Minggu, 10 Januari 2021

PROGRAM PERDANA SDSB DI MADURA

Sungguh, betapa bangganya Bang Endik (Koordinator Bidang PKM) saat tahu idenya tentang SDSB benar-benar menjadi role model dari pengurus FPRB JATIM periode 2020–2023. Bayangkan, langkah pertama muhibah ke Pulau Garam, langsung terbentuk kepengurusan FPRB Kabupaten Sampang dan Kabupaten Pamekasan. Hal ini sesuai dengan UU nomor 24 tahun 2007 dan PP nomor 21 tahun 2008.

Semua kegiatan sambang dulur dilakukan dengan biaya sendiri, dan donasi dari pribadi-pribadi yang peduli. Ini karena belum ada subsidi untuk operasionalisasi organisasi. Namanya juga program mandiri yang belum dikoordinasikan dengan berbagai instansi. Mungkin suatu saat nanti ketika FPRB sudah berprestasi, baru akan mengalir donasi.

Namun semua itu bukan penghalang bagi relawan. Acaranya tetap meriah. Bahkan ada acara pembagian masker kepada pengguna jalan, penghijauan di beberapa tempat dengan beberapa jenis tanaman produktif, dan penyerahan bantuan sembako bagi keluarga tidak mampu. Inilah arti sebuah kebersamaan bagi semua yang terlibat (istilahnya mBah Dharmo, kabeh rumongso di-uwong-ke). tentu dengan tetap mentaati protokol kesehatan.

Semua juga ikut aktif menikmati dialog kebencanaan serta materi tentang pentingnya FPRB. Dalam materi rakor di Hotel Mercure, beberapa waktu yang lalu dikatakan bahwa FPRB memiliki visi untuk memastikan pembangunan daerah berbasis pengurangan risiko bencana. Memastikan kebijakan yang diambil dapat mengurangi risiko bencana saat ini, tidak menambah risiko bencana baru, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Selain itu, juga memastikan kelembagaan penanggulangan bencana dapat bersinergi dengan baik, antara BPBD dengan OPD, antara pemerintah daerah dengan masyarakat, dan lembaga usaha. Biasa disebut pentahelix.

Semoga hal ini menjadi awal yang bisa menginspirasi daerah lain untuk menggelar SDSB, yang dilanjutkan dengan membentuk FPRB dengan melibatkan semua unsur pentahelix. Sukur-sukur kegiatannya dihadiri oleh staf BPBD setempat, seperti di Sampang dan Pamekasan. Hal ini mengingat bahwa FPRB merupakan mitra BPBD untuk mengurangi dampak bencana.

Dari kegiatan SDSB yang digelar dengan penuh rasa akrab bersahabat ini, secara aklamasi pesertanya memilih Moch. Hasan Jailani  (Gus Mamak) Sebagai (Sekjen) Ketua FPRB Kab. Sampang, dan Budi Cahyono sebagai (Sekjen) Ketua FPRB Kabupaten Pamekasan. Ke dua tokoh ini dipercaya bisa merangkul semua elemen pentahelix dalam membangun gerakan bersama pengurangan risiko bencana di daerahnya masing-masing.

Semua berharap, semoga sukses selalu dan di berikan kekuatan, kesehatan dan kelancaran menjalankan tugas dengan penuh amanah. Sementara mBah Dharmo, sangat mengapresiasi kepada para relawan di Sampang dan Pamekasan yang cepat merespon mandat untuk segera membentuk FPRB di daerahnya. Apalagi pemerintahnya juga mendukung.

“Semua pihak pasti memiliki kelemahan, maka bagaimana kelemahan tersebut disatukan menjadi kekuatan, karena urusan bencana adalah tanggung jawab seluruh elemen masyarakat dan pemerintah,” Ujarnya.

Selanjutnya, silahkan dipilih anggota pengurus dari berbagai elemen yang mumpuni di bidangnya, dengan memperhatikan azas pemerataan. Untuk kemudian bersama-sama menyusun rencana program yang diselaraskan dengan programnya BPBD setempat. Hal ini penting untuk memudahkan koordinasi.

Apa yang dilakukan oleh mBah Dharmo dan kawan-kawan, menurut istilah orang Bojonegoro, sangat matoh. Bahkan, Program SDSB pun mendapat apresiasi dari Kabid Pencegahan dan Kesiapsiagaan, BPBD Provinsi Jawa Timur, Gatot Soebroto, SE,M.PSDM, dengan harapan tahun ini akan terbentuk FPRB se jatim dengan segala kiprahnya, sesuai hasil rakor di Hotel Mercure, Surabaya, tanggal 26-27 November 2020.

Sebagai Sekjen yang bertanggungjawab penuh terhadap maju mundurnya Forum, mBah Dharmo berharap keberadaan FPRB Kabupaten/Kota mampu membangun sinergitas pentahelik yang semakin meningkat, ego sektoral mulai ditinggalkan, terwujudnya Gerakan Pengurangan Risiko Bencana dan Peruban Iklim di jawa timur.

Karena, sesungguhnyalah pembentukan FPRB adalah perwujudan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana. Dari situlah akan muncul budaya tangguh terhadap bencana. termasuk tuju objek ketangguhan. Seperti, ketengguhan rumah/hunian, sekolah/madrasah, puskesmas/RS, pasar, rumah ibadah, kantor, dan prarasana vital lainnya. namun semua itu tidaklah mudah. Perlu ada gerakan yang massif melalui edukasi, sosialisasi dan advokasi. Semua itu perlu proses panjang.

Sekali lagi, gelaran perdana SDSB yang dicetuskan oleh bidang peningkatan kapasitas, FPRB Jawa Timur, telah menuai hasil yang signifikan. Mungkin, sebelum menggelar acara serupa selanjutnya, perlu ada evaluasi kegiatan selama dua hari, Sabtu – Minggu (9 – 10 Januari 2021), di Bumi Arek Lancor.

Sementara masih ada 36 Kabupaten/Kota yang menjadi target program SDSB. Ini tidak mudah. Perlu ada sinergi dan kebersamaan semua elemen setempat dalam pelaksanaannya. Jelas kendala utama adalah pandemi covid-19 yang masih mengancam. Belum lagi kendala koordinasi dengan aktor lokal dengan nuansa politik yang kental, tentunya tidak mudah.

Untuk itulah dalam merencanakan kegiatan SDSB, Teguh PK, dalam postingannya berharap jangan dipaksakan. Tunggu moment yang tepat. Tidak perlu mengejar matahari, karena, rembulan pun tak pernah sanggup mendekapnya. Sebuah kalimat sarat makna. Perlu diresapi sambil ngopi bersama menyok goreng, guna merencanakan program muhibah SDSB selanjutnya.

Masalahnya akan lain jika ada fasilitasi dari pemerintah setempat untuk menggelar SDSB di daerahnya. Artinya kegiatan ini bisa dimasukan dalam anggaran penanggulangan bencana, seperti yang diharapkan dalam visi forum, yang ingin memastikan adanya anggaran yang cukup digunakan dalam penanggulangan bencana sesuai dengan risiko bencana yang ada di daerahnya.[eBas/Senin11012021]

 

 

 

 

1 komentar:

  1. Sampang dan Pamekasan memang istimewa dalam merespon hasil rakor forum di hotel Mercure. sehingga ketika di gelar program SDSB langsung ditindak lanjuti dengan pembentukan dan memilih sekjen FPRB tingkat Kabupaten.
    padahal sejatinya program SDSB itu hanyalah sekedar sambang dulur sinau bareng untuk memperluas wawasan dan mempererat silaturahmu menambah sedulur pegiat kerja2 kemanusiaan, tanpa harus diikuti dengan pembentukan apalagi penentuan pengurus forum.
    "Liyo deso mowo coro", mungkin itulah istilah yang tepat bahwa tidak semua daerah seperti Sampang dan Pamekasan. semua punya keunikan sendiri dan kekhasan sendiri sendiri.
    jadi pelaksanaan SDSB tidak harus sekalian pembentukan forum. biarkan semua mengalir sesuai irama dimasing-masing daerah.

    ngapunten lho, niki omongane tiyang ndleming dewe isuk2 mergo udan deres durung ngopi

    BalasHapus