Setelah berinteraksi dengan
berbagai sahabat relawan, ternyata, tidak semua komunitas memiliki aturan yang
jelas dan tegas (termasuk program) yang harus diketahui, ditaati, dan
dilaksanakan oleh anggotanya. Roda kegiatan komunitas relawan berjalan sangat
luwes, termasuk untuk agenda pertemuan, sesuai dengan kesepakatan dan
ketersediaan waktu luang dari anggotanya.
Apalagi, dengan adanya fasilitas
whatsapp yang tersedia, semakin memudahkan anggota komunitas untuk
berkomunikasi, memperkaya wawasan, memberi info tentang peristiwa bencana di
berbagai daerah, dan info lain yang terkait dengan aktivitasnya.
Dengan kemudahan itu menjadikan
anggota tidak selalu wajib bersemuka dalam membahas program komunitas. Cukup berkomunikasi
dan tukar informasi lewat jejaring media sosial, dimana pun dan kapan pun,
semuanya dapat langsung diketahui bersama untuk kemudian dikomentari.
Warung kopi pun menjadi tempat
favorit untuk ngobrol cangkruk’an, sambil nyruput minuman yang dipesan, mereka
membangun silaturahim, menyatukan visi misi tukar informasi. Tidak menutup
kemungkinan juga membangun peluang bisnis ala kadarnya. Semuanya bisa terjadi,
semua bergulir tanpa moderator maupun notulen, berjalan alami dan tidak saling
membebani.
Sambil nyakot gorengan, obrolan
mengalir kemana-mana, topiknya pun bermacam. Pesertanya bebas datang sesuai
luangnya waktu tanpa mengganggu aktivitas mencari rejeki untuk anak istri. Karena,
relawan itu juga manusia yang punya tanggung jawab kepada keluarga, juga kepada
masyarakatnya.
Termasuk saat menggagas latihan
bersama dengan ‘model saling sinau’, aksi
cinta lingkungan dan peduli kemanusiaan, . Tentu dengan kadar yang berbeda bila
dibanding dengan komunitas yang sudah mapan, terstruktur dan besar, baik dari
sisi jumlah anggota maupun dananya.
Lama obrolan tidak dibatasi, bisa
lama bisa tidak, tergantung situasi, kondisi dan keperluannya. Artinya, ketika
obrolan dianggap sudah cukup, maka acara diakhiri dan menyelesaikan pembayaran
secara saweran/bantingan atau gantian seikhlasnya. Itulah irama komunitas yang
dibangun berdasar hobi dan kesamaan minat serta jauh dari ‘profit oriented’.
Ciri lain dari komunitas yang
seperti ini adalah kurang suka mengadakan diskusi yang serius berbasis teori
dan mengadu gagasan masukan untuk menjadi program kerja tahunan komunitas
maupun rekomendasi untuk pembuat kebijakan. Maunya langsung beraksi, praktek di
lapangan meningkatkan kapasitas dan sinergitas anggota agar mampu berkontribusi
dalam upaya penanggulangan bencana, baik saat pra bencana, tanggap bencana dan
pasca bencana.
Ya, sesungguhnyalah komunitas itu
memang mempunyai keunikan masing-masing. Punya gaya punya selera yang berbeda
satu sama lain. Namun, dalam kerja-kerja kemanusiaan, apalagi saat ada bencana,
semua komunitas akan membaur, bergerak bersama mencoba membantu sesamanya yang
tertimpa musibah serta membantu pemerintah mengurangi dampak bencana. [eBas]
Ya, memang komunitas itu idealnya ya menurut standart mereka masing2, yg penting niatan membantu sesama bisa tersalurkan, relawan itu bukan Pekerja Relawan tapi Penghobby, jadi tidak minta di bayar atas kerelawanannya👍
BalasHapusyups betul sekali
BalasHapushanya akan lebih indah jika organisasi kerelawanan itu dikelola dgn baik dlm rangka meningkatkan kapasitas shg keberadaannya menjadi rujukan para pengambil kebijakan yg terkait dgn bencana