Begitulah
adanya. Setiap kali terjadi tanggap darurat, banyak relawan ‘yang berdaya’ selalu berlomba tampil
pertama membantu mengevakuasi warga, membuka dapur umum, membersihkan jalan
untuk memudahkan mobilisasi kendaraan bantuan, menyiapkan tempat pengungsian,
bahkan mengumpulkan donasi/bantuan dari masyarakat. Ya, mereka mengambil peran
sendiri, sementara yang lain juga berperan di sisi lainnya sesuai kemampuan.
Hal ini
terjadi karena, sesungguhnyalah dibanyak kasus, masih sering dijumpai belum memadainya kinerja
penanggulangan bencana, hal tersebut terkait dengan keterbatasan kapasitas sumber
daya manusia dalam pelaksanaan tanggap darurat. Belum lagi akibat kepanikan
yang berlebih menyebabkan kelambatan penanganan korban bencana.
Disisi lain,
sampai saat ini nyatanya kesadaran masyarakat terhadap pengurangan risiko
bencana masih rendah. Termasuk masih rendahnya pemahaman masyarakat terhadap
kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana, meliputi rendahnya kesadaran terhadap
upaya pengurangan risiko bencana serta kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Hal
ini mungkin karena kurang gencarnya upaya sosialisasi pengurangan risiko
bencana (PRB) seperti yang dituangkan dalam konsep PRBBK/PRBBM.
Pertanyaannya
kemudian, dalam konsep sapalibatisme itu siapa yang menyapa dan melibatkan
mereka?. Termasuk dalam bentuk apa sapaan dan pelibatannya. Tampaknya, untuk
menjawabnya tidaklah semudah membalikkan tangan. Diperlukan dialog panjang
untuk membangun kesepahaman. Harus ada acara duduk bareng antara birokrat,
akademisi, dunia usaha, masyarakat, dan media massa untuk memahami dan
melaksanakan konsep sapalibatisme, sekaligus membongkar ego sektoral dari
masing-masing unsur pentahelix.
Harapannya,
jika dalam acara duduk bersama itu bisa mengambil kesepahaman, pastilah
hasilnya akan semakin tampak dan terkoordinasi. Misalnya perlu dirancang
kegiatan sosialisasi PRB yang terjadwal dengan melibatkan berbagai unsur. Sehingga,
dari situ bisaa mendorong pelaksanaan perencanaan pembangunan yang memasukkan
upaya PRB dalam proses manajemen pembanganan daerah.
Gelaran diskusi
yang melibatkan beragam komponen ini juga termasuk upaya menjalankan konsep
sapalibatisme dalam upaya pengurangan risiko bencana dan percepatan penanggulangan bencana. melalui KKN tematik, pihak
kampus yang dimotori akademisi mencoba memotivasi kaum emak-emak untuk berdaya
dalam upaya pengurangan risiko bencana melalui program Dhasa Wisma Tangguh
Bencana.
Tidak ada
salahnya jika relawan sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki jiwa sosial berlebih
dan terlatih dalam tugas-tugas kemanusiaan, juga memulai untuk menggelar
diskusi-diskusi agar bisa terlibat dalam kegiatan pra bencana maupun pasca
bencana. ya, jalan panjang yang berliku tampaknya masih menghadang untuk mengembangkan
konsep sabalibatisme. [eBas/Selasa Kliwon-22/10]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar