Saat acara rehat kopi,
seorang teman bilang bahwa Forum Pengurangan Risiko Bencana (Forum PRB) harus
mengedepankan komitmen dalam gerakannya, dengan mengaktifkan komunikasi yang
efektif dalam rangka mempromosikan keberadaannya sebagai organisasi baru yang
berfokus pada upaya pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (PRBBK),
berdasarkan pada konsep transparansi untuk menghindari ‘rasan-rasan di belakang’ yang bisa memecah persatuan dan kesatuan
forum.
Artinya, apapun yang
menyangkut pengelolaan forum harus diinformasikan kepada anggota, sehingga dari
situ akan muncul masukan cerdas dari anggota yang berlatar belakang keilmuan
dan pengalaman yang beragam, dan munculnya alternatif solusi serta gagasan baru
yang mendukung, bahkan memperkuat gerakan.
Sambil nyeruput kopi
encer, si teman tadi juga bilang bahwa ada baiknya forum mengadopsi kata sakti
milik muhammadiyah yang kurang lebih berbunyi, “Janganlah kau hidup di
muhammadiyah, namun hidupilah muhammadiyah”. Artinya, forum benar-benar menjadi
ladang pengabdian untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya budaya
tangguh bencana, khususnya bagi mereka yang hidup di kawasan risiko bencana. Hal
ini sejalan dengan pikiran Kang ET, bahwa sejatinya forum itu bukan tempat
kerja mencari uang, tetapi lebih sebagai tempat beraktivitas dalam kerja-kerja
kemanusiaan, dalam hal ini upaya pengurangan risiko bencana (PRB) dan
penanggulangan bencana (PB).
Namun idealnya,
organisasi juga mempunyai sumber dana pendukung operasional yang memadai dengan
membangun jejaring kemitraan dengan berbagai lembaga donor dan dunia usaha. Tanpa
itu pergerakan forum akan sangat terbatas, karena hanya mengandalkan iuran
anggota dan tergantung pada kebaikan pihak lain.
Syukur-syukur jika forum
bisa terlibat kerjasama dengan pihak lain untuk melaksanakan program
pemberdayaan masyarakat dengan menyelenggarakan kegiatan ekonomi produktif
sesuai potensi dan kearifan lokal, dengan tetap berbasis pada upaya PRB dan PB.
Pertanyaannya kemudian,
apakah forum yang sudah dibentuk dan didampingi oleh fasilitator desa (fasdes)
itu terjamin kelestariannya, atau nasibnya akan seperti program pemerintah
lainnya yang selalu saja bubar jalan pasca berakhirnya program?.
Sementara mantan
fasdes, yang nota bene kebanyakan bukan warga desa setempat, akan segera pulang
karena kontraknya sudah habis untuk kemudian mencari kontrakan baru. Kira-kira
apakah desa tangguh atau pun kampung tangguh akan tetap tangguh tanpa fasdes?. Ataukah
para fasdes sudah menyiapkan kader setempat untuk melanjutkannya secara
mandiri?. Mungkin inilah yang perlu dikaji oleh forum untuk memberikan masukan
dan rekomendasi kepada pembuat program desa maupun kampung tangguh.
Disinilah peran BPBD
sangat penting untuk menindak lanjuti aksi-aksi yang telah ditorehkan oleh
fasdes selama program berjalan. Karena senyatanyalah, aksi kemanusiaan bidang
PRB dan PB belum banyak dibantu oleh BPBD dengan fasilitas dan anggaran
operasional, termasuk pembinaan teknis untuk memperkuat aksi. Ini semua terjadi
karena kegiatan ini belum masuk ke dalam APBD setempat.
Untuk itulah, perlunya
penguatan kapasitas forum PRB melalui berbagai pertemuan demi terjadinya
peningkatan kohesitas dan sinergitas antar anggota forum, sehingga mampu
berkontribusi dalam kegiatan PRB maupun PB, sekaligus menjadi mitra BPBD dalam
melaksanakan programnya, baik itu masalah teknis maupun kajian akademis yang
dapat dijadikan bahan penyusunan kebijakan.
Obrolan santai saat rehat
kopi sambil menikmati kudapan khas Hotel ELMI Surabaya itupun terpaksa harus berakhir
ketika Arna, salah seorang panitia mengingatkan bahwa waktu rehat kopi sudah
selesai dan dilanjutkan dengan diskusi analisa swot, agar nanti dalam
melaksanakan programnya tidak berjalan alot, yang bisa bikin anggota sewot.
*[eBas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar