Minggu, 31 Januari 2021

SANTRI PESANTREN TANGGUH BENCANA

     “Sesuai Dawuhnya Kyai dan Istigharohnya Sekjen FPRB Jawa Timur,  Mbah Dharmo Jangkar Kelud, maka muncullah istilah ‘SANGGUB’, santri pesantren tangguh bencana,” Kata Gus Yoyok, Aktivis Penggerak NU Peduli Jawa Timur. Hasil istigharoh itu bermakna sebagai komitmen yang kuat dari relawan (dalam hal ini santri pondok pesantren), yang penuh dedikasi dan loyalitas, serta siap sedia bergerak dengan penuh tanggung jawab.

     Selama ini kita kenal program membangun ketangguhan msyarakat melalui DESTANA, yang setiap tahunnya rutin di lombakan dan terus bertambah jumlahnya di setiap Kabupaten/Kota, dalam rangka membangun budaya tangguh bencana. Yaitu memiliki kesiapsiagaan menghadapi bencana, yang mungkin terjadi di daerahnya.

     Sementara, SANGGUB ini lebih difokuskan pada komunitas Pondok Pesantren (ponpes), yang di dalamnya ada pengelola, pendidik dan santri pesantren. Mereka ini juga perlu di beri pemahaman tentang konsep pengurangan risiko bencana (PRB) yang bisa dilakukan di dalam pondok pesantren dan lingkungan sekitarnya secara mandiri.

     Menurut United Nations-International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR), seperti yang disitir oleh Ariantoni dalam modul ‘Pengintegrasian PRB dalam sisten pendidikan’ (2009), dikatakan bahwa PRB merupakan usaha sadar dan terencana dalam proses pembelajaran untuk memberdayakan peserta didik dalam upaya untuk pengurangan resiko bencana dan membangun budaya aman serta tangguh terhadap bencana.

     PRB direalisasikan dengan mengembangkan motivasi, keterampilan, dan pengetahuan agar dapat bertindak dan mengambil bagian dari upaya pengurangan resiko bencana. Mengingat di semua Ponpes pasti ada potensi ancaman bencana. Dengan demikian, santri dapat berperan aktif dalam usaha mengurangi dan menanggulangi bencana terutama bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat di lingkungan sekitar pondok pesantren.

     Kelahiran SANGGUB ini sama dengan goalnya destana, membangun kemandirian komunitas (dalam hal ini pesantren). Yaitu Mandiri dalam adaptasi, ketika kondisi ancaman belum datang/aman. Kemampuan merespons, ketika kondisi darurat, dan pemulihan (rehab rekon), ketika pasca bencana. Semua dilakukan secara mandiri, sebelum bantuan dari pihak lain datang.

     Tinggal bagaimana konsep SANGGUB hasil istigharohnya mBah Dharmo ini diterima oleh seluruh pondok pesantren di Jawa Timur, dalam rangka upaya pengirangan risiko bencana berbasis komunitas. Sekaligus menerapkan konsep satuan pendidikan aman bencana (SPAB), yaitu satuan pendidikan yang menerapkan standar sarana dan prasarana yang aman dan memiliki budaya keselamatan yang mampu melindungi warganya dari bahaya bencana.

Tentu ini tugas berat bagi para penggagas istilah SANGGUB, untuk segera membranding agar keberadaan SANGGUB segera dikenali dan dirasakan kehadirannya dalam kerja-kerja kemanusiaan dibidang penanggulangan bencana oleh khalayak ramai.

Paling tidak, upaya membranding SANGGUB itu harus memperhatikan sesuatu yang menjadi ciri khasnya (sebagai pembeda dengan lainnya). Misalnya, visi dan misinya, seragamnya, dan logonya. Semua harus dipersiapkan.

Moment pelatihan yang dipandegani oleh Gus Yoyok di beberapa daerah ini, diharapkan menjadi titik awal mensosialisasikan komunitas Santri Pesantren Tangguh Bencana (SANGGUB) di lingkungan Pondok Pesantren.

Jika memungkinkan, tidak ada salahnya mBah Dharmo menggandeng BPBD menggelar sarasehan relawan yang diikuti oleh seluruh komunitas relawan di Jawa Timur, untuk menyusun agenda bersama sekaligus memperkenalkan diri akan kehadiran SANGGUB.

Sungguh, konsep SANGGUB ini merupakan gagasan kreatif dan inovatif ditengah upaya terbentuknya FPRB di tingkat Kabupaten/Kota di seluruh wilayah Jawa Timur. Tinggal bagaimana merangkul media massa (termasuk media sosial) untuk menyebarkan kehadiran SANGGUB secara besar-besaran.

     “Berbahagialah orang-orang yang tersesat dalam kebaikan dan jangan takut terjerumus dalam kebaikan,” Kata penyandang gelar Master Manajemen Bencana dari UPN “VETERAN” Jokja, memotovasi anggotanya untuk bersama-sama menjalankan program yang dikemas dalam konsep, “dari kita, oleh kita dan untuk masyarakat”. Tetap bersemangat menggalang sinergi dalam menebar virus kebaikan di bidang kebencanaan.

Masih kata mBah Dharmo, bahwa kerja-kerja kemanusiaan di bidang kebencanaan itu harus saling menguatkan, tidak boleh saling melemahkan. Makanya, yang namanya koordinasi, komunikasi, kerjasama dan sinergi, menjadi penting dilakukan. Karena ini bukan kompetisi, yang semangatnya adalah menang atau kalah.

Dengan demikian, seluruh elemen pentahelix haruslah saling menyapa, mengajak, dan melibatkan dalam kerja-kerja kemanusiaan. Serta menghindari jalan sendiri-sendiri, saling meninggalkan dan menang-menangan sebagai ciri dari sikap ego sektoral.

Terkait dengan kerja-kerja kemanusiaan, pria dari Kasembon ini menganalogikan dengan upaya pembangunan jalan raya saat proses pengerasan. Saat batu-batu disusun, ditata, diratakan dijalan sebelum dilakukan pengerasan, batu-batu itu terlihat kokoh, kuat, tertata rapi. Tapi, sejatinya itu membahayakan bagi pengguna jalan (masyarakat).

 Namun ketika alat berat melindas batu-batu tersebut agar rata dan  kuat menancap, saat itulah terjadi proses menempatkan posisinya, saling berdesakan, bahkan ada pula yg mencelat, karena tidak bisa menempatkan posisinya. Namun ketika semua batu sudah pada posisinya dan bergandengan erat, batu-batu tersebut sulit untuk dilepaskan, karena saling menguatkan satu dengan lainnya. Pada akhirnya, menjadi tatanan batu, yang rata, kuat dan lebih bermanfaat untuk pengguna jalan (masyarakat).

“Selamat merenungkan peran dan fungsi kita masing-masing. Proses penyesuaian diri dalam organisasi bisa dimulai dengan benthik’an sesama teman, dan saling gesekan untuk  mencari bentuk ideal sebuah sinegi yang saling menguatkan, untuk mewujudkan kebersamaan,” Pesannya yang menginspiratif. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/MingguPahing-31012021]

 

 

 

 

 

 

2 komentar:

  1. dulu pernah ada istilah SAPALIBATISME, yaitu upaya menyapa dan melibatkan seluruh elemen yang ada untuk menyelesaikan tugas2 penanggulangan bencana secara bersama sesuai dengan kapasitas, peran dan tugas pokoknya.
    disini semua terlibat sesuai tusinya tanpa ada yang diuntungkan, dirugikan dan ditinggalkan. semuanya berjalan secara transparan dan bertanggungjawab terhadap tugas yang telah disepakati dan tertuang di dalam sebuah dokumen.

    BalasHapus