Konon, jagongan adalah salah satu aktivitas yang mudah
dilakukan untuk mengisi waktu luang di malam hari. Peserta jagongan tidak harus
banyak. Namun semakin banyak peserta akan semakin seru, dalam rangka berbagi pengalaman
dan mempererat ikatan paseduluran.
Begitu juga dengan Mukidi, yang tergabung dalam komunitas
relawan penanggulangan bencana, tampak diantara peserta jagongan, di sebuah
warkop yang menjadi langganan komunitasnya. Malam itu dia sedang menikmati mie
rebus kesukaannya.
Tidak ada ketua, tidak ada moderator. Semuanya bebas
bercerita. Baik cerita pengalaman terlibat dalam kegiatan tanggap darurat, ikut
rapat dengan pejabat, berkesempatan menjadi peserta pelatihan, maupun saat
menjadi nara sumber webinar. Semua diceritakan dan lainnya mendengarkan. Tentu
dengan gaya yang berbeda dan mengundang canda.
Dalbo, seorang relawan yang sering terlibat dalam
berbagai acara penting yang diselenggarakan oleh BPBD dan BNPB, mengatakan
bahwa, dalam pasca bencana, relawan harus kreatif membantu masyarakat yang terdampak
bencana, dengan tetap sepengetahuan BPBD sebagai “penguasa” Pos Komando.
“Relawan tidak hanya melakukan evakuasi, pendampingan
psikososial dan membantu memperbaiki rumah warga serta infrastruktur yang ada.
Namun juga mampu memotivasi para pengungsi untuk segera bangkit kembali menata
kehidupannya yang telah diporak porandakan bencana,” Katanya dengan wajah
serius, sambil menggigit singkong goreng. Sementara yang mendengarkan tidak ada
yang serius.
Mukidi mendengar cerita Dalbo di atas, jadi ingat Perka
BNPB nomor 17 tahun 2011 tentang Pedoman Relawan Penanggulangan Bencana. Disana dijelaskan tentang peran relawan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat, diantaranya membantu evaluasi, mendirikan tenda untuk pendidikan darurat, pendistribusian logistik dan lainnya. Sedang pada saat pascabencana, relawan dapat berperan dalam kegiatan rehab rekon dan pemulihan psikososial.
Mungkin, yang dimaksud Dalbo, saat melakukan pemulihan
psikososial inilah relawan bisa mengajak dialog para pengungsi untuk menggali
potensi yang bisa dikembangkan menjadi kegiatan positif. Ini penting agar mereka
tidak hanya diam di pengungsian, menunggu datangnya jatah konsumsi, sambil terus
meratapi deritanya karena bencana.
Misalnya, kaum perempuan diajak menyiapkan konsumsi di
dapur umum, sementara yang pria diajak untuk membersihkan rumahnya, ladangnya,
dan fasilitas umum lainnya. Baik secara mandiri maupun menggunakan konsep cash
for work yang pernah digagas BNPB.
Tidak ada salahnya pula jika relawan dengan
kreativitasnya, memberi contoh memanfaatkan “sampah” (puing-puing kayu
bekas bangunan) yang diakibatkan bencana, menjadi barang yang berguna, misalnya
untuk huntara. Mengajari keterampilan sederhana yang bisa dijadikan mata
pencaharian sampingan.
Paling tidak aktivitas yang diberikan oleh relawan itu
bisa “menghibur” pengungsi dengan kegiatan yang produktif, agar tidak
larut dalam kesedihan yang bisa berujung stress, bahkan depresi.
Apa yang dikatakan Dalbo ada benarnya. Idealnya, relawan
tidak hanya memiliki kemampuan dibidang evakuasi dan sejenisnya saja. Namun
perlu juga memiliki keterampilan hidup (life skills), yaitu kemampuan untuk beradaptasi dan
menunjukkan perilaku positif yang pada akhirnya memampukan individu untuk menghadapi tuntutan dan
tantangan kehidupan sehari-hari dengan efektif (WHO, 1997).
Keterampilan yang dimiliki itu bisa menjadi sarana untuk
memberdayakan para pengungsi agar kehidupannya bisa cepat kembali pulih seperti
sebelum terjadinya bencana. Bahkan bisa lebih baik lagi sesuai konsep build
back better and safer yang ada di dalam Perka BNPB nomor 06 tahun 2017,
tentang Penyelenggaraan Rehabilitas dan Rekonstruksi Pascabencana.
Build back better and safer, diartikan
sebagai
upaya rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana pada saat pembangunan kembali,
baik aspek kerusakan maupun kerugian
akibat bencana, harus dilakukan agar menjadi lebih baik dan lebih aman serta
berpedoman pada upaya mengurangi risiko bencana di masa yang akan datang.
Mukidi manggut-manggut. Mencoba mencerna harapan Dalbo
agar relawan itu memiliki kreativitas yang bisa memberdayakan para pengungsi
sambil melakukan kegiatan pemulihan psikososial.
“Artinya, dengan peran yang baik dari
relawan tentunya penanggulangan bencana dapat dilaksanakan secara cepat, tepat,
terpadu, efektif, efisien, transparan dan bertanggung jawab,” Gumam Mukidi sambil menghabiskan kopinya sebelum undur
diri dari jagongan di warkop langganan komunitasnya.
Malam itu Mukidi
harus segera memberi makan malam maggot, yaitu serangga pemakan bahan organik
limbah rumah tangga yang bisa diternak untuk pakan unggas dan ikan. Ya, Mukidi
bersama Jamaah LC sedang mencoba belajar ternak maggot untuk kemadirian
financial komunitasnya. Salam Sehat SalamLiterasi [eBas/KamisWage-22072021]
BalasHapusbelajar dan selalu belajar hendaknya menjadi habit dari relawan dlm rangka meningkatkan wawasan dan kapasitas sesuai dengan perkembangan jaman.
belajar memang perlu proses sehingga harus dijalani dengan sabar dan optimis. termasuk menyiapkan diri untuk masa depan yang bahagia dan sejahtera.
dan keterampilan itulah yang bisa digunakan secara kreatif untuk bisa menopang kehidupannya secara mandiri.
karena sesungguhnyalah relawan itu pasti akan berhenti manakala usia dan kesehatan sudah tidak mendukung lagi