Jumat, 04 Maret 2016

GAYA KOMUNITAS RELAWAN

Setelah berinteraksi dengan berbagai sahabat relawan, ternyata, tidak semua komunitas memiliki aturan yang jelas dan tegas (termasuk program) yang harus diketahui, ditaati, dan dilaksanakan oleh anggotanya. Roda kegiatan komunitas relawan berjalan sangat luwes, termasuk untuk agenda pertemuan, sesuai dengan kesepakatan dan ketersediaan waktu luang dari anggotanya.

Apalagi, dengan adanya fasilitas whatsapp yang tersedia, semakin memudahkan anggota komunitas untuk berkomunikasi, memperkaya wawasan, memberi info tentang peristiwa bencana di berbagai daerah, dan info lain yang terkait dengan aktivitasnya.

Dengan kemudahan itu menjadikan anggota tidak selalu wajib bersemuka dalam membahas program komunitas. Cukup berkomunikasi dan tukar informasi lewat jejaring media sosial, dimana pun dan kapan pun, semuanya dapat langsung diketahui bersama untuk kemudian dikomentari.

Warung kopi pun menjadi tempat favorit untuk ngobrol cangkruk’an, sambil nyruput minuman yang dipesan, mereka membangun silaturahim, menyatukan visi misi tukar informasi. Tidak menutup kemungkinan juga membangun peluang bisnis ala kadarnya. Semuanya bisa terjadi, semua bergulir tanpa moderator maupun notulen, berjalan alami dan tidak saling membebani.

Sambil nyakot gorengan, obrolan mengalir kemana-mana, topiknya pun bermacam. Pesertanya bebas datang sesuai luangnya waktu tanpa mengganggu aktivitas mencari rejeki untuk anak istri. Karena, relawan itu juga manusia yang punya tanggung jawab kepada keluarga, juga kepada masyarakatnya.

Termasuk saat menggagas latihan bersama dengan ‘model saling sinau’, aksi cinta lingkungan dan peduli kemanusiaan, . Tentu dengan kadar yang berbeda bila dibanding dengan komunitas yang sudah mapan, terstruktur dan besar, baik dari sisi jumlah anggota maupun dananya.

Lama obrolan tidak dibatasi, bisa lama bisa tidak, tergantung situasi, kondisi dan keperluannya. Artinya, ketika obrolan dianggap sudah cukup, maka acara diakhiri dan menyelesaikan pembayaran secara saweran/bantingan atau gantian seikhlasnya. Itulah irama komunitas yang dibangun berdasar hobi dan kesamaan minat serta jauh dari ‘profit oriented’.

Ciri lain dari komunitas yang seperti ini adalah kurang suka mengadakan diskusi yang serius berbasis teori dan mengadu gagasan masukan untuk menjadi program kerja tahunan komunitas maupun rekomendasi untuk pembuat kebijakan. Maunya langsung beraksi, praktek di lapangan meningkatkan kapasitas dan sinergitas anggota agar mampu berkontribusi dalam upaya penanggulangan bencana, baik saat pra bencana, tanggap bencana dan pasca bencana.

Ya, sesungguhnyalah komunitas itu memang mempunyai keunikan masing-masing. Punya gaya punya selera yang berbeda satu sama lain. Namun, dalam kerja-kerja kemanusiaan, apalagi saat ada bencana, semua komunitas akan membaur, bergerak bersama mencoba membantu sesamanya yang tertimpa musibah serta membantu pemerintah mengurangi dampak bencana. [eBas]







2 komentar:

  1. Ya, memang komunitas itu idealnya ya menurut standart mereka masing2, yg penting niatan membantu sesama bisa tersalurkan, relawan itu bukan Pekerja Relawan tapi Penghobby, jadi tidak minta di bayar atas kerelawanannya👍​​​​​

    BalasHapus
  2. yups betul sekali
    hanya akan lebih indah jika organisasi kerelawanan itu dikelola dgn baik dlm rangka meningkatkan kapasitas shg keberadaannya menjadi rujukan para pengambil kebijakan yg terkait dgn bencana

    BalasHapus