Pesertanya banyak sekali dari berbagai daerah serta latar belakang akademik dan pengalamannya. Kalau para ahli yang kepakarannya telah teruji berbicara ‘tinggi’ dengan segala pengalamannya yang didukung aneka teori dan informasi, itu biasa. Sangat mencerahkan dan menyemangati para pegiat kebencanaan.

Sambil mendengarkan paparan para pakar, mata saya tertambat pada beberapa chat dari partisipan. Diantaranya Dadang dari Jawa Barat. Dia bilang bahwa FPRB tiap hari senin dan kamis ngantor di BPBD dalam untuk memperkuat BPBD dalam penanganan covid-19. Wah, ini hebat. Karena tidak semua FPRB yang ada, dilibatkan (melibatkan diri) dalam memperkuat BPBD.

Namun sayang, masih kata Dadang, BPBD Jabar nyaris tidak diberdayakan oleh BTTC. Untuk itu kiranya BNPB perlu pendekatan kepada BTTC agar mau melibatkan BPDB (sesuai amanat UU 24 tahun 2007, bahwa bencana itu ranahnya BNPB/BPBD, red).

“Relawan yang biasa bekerja dikebencanaan nyaris tidak diberdayakan. Padahal banyak dari mereka yang memiliki kemampuan, terutama untuk pendampingan di masyarakat (baik dalam rangka edukasi untuk mengkomunikasikan program pemerintah maupun melakukan psikososial, red),” Katanya. pinjam istilahnya Fauzi adalah sebagai upaya promotif kepada masyarakat terkait konsep new normal.

Menurut Dadang, hal ini bisa terjadi diantaranya, karena kepala daerah sibuk membuat struktur baru yang diisi oleh SDM yang tidak memiliki kapasitas mengimplementasikan manajemen bencana/kedaruratan. (dan kelakuan itu secara politis dibolehkan sebagai bagian hak seorang pejabat, red).

Kata ‘nyaris’ yang dimunculkan oleh Dadang itu menurut penulis yang kurang pintar ini, bisa berarti dilibatkan tapi tidak signifikan (sekedar angka ikut). Buktinya, banyak relawan teman penulis yang dilibatkan dalam penanganan covid-19. Bukan sebagai konseptor yang sibuk dalam rapat-rapat dengan pejabat. Tapi cukup terlibat dibidang Packing, Quality Control and Distribution of Logistic.

Sementara Syafri dari Sumatra Utara, mempertanyakan kenapa IABI, FPRB dan MPBI tidak dilibatkan dalam GTTC. (dalam hati, penulis juga bertanya kepada Bang Syafri, kenapa kok Cuma IABI, FPBI dan MPBI saja yang ditanyakan. Kan banyak tuh komunitas lain yang berbuat secara mandiri, kenapa itu tidak di koordinasikan oleh GTTC agar mudah memobilisasinya?).

Ternyata kegalauan Syafri dijawab oleh Gholantara, bahwa ternyata masih adanya ego sektoral yang membuat komunikasi dan koordinasi lemah. Sehingga perlu ada kesepahaman antara pusat dan daerah, dalam menangani pandemi covid-19. Disisi lain personil GTTC harus mau menampakkan kinerjanya dengan melibatkan pentahelix sesuai nilai gotong royong yang ada didalam kandungan Pancasila.

Tak terasa gelaran webinar ini, kata Pak Lilik Kurniawan berbarengan dengan ulang tahun IABI yang ke 4 (?). Semua pakar melontarkan pendapatnya yang dikemas dalam ‘power point’. Konon nantinya semua materi akan dikirimkan ke semua peserta webinar. Sementara, oleh timnya Pak Lilik akan dijadikan bahan masukan penyusunan kebijakan dalam penanganan wabah dari Kota Wuhan ini.

Semoga Pak Lilik juga memperhatikan beberapa chat dari peserta yang lumayan tajam menginspirasi untuk dijadikan bahan tambahan masukan. Bahkan ada beberapa chat yang meminta agar IABI turun langsung mendapingi satuan GTTC. Tapi itu tidak mudah, ada faktor lain yang berpengaruh. Jangankan mendampingi, rapat saja hampir jarang.

Hal ini seperti yang dikatakan oleh Hendro dalam menjawab ‘permintaan’  Uda Kabuik. Dalam chatnya, Dosen Unitomo, Surabaya ini bilang, “Siap Uda Kabuik. Kami akan turun dengan mendorong pada penguatan dan pendayaan lembaga yang sudah ada, termasuk programnya.”. Katanya.

Masih kata Hendro, kadang karena berkelindan dengan agenda politik maka acapkali inisiasi programnya seolah berdiri sendiri dan tidak merujuk pada program yang serumpun.

“Kadang untuk masuk dalam format dan tata kelola baru dalam gugus tugas di daerah, memang tidak mudah,” Ujarnya. Semoga si Uda dan kawan yang lain memahami mengapa IABI kurang tampak keterlibatannya di dalam gegap gempitanya pandemi Covid-19 menuju new normal. Berharap webinar dari IABI ini ada kelanjutannya sebagai media silaturahmi virtual di era new normal. Salam Tangguh. [eBas/RabuKliwon-03062020]





  
  

2 komentar:

  1. IABI = Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia

    BalasHapus
  2. kayaknya masalah adanya hambatan komunikasi dan koordinasi antar elemen pentahelix itu mungkin karena masih belum terciptanya kesepahaman, sehingga masing2 masih punya tafsir sendiri2 terhadap sesuatu yang seharusnya menjadi kesepahaman bersama.

    bagaimana cara membongkarnya ?. tentu pihak birokrasilah yang bisa mengawali/menginisiasi karena punya kuasa untuk itu.

    jika yg mengawali dari elemen masyarakat, biasanya sulit terjadi

    BalasHapus