Umumnya, sampah itu berupa tas kresek, plastik bungkus roti,
bungkus mie instan, tisu, botol minuman, bungkus dan puntung rokok. Tidak jarang
ponco, sepatu, sandal dan pakaian yang rusak juga dibuang, daripada ‘ngabot-ngaboti bawaan’, begitu pikirnya.
Bahkan yang memprihatinkan, dalam
postingannya Ochars Journey, yang mengikuti kegiatan Srikandi Bijak Sampah 2019 oleh Trashbag
Community DPD Jawa Timur, tanggal 21 Aprl 2019, menemukan kondom bekas di
daerah Putuk Lesung, Gunung Arjuno.
Ya, fenomena penemuan kondom
bekas pakai di lokasi wisata hutan dan gunung tampaknya semakin banyak (dan
mungkin dianggap wajar). Sementara kondom yang di Putuk itu kebetulan ditemukan
yang kemudian diposting di media sosial. Ya, kondom identik dengan
persetubuhan. Walau pun mungkin kondom digunakan untuk membungkus HP, dompet
dan lainnya, namun ‘pikiran ngeres’ pasti tetap muncul, karena kondom itu dicipta
untuk ‘bermain cinta’, tidak untuk
yang lain.
Sungguh keterlaluan. Apakah ini
salah satu bentuk kerusakan moral ?. memanfaatkan aktivitas wisata ke gunung
dan hutan (mungkin juga di pantai) untuk berbuat tidak senonoh. Dengan meninggalkan
kondom bekas pakai yang dibuang begitu saja, seolah-olah pelakunya ingin
meninggalkan pesan bahwa dia adalah pemberani.
mungkin si oknum ingin menunjukkan bahwa
dia berani melanggar mitos bahwa gunung (dan hutan) itu angker. Anggapan bahwa
berbuat yang tidak santun di gunung akan mendapat celaka, oleh si oknum
dipatahkan dengan melakukan persetubuhan. Tentunya si oknum melakukannya dengan
suka sama suka, atas nama cinta. Atau si pelakunya itu benar-benar goblok dan
teledor membuka aibnya sendiri dengan membuang kondom sembarangan. Duh, sungguh
memprihatinkan.
Kelakuan oknum yang tidak patut
ditiru ini sedikit banyak akan menyebabkan munculnya anggapan dari khalayak
ramai bahwa aktivitas alam bebas identik dengan kebebasan yang melintasi batas
moralitas. Pepatah mengatakan, akibat nila setitik, rusak susu sebelanga.
Padahal, sesungguhnyalah para aktivis
pecinta alam, pemerhati lingkungan, komunitas peduli sampah dan relawan itu
jasanya tidak ternilai. Mereka, atas nama kemanusiaan, menolong sesamanya
dengan suka rela. Tanpa dibayar, mereka menginfaqkan tenaganya, waktunya,
bahkan hartanya melakukan gerakan penghijauan, mangrovisasi, membersihkan
sampah di sungai, di pantai, di hutan dan di gunung. Ya, merekalah pahlawan lingkungan,
pahlawan kemanusiaan, yang seringkali karyanya dilupakan.
Tidak henti-hentinya mereka
mengedukasi masyarakat dengan melakukan aksi bersih-bersih (di kawasan wisata)
sebagai upaya menumbuhkan rasa memiliki sekaligus mencintai lingkungan dengan
tidak membuang sampah sembarangan. Seperti postingannya Ochars Journey yang
mengatakan, “Jangan hanya menikmati keindahan alam saja, tapi juga cintai alam
dengan tidak buang sampah sembarangan. Ingat, Gunung Bukan Tempat Sampah”.
[eBas/kamis legi-26/4]
sampah plastik itu sulit 'diurai' oleh alam, butuh waktu tahunan. utk itu salah satu cara cepat memusnahkan plastik, karet, stereofoam itu dengan cara dibakar. walau berdampak pada munculnya polusi yg pekat dan berpengaruh pada keseharan.
BalasHapusjika terpaksa dibakar haruslah dibakar sampai tuntas tas tidak tersisa sampai tinggal abunya.