Dalam
kerangka acuan kerja KN-PRBBK, dikatakan bahwa Pengelolaan risiko bencana
berbasis masyarakat adalah sebuah pendekatan yang mendorong komunitas akar
rumput dalam mengelola risiko bencana di tingkat lokal.
Upaya
tersebut berupa kemampuan melakukan interpretasi sendiri atas ancaman dan
risiko bencana yang dihadapinya, melakukan prioritas penanganan/ pengurangan
risiko bencana yang dihadapinya, mengurangi serta memantau dan mengevaluasi
kinerjanya sendiri dalam upaya pengurangan bencana.
Konsep di
atas, hendaknya juga disosialisasikan melalui warga sekolah, melalui program
satuan pendidikan aman bencana (SPAB). Tentunya bahasanya dipermudah agar dapat
dipahami dengan mudah. inilah pekerjaan besar para aktor lokal yang sering
menangani program SPAB.
Perhelatan
KN-PRBBK tahun 2022, mengambil tema “Penguatan Kolaborasi Multi Pihak dalam Pengembangan
Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas sebagai Kunci Menuju Resiliensi Berkelanjutan
dan Berkeadilan”. Diisi dengan webinar oleh para aktor dari berbagai region.
Mereka
bergantian menunjukkan keberhasilan tentang praktik baik upaya pengurangan
risiko bencana, dan memberikan rekomendasi berupa solusi praktis dalam
penanganan bencana yang dapat ditiru oleh pihak lain, sesuai kearifan lokal.
Salah
satunya adalah praktik baik menyelenggarakan program SPAB di berbagai daerah.
Baik itu dilakukan secara mandiri, maupun bersandar para programnya BPBD.
Sementara Dinas Pendidikan yang telah memiliki regulasi melalui permendikbud nomor
33 tahun 2019, belum ‘move on’ dari ketidak pahamannya terhadap regulasi itu.
Terkait
dengan SPAB, mBah Dharmo dalam paparannya di ajang webinar KN-PRBBK XV,
mengatakan tentang pentingnya SPAB dengan pendekatan inklusi, yaitu sebuah pendekatan
untuk membangun lingkungan yang terbuka untuk siapa saja dengan latar belakang
dan kondisi yang berbeda-beda. Hal itu meliputi karakter, kondisi fisik,
kepribadian, status, suku, budaya dan lain sebagainya.
Dikatakan
pula bahwa, dalam memberikan materi SPAB untuk sosialisasi di sekolah,
hendaknya berbasis kebutuhan dan permintaan sekolah, serta potensi bencana yang
ada. Bukan sekedar menyampaikan semua materi yang ada di modul tiga pilar. Namun
harus bersandar pada kearifan lokal.
Istilahnya
Cak Anam, pemberian materi SPAB harus memperhatikan waktu, sarana prasarana
yang ada, kondisi siswa, dan sebagainya yang bisa mempengaruhi proses
sosialisasi. Termasuk simulasi yang akan dilakukan disesuaikan dengan potensi
bencana yang ada. Bukan diseragamkan sesuai juklak dan juknis.
Apa yang
disarankan Cak Anam, agak sulit diterapkan, karena ada juklak dan juknis yang
mengikat. Gagasan pria yang menjadi ketua F-PRB Mojokerto ini baru bisa
dilaksanakan dengan penuh kreatif dan inovatif jika SPAB diselenggarakan secara
mandiri oleh komunitas relawan sebagai wujud partisipasi dalam upaya
pengurangan risiko bencana.
Mungkin,
Cak Anam ingin mengatakan bahwa dalam sosialisasi SPAB di sekolah, yang penting
bagaimana “insan sekolah” paham potensi bencana yang ada di daerahnya, tau apa
yang harus diperbuat untuk mengurangi risiko, bisa menyelamatkan diri secara
mandiri sebelum bantuan dari luar berdatangan, serta bagaimana bisa memulihkan
diri dengan cepat pasca bencana. Itu saja sudah cukup.
Alangkah
eloknya jika BPBD berkenan mengajak komunitas relawan (F-PRB) untuk merawat
program Destana, Katana, dan SPAB, agar tumbuh subur dalam rangka membangun
ketangguhan masyarakat menghadapi bencana secara mandiri.
Hal ini
untuk menepis anggapan yang dituliskan dalam buku peta jalan program SPAB tahun
2020 – 2024, yaitu masih kurangnya peran serta masyarakat terlembaga seperti
Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), dan belum adanya sinkronisasi antara SPAB
dengan upaya-upaya PRB yang lain seperti Keluarga Tangguh Bencana (KATANA) dan
Desa Tangguh Bencana (DESTANA).
Semoga praktik
baik tentang SPAB yang selama ini telah menjadi program rutin BPBD, dapat menginspirasi
berbagai pihak, khususnya dinas pendidikan, untuk mengimplementasikan
permendikbud nomor 33 tahun 2019, yang sampai saat ini belum banyak dipahami.
Apalagi,
masih adanya anggapan bahwa kegiatan SPAB menjadi beban tambahan kepala satuan
pendidikan dan pendidik dalam kegiatan belajar mengajar sehingga tugas utama
mereka mengajar menjadi berkurang. Padahal, sekolah bisa mengajak komunitas
relawan untuk melaksanakan SPAB. Sayang itu tidak dilakukan. [eBas/SelasaPon-04102022]
beberapa kendala mengapa dinas pendidikan belum punya greget mengamalkan permendikbud 33 thn 2019. kayaknya memang pihak kementrian belum mensosialisasikan secara masif kepada dinas pendidikan provinsi, apalagi dindik kab/kota.
BalasHapuskemudian juga masih menganggap bencana adalah urusan bnpb/bpbd.
menganggap beban pelajaran siswa sudah banyak
tidak tersedia dana yng memadai untuk pelaksanaan program spab.
untungnya bpbd punya kemauan untuk memprogramkan spab sehingga beberapa sekolah yang dijadikan sasaran boleh berbangga bahwa sekolahnya mendapat wawasan tentang kebencanaan secara gratis dari bpbd, namun, tidak ada jaminan setelah mendapat sosialisasi spab dari bpbd, sekolah mau menindaklanjuti.
terimakasih bpbd