Jumat, 30 Desember 2022

YANG SELALU DISALAHKAN

Sekarang ini, yang namanya bencana banjir dan longsor, semakin akrab di telinga masyarakat. Hal ini karena semakin seringnya ke dua jenis bencana itu datang menyapa warga dengan segala risiko yang ditimbulkannya, termasuk kematian puluhan warga yang tidak terselamatkan.

Biasanya, disela kesibukan relawan melakukan aksinya menolong korban bencana, muncul dugaan bahwa penyebab banjir adalah hujan yang turun terlalu deras sehingga sungai tidak berdaya menampung air sehingga melimpas kemana-mana.

Sementara, kalau terjadi bencana gempa dan longsor, maka yang disalahkan adalah manusianya, karena dianggap semakin tidak bersahabat dengan lingkungan alam. Atas nama pembangunan, manusia melakukan eksploitasi besar-besaran dimana-mana tanpa mengindahkan aturan tata guna lahan.

Ada juga yang menyalahkan manusianya yang berdomisili di daerah rawan bencana. Mereka tahu jika daerah tempat tinggalnya ada potensi bencana, namun mereka tetap nekat dan beranak pinak di situ, membangun peradabannya sendiri yang turun temurun.

Ya, konon, awalnya mereka tinggal di daerah rawan bencana karena keterpaksaan. Tidak mampu membeli rumah di daerah yang “aman” dan tentunya berharga mahal. Mereka juga tidak memiliki pekerjaan yang tetap, sehingga harus memanfaatkan alam untuk mengais rejeki.

Saking asiknya “memperkosa” alam dengan bertubi-tubi tanpa upaya restorasi yang berimbang, maka ancaman banjir dan longsor yang sangat merugikan itu, tinggal menunggu waktu.

Sementara, berbagai pihak telah memberikan informasi dan peringatan dini akan adanya potensi bencana. Namun mereka diam saja, tidak punya daya untuk merelokasi diri ke tempat yang lebih aman. Apalagi mereka juga telah merasa “menyatu” dengan lingkungan alam setempat. Maka BNPB pun menawarkan konsep “Living Harmony with Disaster”.

Ketika banyak bangunan yang rontok karena digoyang gempa, para orang pun kompak menyalahkan bangunannya yang tidak tahan gempa. Menyalahkan mengapa membangun di lokasi yang ada potensi bencananya.

Lho, kok enak banget menyalahkan, tanpa mau memahami sejarah dibangunnya bangunan di lokasi itu. Termasuk adanya “keterpaksaan” membangun dibawah standar minimal karena dananya banyak menguap kemana-mana.

Mengapa tidak menyalahkan lemahnya penegakan regulasi tata guna lahan ?. ya jelas tidak mungkin berana. Karena banyaknya oknum dan kepentingan yang bermain disitu. Tidak tertutup kemungkinan si penegak regulasinya sendiri ikut bermain. Paling tidak ikut “kecipratan” dari permainan oknum di situ.

Sementara para akademisi juga ikut-ikutan saling menyalahkan terkait dengan terjadinya bencana gempa bumi. Contoh nyata adalah gempa Cianjur. Satu pihak bilang gempa disebabkan oleh sesar cimandiri. Sementara yang lain mengatakan bukan sesar cimandiri. Kemudian entah begaimana tetiba ditemukan sesar baru penyebab gempa Cianjur. Namanya sesar cugenang. Apakah ini sebagai bentuk kompromi antar pihak ?.

Yang jelas, sesar Cugenang atau Patahan Cugenang itu menjadi penyebab gempa Cianjur dengan kekuatan 5,6 magnitudo. “Ini merupakan patahan aktif yang baru teridentifikasi,” kata kepala BMKG. Sesar Cugenang tidak termasuk ke dalam daftar 295 sesar aktif pemantik gempa yang selama ini sudah tercatat. Belum terdaftar berarti belum diteliti (diselidiki), namun langsung dicatat karena telah menimbulkan kontroversi antar para ahli. Ehm…

Ketika tulisan ini disusun di hari terakhir bulan Desember 2022, di beberapa daerah, banjir masih tetap melanda dengan segala dampaknya. Itu artinya bencana hidrometeorologi masih belum berakhir. Masih setia menebar derita manusia,

Program destana, spab dan sejenisnya yang dibanggakan berbagai pihak, dalam rangka membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana, kiranya sedang diuji kebermanfaatannya, dan tampaknya msih kedodoran disana sini. Kiranya, siapa lagi yang patut disalahkan ?. [eBas/SabtuLegi-31122022]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1 komentar:

  1. mari kita jangan hanya menyalahkan saja namun mari kita mencoba mencari akar masalahnya dan mencoba memberi solusi kepada para pemegang kebijakan.
    relawan hanya bisa meng edukasi dan mensosialisasikan konsep PRB kepada warga dengan berbagai cara sesuai kearifan lokal.

    BalasHapus