Minggu, 19 Desember 2021

PERLUKAH KIPRAH RELAWAN DI SERTIFIKASI ?

Di warung kopi langganan relawan ngerumpi, siang itu mereka sedang jagongan berbagi pengalaman tentang keterlibatannya dalam operasi penanggulangan bencana banjir bandang di Kota Batu, beberapa waktu yang lalu.

Mulai dari evakuasi harta, benda bahkan warga dan ternak warga, mereka lakukan dengan penuh semangat, pendirian dapur umum, distribusi logistik dan membantu pendataan, juga dilakukan dengan bergotong royong, saling membelajarkan.

“Sungguh, apa yang telah kalian lakukan itu sepatutnya mendapat apresiasi positif terkait dengan kompetensi yang dimiliki dan sudah terbukti di lokasi,” Kata Mukidi, mencoba menyemangati cerita heroik temannya. Sambil nyruput kopi kesukaannya.

Mukidi teringat pada program sertifikasi relawan yang diselenggarakan oleh lembaga sertifikasi profesi penanggulangan bencana (LSP-PB) beberapa waktu yang lalu sebelum pandemic covid-19. Entah bagaimana nasip relawan yang telah lulus dan mengantongi sertifikat profesi relawan.

Apakah sertifikatnya diterima di Pegadaian ?. Manfaat apa yang diterima oleh relawan pemegang sertifikat dari LSP-PB ?. Apakah relawan yang datang ke lokasi bencana wajib menunjukkan sertifikat kompetensi ?.

Pertanyaan-pertanyaan konyol itu akan terus bergulir tidak berkesudahan karena memang belum tampak kiprah nyata yang membedakan  antara relawan pemegang sertifikat saat pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana, dengan relawan yang tidak memiliki sertifikat kompetensi namun kiprahnya nyata bermanfaat dan bermartabat.

Mari tengok istilah sertifikasi kompetensi kerja di bidang penanggulangan bencana. Yaitu, sebagai pengakuan dan penghargaan dari Negara/Pemerintah (penanggulangan bencana sebagai sebuah profesi sebagaimana profesi-profesi yang lain).

Sementara, LSP-PB ikut serta membantu percepatan dalam menciptakan tenaga yang berjaminan mutu, memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan sikap kerja secara memadai (memenuhi standar minimal).

LSP-PB dibentuk dengan Peraturan Kepala BNPB Nomor 7 Tahun 2014, yang bertujuan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, mewujudkan sumber daya manusia yang kompeten, serta memberikan pengakuan dan penghargaan profesi di bidang penanggulangan bencana.

Pernah ada yang bilang bahwa relawan pemegang sertifikat kompetensi itu sama dengan memegang SIM. Sehingga, ketika ada operasi lalu lintas tidak kena tilang. Sementara relawan pemegang sertifikat belum tahu manfaatnya, dan tidak pernah kena “tilang”. (hehe analogi yang dipas-paskan).

Mari tengok peristiwa bencana Banjir bandang di Kota Batu dan erupsi Gunung Semeru. Adakah dari ratusan relawan yang mendarma baktikan waktu dan tenaganya untuk menolong sesamanya, sampai berhari-hari, bahkan ada yang sampai sakit karena kecapekan, itu perah ikut diklat bersrifikat ?. Coba tanya, apakah mereka juga berbekal sertifikat kompetensi yang dikeluarkan LSP-PB ?. Apakah pernah asesor dari LSP-PB melakukan monitoring kepada relawan pemegang sertifikat di lokasi bencana ?.

Sungguh, berbagai komunitas relawan yang berdatangan ke lokasi itu nawaitunya hanya satu, ingin menolong sesama sesuai kemampuannya. Apa yang mereka bisa lakukan pasti akan dilakukan, tanpa melihat kompetensi, yang penting semua berjalan sesuai dengan yang direncanakan bersama.

Artinya, jika sertifikat kompetensi sebagai sebuah keharusan, maka hanya sedikit relawan yang boleh ke lokasi. Tentu akan menjadi petaka bagi agen bencana dan TRC bentukan BPBD yang harus berjibaku sendiri menangani dampak bencana. Jelas mereka akan ambyar tidak bisa menangani, dan kerugiannya jelas bertambah dan tidak tertangani dengan baik.

Eh, ngomong-ngomong, apakah personil Agen Bencana dan anggota TRC (serta karyawan BPBD), sudah lulus sertifikasi kompetensi dari LSP-PB ?. Sesungguhnyalah, program sertifikasi yang gratisan sesuai kuota yang telah ditentukan saja minim peminat, apalagi harus berbayar. Hanya orang-orang “hebatlah” yang mau merogoh kocek pribadinya, untuk biaya sertifikasi kompetensi bidang penanggulangan bencana, yang manfaatnya masih dipertanyakan.

Kaspo, dari komunitas relawan yang kebetulan sabahatnya Mukidi itu, sering terlibat dalam berbagai penanganan bencana dimana-mana, mengatakan bahwa, sertifikasi kompetensi bidang penanggulangan bencana itu tidak sama dengan sertifikasi profesi lainnya yang dampaknya ternikmati, terkait dengan kesejahteraan.

Sementara relawan pemegang sertifikat kompetensi masih tetap seperti sedia kala, belum berdampak pada peningkatan kompetensi. Apalagi pada kesejahteraan, karena tidak adanya tindak lanjut pasca memperoleh sertifikat kompetensi profesi sebagai relawan yang bersertifikat.  Wallahu a’lam. [eBas/MingguWage-19122021]

 

 

 

 

 

1 komentar:

  1. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) membuat nota kesepahaman dengan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) untuk mensertifikasi personil. Tiap personil harus siap diuji kompetensinya dalam keahlian penanganan bencana. Itu idealnya terkait dengan upaya pembinaan relawan yang telah lulus dan berhak memegang sertifikat kompetensi/profesi PB.
    Idealnya juga, diklat peningkatan kompetensi relawan harus berbasis standar kompetensi. Dimana, lulusan dari pendidikan dan pelatihan harus siap diuji kompetensinya untuk memastikan link and match antara standar kurikulum, proses diklat dan uji kompetensi keahlian dibidang penanganan bencana.
    Namun nyatanya dalam dunia kerelawanan yang bekerja atas nama kemanusiaan, sertifikasi profesi/kompetensi itu kurang penting dan tidak mungkin bisa diterapkan.
    Bayangkan jika yang boleh dating ke lokasi bencana hanya relawan yang bersertifikat, maka dipastikan akan semakin banyak korban yang tidak tertolong/tertangani.

    BalasHapus