Sungguh,
betapa bangganya Bang Endik (Koordinator Bidang PKM) saat tahu idenya tentang
SDSB benar-benar menjadi role model dari pengurus FPRB JATIM periode 2020–2023.
Bayangkan, langkah pertama muhibah ke Pulau Garam, langsung terbentuk
kepengurusan FPRB Kabupaten Sampang dan Kabupaten Pamekasan. Hal ini sesuai
dengan UU nomor 24 tahun 2007 dan PP nomor 21 tahun 2008.
Semua kegiatan sambang dulur dilakukan dengan biaya sendiri, dan donasi dari
pribadi-pribadi yang peduli. Ini karena belum ada subsidi untuk operasionalisasi
organisasi. Namanya juga program mandiri yang belum dikoordinasikan dengan
berbagai instansi. Mungkin suatu saat nanti ketika FPRB sudah berprestasi, baru
akan mengalir donasi.
Namun
semua itu bukan penghalang bagi relawan. Acaranya tetap meriah. Bahkan ada acara pembagian
masker kepada pengguna jalan, penghijauan di beberapa tempat dengan beberapa jenis tanaman produktif, dan penyerahan
bantuan sembako bagi keluarga tidak mampu. Inilah arti sebuah kebersamaan bagi semua yang terlibat (istilahnya mBah Dharmo, kabeh rumongso
di-uwong-ke). tentu dengan tetap mentaati protokol kesehatan.
Semua juga
ikut aktif menikmati dialog kebencanaan serta materi tentang pentingnya FPRB. Dalam
materi rakor di Hotel Mercure, beberapa waktu yang lalu dikatakan bahwa FPRB
memiliki visi untuk memastikan pembangunan daerah berbasis pengurangan risiko
bencana. Memastikan kebijakan yang diambil dapat mengurangi risiko bencana saat
ini, tidak menambah risiko bencana baru, dan meningkatkan kualitas hidup
masyarakat.
Selain
itu, juga memastikan kelembagaan penanggulangan bencana dapat bersinergi dengan
baik, antara BPBD dengan OPD, antara pemerintah daerah dengan masyarakat, dan
lembaga usaha. Biasa disebut pentahelix.
Semoga
hal ini menjadi awal yang bisa menginspirasi daerah lain untuk menggelar SDSB,
yang dilanjutkan dengan membentuk FPRB dengan melibatkan semua unsur
pentahelix. Sukur-sukur kegiatannya dihadiri oleh staf BPBD setempat, seperti
di Sampang dan Pamekasan. Hal ini mengingat bahwa FPRB merupakan mitra BPBD
untuk mengurangi dampak bencana.
Dari
kegiatan SDSB yang digelar dengan penuh rasa akrab bersahabat ini, secara
aklamasi pesertanya memilih Moch. Hasan Jailani
(Gus Mamak) Sebagai (Sekjen) Ketua FPRB Kab. Sampang, dan Budi Cahyono
sebagai (Sekjen) Ketua FPRB Kabupaten Pamekasan. Ke dua tokoh ini dipercaya
bisa merangkul semua elemen pentahelix dalam membangun gerakan bersama
pengurangan risiko bencana di daerahnya masing-masing.
Semua
berharap, semoga sukses selalu dan di berikan kekuatan, kesehatan dan
kelancaran menjalankan tugas dengan penuh amanah. Sementara mBah Dharmo, sangat
mengapresiasi kepada para relawan di Sampang dan Pamekasan yang cepat merespon
mandat untuk segera membentuk FPRB di daerahnya. Apalagi pemerintahnya juga
mendukung.
“Semua
pihak pasti memiliki kelemahan, maka bagaimana kelemahan tersebut disatukan
menjadi kekuatan, karena urusan bencana adalah tanggung jawab seluruh elemen
masyarakat dan pemerintah,” Ujarnya.
Selanjutnya,
silahkan dipilih anggota pengurus dari berbagai elemen yang mumpuni di
bidangnya, dengan memperhatikan azas pemerataan. Untuk kemudian bersama-sama
menyusun rencana program yang diselaraskan dengan programnya BPBD setempat. Hal
ini penting untuk memudahkan koordinasi.
Apa yang
dilakukan oleh mBah Dharmo dan kawan-kawan, menurut istilah orang Bojonegoro,
sangat matoh. Bahkan, Program SDSB pun mendapat apresiasi dari Kabid Pencegahan
dan Kesiapsiagaan, BPBD Provinsi Jawa Timur, Gatot Soebroto, SE,M.PSDM, dengan
harapan tahun ini akan terbentuk FPRB se jatim dengan segala kiprahnya, sesuai
hasil rakor di Hotel Mercure, Surabaya, tanggal 26-27 November 2020.
Sebagai
Sekjen yang bertanggungjawab penuh terhadap maju mundurnya Forum, mBah Dharmo
berharap keberadaan FPRB Kabupaten/Kota mampu membangun sinergitas pentahelik yang
semakin meningkat, ego sektoral mulai ditinggalkan, terwujudnya Gerakan
Pengurangan Risiko Bencana dan Peruban Iklim di jawa timur.
Karena,
sesungguhnyalah pembentukan FPRB adalah perwujudan partisipasi masyarakat dalam
penanggulangan bencana. Dari situlah akan muncul budaya tangguh terhadap bencana.
termasuk tuju objek ketangguhan. Seperti, ketengguhan rumah/hunian,
sekolah/madrasah, puskesmas/RS, pasar, rumah ibadah, kantor, dan prarasana
vital lainnya. namun semua itu tidaklah mudah. Perlu ada gerakan yang massif melalui
edukasi, sosialisasi dan advokasi. Semua itu perlu proses panjang.
Sekali
lagi, gelaran perdana SDSB yang dicetuskan oleh bidang peningkatan kapasitas,
FPRB Jawa Timur, telah menuai hasil yang signifikan. Mungkin, sebelum menggelar
acara serupa selanjutnya, perlu ada evaluasi kegiatan selama dua hari, Sabtu –
Minggu (9 – 10 Januari 2021), di Bumi Arek Lancor.
Sementara
masih ada 36 Kabupaten/Kota yang menjadi target program SDSB. Ini tidak mudah.
Perlu ada sinergi dan kebersamaan semua elemen setempat dalam pelaksanaannya.
Jelas kendala utama adalah pandemi covid-19 yang masih mengancam. Belum lagi
kendala koordinasi dengan aktor lokal dengan nuansa politik yang kental,
tentunya tidak mudah.
Untuk itulah
dalam merencanakan kegiatan SDSB, Teguh PK, dalam postingannya berharap jangan
dipaksakan. Tunggu moment yang tepat. Tidak perlu mengejar matahari, karena,
rembulan pun tak pernah sanggup mendekapnya. Sebuah kalimat sarat makna. Perlu
diresapi sambil ngopi bersama menyok goreng, guna merencanakan program muhibah
SDSB selanjutnya.
Masalahnya
akan lain jika ada fasilitasi dari pemerintah setempat untuk menggelar SDSB di
daerahnya. Artinya kegiatan ini bisa dimasukan dalam anggaran penanggulangan
bencana, seperti yang diharapkan dalam visi forum, yang ingin memastikan adanya
anggaran yang cukup digunakan dalam penanggulangan bencana sesuai dengan risiko
bencana yang ada di daerahnya.[eBas/Senin11012021]
Sampang dan Pamekasan memang istimewa dalam merespon hasil rakor forum di hotel Mercure. sehingga ketika di gelar program SDSB langsung ditindak lanjuti dengan pembentukan dan memilih sekjen FPRB tingkat Kabupaten.
BalasHapuspadahal sejatinya program SDSB itu hanyalah sekedar sambang dulur sinau bareng untuk memperluas wawasan dan mempererat silaturahmu menambah sedulur pegiat kerja2 kemanusiaan, tanpa harus diikuti dengan pembentukan apalagi penentuan pengurus forum.
"Liyo deso mowo coro", mungkin itulah istilah yang tepat bahwa tidak semua daerah seperti Sampang dan Pamekasan. semua punya keunikan sendiri dan kekhasan sendiri sendiri.
jadi pelaksanaan SDSB tidak harus sekalian pembentukan forum. biarkan semua mengalir sesuai irama dimasing-masing daerah.
ngapunten lho, niki omongane tiyang ndleming dewe isuk2 mergo udan deres durung ngopi