Kamis, 22 Juli 2021

RELAWAN ITU WAJIB KREATIF

Konon, jagongan adalah salah satu aktivitas yang mudah dilakukan untuk mengisi waktu luang di malam hari. Peserta jagongan tidak harus banyak. Namun semakin banyak peserta akan semakin seru, dalam rangka berbagi pengalaman dan mempererat ikatan paseduluran.

Begitu juga dengan Mukidi, yang tergabung dalam komunitas relawan penanggulangan bencana, tampak diantara peserta jagongan, di sebuah warkop yang menjadi langganan komunitasnya. Malam itu dia sedang menikmati mie rebus kesukaannya.

Tidak ada ketua, tidak ada moderator. Semuanya bebas bercerita. Baik cerita pengalaman terlibat dalam kegiatan tanggap darurat, ikut rapat dengan pejabat, berkesempatan menjadi peserta pelatihan, maupun saat menjadi nara sumber webinar. Semua diceritakan dan lainnya mendengarkan. Tentu dengan gaya yang berbeda dan mengundang canda.

Dalbo, seorang relawan yang sering terlibat dalam berbagai acara penting yang diselenggarakan oleh BPBD dan BNPB, mengatakan bahwa, dalam pasca bencana, relawan harus kreatif membantu masyarakat yang terdampak bencana, dengan tetap sepengetahuan BPBD sebagai “penguasa” Pos Komando.

“Relawan tidak hanya melakukan evakuasi, pendampingan psikososial dan membantu memperbaiki rumah warga serta infrastruktur yang ada. Namun juga mampu memotivasi para pengungsi untuk segera bangkit kembali menata kehidupannya yang telah diporak porandakan bencana,” Katanya dengan wajah serius, sambil menggigit singkong goreng. Sementara yang mendengarkan tidak ada yang serius.

Mukidi mendengar cerita Dalbo di atas, jadi ingat Perka BNPB nomor 17 tahun 2011 tentang Pedoman Relawan Penanggulangan Bencana. Disana dijelaskan tentang peran relawan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat, diantaranya membantu evaluasi, mendirikan tenda untuk pendidikan darurat, pendistribusian logistik dan lainnya. Sedang pada saat pascabencana, relawan dapat berperan dalam kegiatan rehab rekon dan pemulihan psikososial.

Mungkin, yang dimaksud Dalbo, saat melakukan pemulihan psikososial inilah relawan bisa mengajak dialog para pengungsi untuk menggali potensi yang bisa dikembangkan menjadi kegiatan positif. Ini penting agar mereka tidak hanya diam di pengungsian, menunggu datangnya jatah konsumsi, sambil terus meratapi deritanya karena bencana.

Misalnya, kaum perempuan diajak menyiapkan konsumsi di dapur umum, sementara yang pria diajak untuk membersihkan rumahnya, ladangnya, dan fasilitas umum lainnya. Baik secara mandiri maupun menggunakan konsep cash for work yang pernah digagas BNPB.

Tidak ada salahnya pula jika relawan dengan kreativitasnya, memberi contoh memanfaatkan “sampah” (puing-puing kayu bekas bangunan) yang diakibatkan bencana, menjadi barang yang berguna, misalnya untuk huntara. Mengajari keterampilan sederhana yang bisa dijadikan mata pencaharian sampingan.

Paling tidak aktivitas yang diberikan oleh relawan itu bisa “menghibur” pengungsi dengan kegiatan yang produktif, agar tidak larut dalam kesedihan yang bisa berujung stress, bahkan depresi.

Apa yang dikatakan Dalbo ada benarnya. Idealnya, relawan tidak hanya memiliki kemampuan dibidang evakuasi dan sejenisnya saja. Namun perlu juga memiliki keterampilan hidup (life skills), yaitu  kemampuan untuk beradaptasi dan menunjukkan perilaku positif yang pada akhirnya memampukan  individu untuk menghadapi tuntutan dan tantangan kehidupan sehari-hari dengan efektif (WHO, 1997).

Keterampilan yang dimiliki itu bisa menjadi sarana untuk memberdayakan para pengungsi agar kehidupannya bisa cepat kembali pulih seperti sebelum terjadinya bencana. Bahkan bisa lebih baik lagi sesuai konsep build back better and safer yang ada di dalam Perka BNPB nomor 06 tahun 2017, tentang Penyelenggaraan Rehabilitas dan Rekonstruksi Pascabencana.

Build back better and safer, diartikan sebagai upaya rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana pada saat pembangunan kembali, baik aspek kerusakan  maupun kerugian akibat bencana, harus dilakukan agar menjadi lebih baik dan lebih aman serta berpedoman pada upaya mengurangi risiko bencana di masa yang akan datang.

Mukidi manggut-manggut. Mencoba mencerna harapan Dalbo agar relawan itu memiliki kreativitas yang bisa memberdayakan para pengungsi sambil melakukan kegiatan pemulihan psikososial.

“Artinya, dengan peran yang baik dari relawan tentunya penanggulangan bencana dapat dilaksanakan secara cepat, tepat, terpadu, efektif, efisien, transparan dan bertanggung jawab,” Gumam Mukidi sambil menghabiskan kopinya sebelum undur diri dari jagongan di warkop langganan komunitasnya.

 Malam itu Mukidi harus segera memberi makan malam maggot, yaitu serangga pemakan bahan organik limbah rumah tangga yang bisa diternak untuk pakan unggas dan ikan. Ya, Mukidi bersama Jamaah LC sedang mencoba belajar ternak maggot untuk kemadirian financial komunitasnya. Salam Sehat SalamLiterasi [eBas/KamisWage-22072021]

 

 

 

 

1 komentar:


  1. belajar dan selalu belajar hendaknya menjadi habit dari relawan dlm rangka meningkatkan wawasan dan kapasitas sesuai dengan perkembangan jaman.
    belajar memang perlu proses sehingga harus dijalani dengan sabar dan optimis. termasuk menyiapkan diri untuk masa depan yang bahagia dan sejahtera.
    dan keterampilan itulah yang bisa digunakan secara kreatif untuk bisa menopang kehidupannya secara mandiri.
    karena sesungguhnyalah relawan itu pasti akan berhenti manakala usia dan kesehatan sudah tidak mendukung lagi

    BalasHapus