Selasa, 04 Oktober 2022

MERAWAT SPAB SESUAI KEARIFAN LOKAL

Dalam kerangka acuan kerja KN-PRBBK, dikatakan bahwa Pengelolaan risiko bencana berbasis masyarakat adalah sebuah pendekatan yang mendorong komunitas akar rumput dalam mengelola risiko bencana di tingkat lokal.

Upaya tersebut berupa kemampuan melakukan interpretasi sendiri atas ancaman dan risiko bencana yang dihadapinya, melakukan prioritas penanganan/ pengurangan risiko bencana yang dihadapinya, mengurangi serta memantau dan mengevaluasi kinerjanya  sendiri dalam upaya pengurangan bencana.

Konsep di atas, hendaknya juga disosialisasikan melalui warga sekolah, melalui program satuan pendidikan aman bencana (SPAB). Tentunya bahasanya dipermudah agar dapat dipahami dengan mudah. inilah pekerjaan besar para aktor lokal yang sering menangani program SPAB.

Perhelatan KN-PRBBK tahun 2022, mengambil tema “Penguatan Kolaborasi Multi Pihak dalam Pengembangan Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas sebagai Kunci Menuju Resiliensi Berkelanjutan dan Berkeadilan”. Diisi dengan webinar oleh para aktor dari berbagai region.

Mereka bergantian menunjukkan keberhasilan tentang praktik baik upaya pengurangan risiko bencana, dan memberikan rekomendasi berupa solusi praktis dalam penanganan bencana yang dapat ditiru oleh pihak lain, sesuai kearifan lokal.

Salah satunya adalah praktik baik menyelenggarakan program SPAB di berbagai daerah. Baik itu dilakukan secara mandiri, maupun bersandar para programnya BPBD. Sementara Dinas Pendidikan yang telah memiliki regulasi melalui permendikbud nomor 33 tahun 2019, belum ‘move on’ dari ketidak pahamannya terhadap regulasi itu.

Terkait dengan SPAB, mBah Dharmo dalam paparannya di ajang webinar KN-PRBBK XV, mengatakan tentang pentingnya SPAB dengan pendekatan inklusi, yaitu sebuah pendekatan untuk membangun lingkungan yang terbuka untuk siapa saja dengan latar belakang dan kondisi yang berbeda-beda. Hal itu meliputi karakter, kondisi fisik, kepribadian, status, suku, budaya dan lain sebagainya.

Dikatakan pula bahwa, dalam memberikan materi SPAB untuk sosialisasi di sekolah, hendaknya berbasis kebutuhan dan permintaan sekolah, serta potensi bencana yang ada. Bukan sekedar menyampaikan semua materi yang ada di modul tiga pilar. Namun harus bersandar pada kearifan lokal.

Istilahnya Cak Anam, pemberian materi SPAB harus memperhatikan waktu, sarana prasarana yang ada, kondisi siswa, dan sebagainya yang bisa mempengaruhi proses sosialisasi. Termasuk simulasi yang akan dilakukan disesuaikan dengan potensi bencana yang ada. Bukan diseragamkan sesuai juklak dan juknis.

Apa yang disarankan Cak Anam, agak sulit diterapkan, karena ada juklak dan juknis yang mengikat. Gagasan pria yang menjadi ketua F-PRB Mojokerto ini baru bisa dilaksanakan dengan penuh kreatif dan inovatif jika SPAB diselenggarakan secara mandiri oleh komunitas relawan sebagai wujud partisipasi dalam upaya pengurangan risiko bencana.

Mungkin, Cak Anam ingin mengatakan bahwa dalam sosialisasi SPAB di sekolah, yang penting bagaimana “insan sekolah” paham potensi bencana yang ada di daerahnya, tau apa yang harus diperbuat untuk mengurangi risiko, bisa menyelamatkan diri secara mandiri sebelum bantuan dari luar berdatangan, serta bagaimana bisa memulihkan diri dengan cepat pasca bencana. Itu saja sudah cukup.

Alangkah eloknya jika BPBD berkenan mengajak komunitas relawan (F-PRB) untuk merawat program Destana, Katana, dan SPAB, agar tumbuh subur dalam rangka membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana secara mandiri.

Hal ini untuk menepis anggapan yang dituliskan dalam buku peta jalan program SPAB tahun 2020 – 2024, yaitu masih kurangnya peran serta masyarakat terlembaga seperti Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), dan belum adanya sinkronisasi antara SPAB dengan upaya-upaya PRB yang lain seperti Keluarga Tangguh Bencana (KATANA) dan Desa Tangguh Bencana (DESTANA).

Semoga praktik baik tentang SPAB yang selama ini telah menjadi program rutin BPBD, dapat menginspirasi berbagai pihak, khususnya dinas pendidikan, untuk mengimplementasikan permendikbud nomor 33 tahun 2019, yang sampai saat ini belum banyak dipahami.

Apalagi, masih adanya anggapan bahwa kegiatan SPAB menjadi beban tambahan kepala satuan pendidikan dan pendidik dalam kegiatan belajar mengajar sehingga tugas utama mereka mengajar menjadi berkurang. Padahal, sekolah bisa mengajak komunitas relawan untuk melaksanakan SPAB. Sayang itu tidak dilakukan. [eBas/SelasaPon-04102022]   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1 komentar:

  1. beberapa kendala mengapa dinas pendidikan belum punya greget mengamalkan permendikbud 33 thn 2019. kayaknya memang pihak kementrian belum mensosialisasikan secara masif kepada dinas pendidikan provinsi, apalagi dindik kab/kota.
    kemudian juga masih menganggap bencana adalah urusan bnpb/bpbd.
    menganggap beban pelajaran siswa sudah banyak
    tidak tersedia dana yng memadai untuk pelaksanaan program spab.
    untungnya bpbd punya kemauan untuk memprogramkan spab sehingga beberapa sekolah yang dijadikan sasaran boleh berbangga bahwa sekolahnya mendapat wawasan tentang kebencanaan secara gratis dari bpbd, namun, tidak ada jaminan setelah mendapat sosialisasi spab dari bpbd, sekolah mau menindaklanjuti.

    terimakasih bpbd

    BalasHapus