Senin, 21 Oktober 2019

SAPALIBATISME DALAM PENANGGULANGAN BENCANA


          Dalam UU 24 tahun 2007, mengatakan bahwa masyarakat diharapkan terlibat dalam penanggulangan bencana. Ya, semua pihak dapat berkontribusi  dalam kegiatan penanggulangan bencana. Termasuk juga dalam upaya pengurangan risiko bencana. Untuk itulah pemerintah yang membidangi kebencanaan hendaknya ‘berkenan’ menerapkan konsep sapalibatisme. Yaitu menyapa dan melibatkan mereka yang memiliki kepedulian dalam kegiatan kebencanaan dan bahkan sering kali tampil lebih dulu di lokasi sebelum lainnya ‘move on’.

Begitulah adanya. Setiap kali terjadi tanggap darurat, banyak relawan ‘yang berdaya’ selalu berlomba tampil pertama membantu mengevakuasi warga, membuka dapur umum, membersihkan jalan untuk memudahkan mobilisasi kendaraan bantuan, menyiapkan tempat pengungsian, bahkan mengumpulkan donasi/bantuan dari masyarakat. Ya, mereka mengambil peran sendiri, sementara yang lain juga berperan di sisi lainnya sesuai kemampuan.

Hal ini terjadi karena, sesungguhnyalah dibanyak kasus,  masih sering dijumpai belum memadainya kinerja penanggulangan bencana, hal tersebut terkait dengan keterbatasan kapasitas sumber daya manusia dalam pelaksanaan tanggap darurat. Belum lagi akibat kepanikan yang berlebih menyebabkan kelambatan penanganan korban bencana.  

Disisi lain, sampai saat ini nyatanya kesadaran masyarakat terhadap pengurangan risiko bencana masih rendah. Termasuk masih rendahnya pemahaman masyarakat terhadap kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana, meliputi rendahnya kesadaran terhadap upaya pengurangan risiko bencana serta kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Hal ini mungkin karena kurang gencarnya upaya sosialisasi pengurangan risiko bencana (PRB) seperti yang dituangkan dalam konsep PRBBK/PRBBM.

Pertanyaannya kemudian, dalam konsep sapalibatisme itu siapa yang menyapa dan melibatkan mereka?. Termasuk dalam bentuk apa sapaan dan pelibatannya. Tampaknya, untuk menjawabnya tidaklah semudah membalikkan tangan. Diperlukan dialog panjang untuk membangun kesepahaman. Harus ada acara duduk bareng antara birokrat, akademisi, dunia usaha, masyarakat, dan media massa untuk memahami dan melaksanakan konsep sapalibatisme, sekaligus membongkar ego sektoral dari masing-masing unsur pentahelix.

Harapannya, jika dalam acara duduk bersama itu bisa mengambil kesepahaman, pastilah hasilnya akan semakin tampak dan terkoordinasi. Misalnya perlu dirancang kegiatan sosialisasi PRB yang terjadwal dengan melibatkan berbagai unsur. Sehingga, dari situ bisaa mendorong pelaksanaan perencanaan pembangunan yang memasukkan upaya PRB dalam proses manajemen pembanganan daerah.

Gelaran diskusi yang melibatkan beragam komponen ini juga termasuk upaya menjalankan konsep sapalibatisme dalam upaya pengurangan risiko bencana  dan percepatan  penanggulangan bencana. melalui KKN tematik, pihak kampus yang dimotori akademisi mencoba memotivasi kaum emak-emak untuk berdaya dalam upaya pengurangan risiko bencana melalui program Dhasa Wisma Tangguh Bencana.

Tidak ada salahnya jika relawan sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki jiwa sosial berlebih dan terlatih dalam tugas-tugas kemanusiaan, juga memulai untuk menggelar diskusi-diskusi agar bisa terlibat dalam kegiatan pra bencana maupun pasca bencana. ya, jalan panjang yang berliku tampaknya masih menghadang untuk mengembangkan konsep sabalibatisme. [eBas/Selasa Kliwon-22/10]










Tidak ada komentar:

Posting Komentar