Sabtu, 01 Februari 2020

RELAWAN DAN CANGKRUKAN (SEBUAH OBROLAN IMAJINER)


Setiap relawan berkumpul dengan komunitasnya atau lintas komunitas. Pasti akan ada diskusi seru tentang apa saja tanpa ada moderatornya. Ya, diskusi disini lebih tepatnya adalah ngobrol bareng sembil ngopi. Sementara, diskusi adalah bahasa kerennya saja, biar relawan itu dianggap keren.

Begitulah, sambil nyakot rondo royal, sebutan untuk tape goreng, Mukidi, Seorang peserta cangkruk’an mengatakan bahwa saat ini paradigma penanggulangan bencana telah berubah. Dari responsif menjadi preventif atau pengurangan risiko bencana. Maka dari itu relawan harus selalu terlibat dari mulai fase pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana. Jadi relawan tidak boleh hanya ikut menangani satu fase saja dalam penanggulangan bencana.

“disamping itu dalam melakukan pertolongan kepada korban harus didasari rasa ikhlas dan tanpa pamrih. Jadi, kalau ada relawan yang bekerjanya berdasar pamrih tertentu dan menerima upah itu sudah bukan relawan.” Katanya bersemangat membuka diskusi malam. Sementaraa peserta cangkruk’an yang lain kurang memperhatikan karena sibuk melihat berita TV tentang wabah corona yang sudah masuk Kota Semarang.

“Kalau bukan relawan, terus disebut apa dong, kan sama-sama menolongnya?,” Kata Kaspo sedikit bingung.

“Coba Cak Muk, sampiyan buka Perka BNPB nomor 17 tahun 2011. Disana jelas disebutkan apa itu relawan penanggulangan bencana, termasuk hak dan kewajibannya. Juga peran-peran yang bisa dikerjakan relawan dalam setiap fasenya. Mungkin kita beda mentafsirkan saja Cak Muk, Benar relawan itu harus ikhlas dan tanpa pamrih. Tapi sampiyan harus tahu juga bahwa relawan itu juga makhluk sosial yang harus memenuhi kewajibannya, baik kepada keluarganya, maupun kepada masyarakatnya” Kata Kang Dalbo mencoba 'memblokir' pernyataan Mukidi.

Artinya, masih kata Dalbo, sampiyan harus tahu kapan berkegiatan sebagai relawan, dan kapan rehat sejenak untuk ngurusi hidup dan kehidupan pribadinya. Jangan sampai terlena dalam kegiatan kerelawanan saja, namun harus ingat juga akan masa depan dan usia yang semakin menua.

Sambil nyruput kopi, Kang Dalbo juga menjelaskan kepada Kaspo, bahwa yang namanya relawan itu adalah mereka yang mempunyai kepekaan sosial yang tinggi dan mau berbuat sesuatu untuk menolong sesamanya. Masalah dibayar, menerima upah dan gratisan itu tidak usah dibicarakan disini. Pasti tidak akan ketemu. Jadi biarkan saja. rasakan dengan nuranimu, apakah kamu sudah layak disebut relawan atau belum.

Sementara Kaspo, sambil nyruput Es Josua, mencontohkan konsep pentahelix yang sampai sekarang masih sebatas pada diskusi dan rapat-rapat terbatas untuk  mematangkan konsep serta meningkatkan pertukaran informasi terkait dengan masalah bencana. sementara keterlibatan masyarakat (relawan) dalam konsep pentahelix itu belum tampak mesra.  

Dalam benaknya Kaspo, Pentahelix itu upaya kerja sama untuk mewujudkan sinergi dan kolaborasi antara pemerintah regulator), akedemisi (konseptor inovator), dunia usaha (pendorong), media massa (komunikator) dan masyarakat (akselerator), dalam rangka  mengakselerasi upaya sosialisasi pengurangan risiko bencana. Dari kegiatan itu diharapkan tumbuh kesadaran masyarakat akan kesiapsiagaan menghadapi bencana.

“Oalah Cak Kaspo iki ngomong apa to kok kemelipen banget. Kuwi dudu urusane relawan. wis ono bagiane dewe-dewe. Sudahlah, begini saja, relawan itu bekerjanya berbasis kemauan dan kemampuan. Sementara pentahelix itu bukan urusan relawan. pasti suatu saat relawan akan dikasih tau apa itu tugas dan fungsi pentahelix serta akan diajak ikutan rapat dan diskusi dengan mereka. Percayalah.” Kata Kang Dalbo sambil terkekeh mendengar penjelasan Kaspo tentang pentahelix.

“Kok diketawain to, emangnya saya salah membuat diskripsi tentang keterlibatan relawan yang belum terasakan dalam konsep pentahelix.” Kata Kaspo dengan wajah melas.

“Benar salahnya saya tidak tahu, wong aku iki mung relawan amatiran yang ikut arus saja, bukan relawan professional yang paham tentang siklus penanggulangan bencana, seperti siaga darurat, tanggap darurat, bantuan darurat, masa transisi, pemulihan, rehab rekon, pencegahan, mitigasi, peringatan dini, dan kesiapsiagaan. Karena, senyatanyalah sampai saat ini menurut ceritanya, antara teori dan praktek di lapangan masih sangat jauh berbeda, bahkan sering tumpang tindih sesuai pemahaman dan kepentingan.” Kata Kang Dalbo sambil memesan mie goreng dobel.

"Rasanya, apa yang dikatakan Kang Dalbo ada benarnya. Relawan itu lebih sering sibuk saat tanggap darurat. sementara untuk kegiatan penyusunan renkon, nyusun RPB, Jitupasna, dan yang berhubungan dengan penyusunan konsep penanggulangan bencana, kurang terlibat (dilibatkan), Mungkin dianggap bukan maqomnya." Kata Mukidi sok paham.

Tanpa kesimpulan, obrolan pun berlanjut ke rencana berangkat berjamaah ke Sentul International Convention Center, Bogor naik bus eksekutif, hari senin (3/2). Ya, relawan yang tergabung dalam SRPB JATIM kiranya patut berterimakasih kepada Kalaksa BPBD Provinsi Jawa Timur yang berkenan memfasilitasi 100 relawan dari perwakilan organisasi yang terdaftar di dalam direktori yang disusun Ning Ocha dan kawan-kawan, untuk ikut meramaikan kegiatan rakornas BNPB yang mengambil tagar “Penanggulangan Bencana Urusan Bersama”.

“Jangan lupa membawa baju seragam, sepatu, payung, jaket, obat pribadi, klethikan, uang saku yang banyak untuk beli souvenir khas rakornas BNPB, charger HP, thumbler, dan lainnya sesuai peruntukannya,” Kata Mukidi diakhir cangkruk’an. Kali ini Mukidi yang kebagian 'ngebosi' teman-temannya.

Begitulah obrolan tanpa kesimpulan selalu mewarnai Cangkruk’an relawan yang durasi waktunya tidak ditentukan. Lamat-lamat suara koko ayam bersahutan, tanda waktu solat subuh kan menjelang. Asholatu khoirum minan naum. [eb/minggu pon-02022020]
   



1 komentar:


  1. menang berapapun di bayar
    ayo segera bergabung bersama kami di bandar365*com
    WA : +85587781483

    BalasHapus