Senin, 07 Desember 2015

REHAT KOPI FORUM PRB

Saat acara rehat kopi, seorang teman bilang bahwa Forum Pengurangan Risiko Bencana (Forum PRB) harus mengedepankan komitmen dalam gerakannya, dengan mengaktifkan komunikasi yang efektif dalam rangka mempromosikan keberadaannya sebagai organisasi baru yang berfokus pada upaya pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (PRBBK), berdasarkan pada konsep transparansi untuk menghindari ‘rasan-rasan di belakang’ yang bisa memecah persatuan dan kesatuan forum.

Artinya, apapun yang menyangkut pengelolaan forum harus diinformasikan kepada anggota, sehingga dari situ akan muncul masukan cerdas dari anggota yang berlatar belakang keilmuan dan pengalaman yang beragam, dan munculnya alternatif solusi serta gagasan baru yang mendukung, bahkan memperkuat gerakan.

Sambil nyeruput kopi encer, si teman tadi juga bilang bahwa ada baiknya forum mengadopsi kata sakti milik muhammadiyah yang kurang lebih berbunyi, “Janganlah kau hidup di muhammadiyah, namun hidupilah muhammadiyah”. Artinya, forum benar-benar menjadi ladang pengabdian untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya budaya tangguh bencana, khususnya bagi mereka yang hidup di kawasan risiko bencana. Hal ini sejalan dengan pikiran Kang ET, bahwa sejatinya forum itu bukan tempat kerja mencari uang, tetapi lebih sebagai tempat beraktivitas dalam kerja-kerja kemanusiaan, dalam hal ini upaya pengurangan risiko bencana (PRB) dan penanggulangan bencana (PB).

Namun idealnya, organisasi juga mempunyai sumber dana pendukung operasional yang memadai dengan membangun jejaring kemitraan dengan berbagai lembaga donor dan dunia usaha. Tanpa itu pergerakan forum akan sangat terbatas, karena hanya mengandalkan iuran anggota dan tergantung pada kebaikan pihak lain.

Syukur-syukur jika forum bisa terlibat kerjasama dengan pihak lain untuk melaksanakan program pemberdayaan masyarakat dengan menyelenggarakan kegiatan ekonomi produktif sesuai potensi dan kearifan lokal, dengan tetap berbasis pada upaya PRB dan PB.

Pertanyaannya kemudian, apakah forum yang sudah dibentuk dan didampingi oleh fasilitator desa (fasdes) itu terjamin kelestariannya, atau nasibnya akan seperti program pemerintah lainnya yang selalu saja bubar jalan pasca berakhirnya program?.

Sementara mantan fasdes, yang nota bene kebanyakan bukan warga desa setempat, akan segera pulang karena kontraknya sudah habis untuk kemudian mencari kontrakan baru. Kira-kira apakah desa tangguh atau pun kampung tangguh akan tetap tangguh tanpa fasdes?. Ataukah para fasdes sudah menyiapkan kader setempat untuk melanjutkannya secara mandiri?. Mungkin inilah yang perlu dikaji oleh forum untuk memberikan masukan dan rekomendasi kepada pembuat program desa maupun kampung tangguh.

Disinilah peran BPBD sangat penting untuk menindak lanjuti aksi-aksi yang telah ditorehkan oleh fasdes selama program berjalan. Karena senyatanyalah, aksi kemanusiaan bidang PRB dan PB belum banyak dibantu oleh BPBD dengan fasilitas dan anggaran operasional, termasuk pembinaan teknis untuk memperkuat aksi. Ini semua terjadi karena kegiatan ini belum masuk ke dalam APBD setempat.

Untuk itulah, perlunya penguatan kapasitas forum PRB melalui berbagai pertemuan demi terjadinya peningkatan kohesitas dan sinergitas antar anggota forum, sehingga mampu berkontribusi dalam kegiatan PRB maupun PB, sekaligus menjadi mitra BPBD dalam melaksanakan programnya, baik itu masalah teknis maupun kajian akademis yang dapat dijadikan bahan penyusunan kebijakan.


Obrolan santai saat rehat kopi sambil menikmati kudapan khas Hotel ELMI Surabaya itupun terpaksa harus berakhir ketika Arna, salah seorang panitia mengingatkan bahwa waktu rehat kopi sudah selesai dan dilanjutkan dengan diskusi analisa swot, agar nanti dalam melaksanakan programnya tidak berjalan alot, yang bisa bikin anggota sewot. *[eBas]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar