Di
warung kopi langganan relawan ngerumpi, siang itu mereka sedang jagongan
berbagi pengalaman tentang keterlibatannya dalam operasi penanggulangan bencana
banjir bandang di Kota Batu, beberapa waktu yang lalu.
Mulai
dari evakuasi harta, benda bahkan warga dan ternak warga, mereka lakukan dengan
penuh semangat, pendirian dapur umum, distribusi logistik dan membantu
pendataan, juga dilakukan dengan bergotong royong, saling membelajarkan.
“Sungguh,
apa yang telah kalian lakukan itu sepatutnya mendapat apresiasi positif terkait
dengan kompetensi yang dimiliki dan sudah terbukti di lokasi,” Kata Mukidi,
mencoba menyemangati cerita heroik temannya. Sambil nyruput kopi kesukaannya.
Mukidi
teringat pada program sertifikasi relawan yang diselenggarakan oleh lembaga
sertifikasi profesi penanggulangan bencana (LSP-PB) beberapa waktu yang lalu
sebelum pandemic covid-19. Entah bagaimana nasip relawan yang telah lulus dan
mengantongi sertifikat profesi relawan.
Apakah
sertifikatnya diterima di Pegadaian ?. Manfaat apa yang diterima oleh relawan
pemegang sertifikat dari LSP-PB ?. Apakah relawan yang datang ke lokasi bencana
wajib menunjukkan sertifikat kompetensi ?.
Pertanyaan-pertanyaan
konyol itu akan terus bergulir tidak berkesudahan karena memang belum tampak
kiprah nyata yang membedakan antara
relawan pemegang sertifikat saat pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana,
dengan relawan yang tidak memiliki sertifikat kompetensi namun kiprahnya nyata
bermanfaat dan bermartabat.
Mari
tengok istilah sertifikasi kompetensi kerja di bidang penanggulangan bencana. Yaitu,
sebagai pengakuan dan penghargaan dari Negara/Pemerintah (penanggulangan
bencana sebagai sebuah profesi sebagaimana profesi-profesi yang lain).
Sementara,
LSP-PB ikut serta membantu percepatan dalam menciptakan tenaga yang berjaminan
mutu, memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan sikap kerja secara memadai
(memenuhi standar minimal).
LSP-PB
dibentuk dengan Peraturan Kepala BNPB Nomor 7 Tahun 2014, yang bertujuan meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat, mewujudkan sumber daya manusia yang kompeten,
serta memberikan pengakuan dan penghargaan profesi di bidang penanggulangan
bencana.
Pernah
ada yang bilang bahwa relawan pemegang sertifikat kompetensi itu sama dengan
memegang SIM. Sehingga, ketika ada operasi lalu lintas tidak kena tilang. Sementara
relawan pemegang sertifikat belum tahu manfaatnya, dan tidak pernah kena “tilang”. (hehe analogi yang
dipas-paskan).
Mari
tengok peristiwa bencana Banjir bandang di Kota Batu dan erupsi Gunung Semeru. Adakah
dari ratusan relawan yang mendarma baktikan waktu dan tenaganya untuk menolong
sesamanya, sampai berhari-hari, bahkan ada yang sampai sakit karena kecapekan, itu perah ikut diklat bersrifikat ?. Coba
tanya, apakah mereka juga berbekal sertifikat kompetensi yang dikeluarkan
LSP-PB ?. Apakah pernah asesor dari LSP-PB melakukan monitoring kepada relawan
pemegang sertifikat di lokasi bencana ?.
Sungguh,
berbagai komunitas relawan yang berdatangan ke lokasi itu nawaitunya hanya satu,
ingin menolong sesama sesuai kemampuannya. Apa yang mereka bisa lakukan pasti
akan dilakukan, tanpa melihat kompetensi, yang penting semua berjalan sesuai dengan
yang direncanakan bersama.
Artinya,
jika sertifikat kompetensi sebagai sebuah keharusan, maka hanya sedikit relawan
yang boleh ke lokasi. Tentu akan menjadi petaka bagi agen bencana dan TRC
bentukan BPBD yang harus berjibaku sendiri menangani dampak bencana. Jelas mereka akan ambyar tidak bisa menangani, dan kerugiannya jelas bertambah dan tidak tertangani dengan baik.
Eh,
ngomong-ngomong, apakah personil Agen Bencana dan anggota TRC (serta karyawan
BPBD), sudah lulus sertifikasi kompetensi dari LSP-PB ?. Sesungguhnyalah, program
sertifikasi yang gratisan sesuai kuota yang telah ditentukan saja minim
peminat, apalagi harus berbayar. Hanya orang-orang “hebatlah” yang mau merogoh kocek pribadinya, untuk biaya
sertifikasi kompetensi bidang penanggulangan bencana, yang manfaatnya masih
dipertanyakan.
Kaspo,
dari komunitas relawan yang kebetulan sabahatnya Mukidi itu, sering terlibat
dalam berbagai penanganan bencana dimana-mana, mengatakan bahwa, sertifikasi
kompetensi bidang penanggulangan bencana itu tidak sama dengan sertifikasi
profesi lainnya yang dampaknya ternikmati, terkait dengan kesejahteraan.
Sementara
relawan pemegang sertifikat kompetensi masih tetap seperti sedia kala, belum
berdampak pada peningkatan kompetensi. Apalagi pada kesejahteraan, karena tidak
adanya tindak lanjut pasca memperoleh sertifikat kompetensi profesi
sebagai relawan yang bersertifikat. Wallahu
a’lam. [eBas/MingguWage-19122021]
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) membuat nota kesepahaman dengan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) untuk mensertifikasi personil. Tiap personil harus siap diuji kompetensinya dalam keahlian penanganan bencana. Itu idealnya terkait dengan upaya pembinaan relawan yang telah lulus dan berhak memegang sertifikat kompetensi/profesi PB.
BalasHapusIdealnya juga, diklat peningkatan kompetensi relawan harus berbasis standar kompetensi. Dimana, lulusan dari pendidikan dan pelatihan harus siap diuji kompetensinya untuk memastikan link and match antara standar kurikulum, proses diklat dan uji kompetensi keahlian dibidang penanganan bencana.
Namun nyatanya dalam dunia kerelawanan yang bekerja atas nama kemanusiaan, sertifikasi profesi/kompetensi itu kurang penting dan tidak mungkin bisa diterapkan.
Bayangkan jika yang boleh dating ke lokasi bencana hanya relawan yang bersertifikat, maka dipastikan akan semakin banyak korban yang tidak tertolong/tertangani.