Sungguh, di era kesejagatan yang mengedepankan
profesionalisme, individualism dan kompetensi itu, ternyata masih banyak orang
yang peduli kepada kemanusiaan. Tergerak hatinya untuk melakukan aksi membantu
sesamanya. Sebisanya, sesuai kemampuan, penuh kesadaran.
Beberapa pakar mengatakan
bahwa Kesukarelawanan
itu bersifat universal, siapapun bisa berperan sebagai relawan, wujud dari
kepedulian, hal ini mengingat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang suka
membantu dan tolong menolong dengan sesamanya. Apalagi, dalam agama, mengajarkan
bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain.
Ada yang bergerak di bidang santunan
pendidikan, kesehatan, ada yang aktif di bidang pencarian dan pertolongan saat
terjadi bencana, melakukan edukasi dan advokasi bidang pelestarian lingkungan.
Ada pula yang melakukan gerakan pemberian santunan kepada fakir miskin dan
orang terlantar, dalam konsep pemberdayaan. Juga ada yang peduli membantu
perbaikan rumah, pemeliharaan infrastruktur yang berhubungan dengan hajat hidup
orang banyak.
Ya, mereka inilah relawan sejati.
Mereka muncul dan beraksi itu dilambari kesamaan minat dan rasa peduli kepada sesama.
Bahu membahu saling menginformasikan tentag aksi yang menjadi agenda bersama, bagaimana
mengumpulkan donasi untuk mendukung aksi. Semua berjalan alami sesuai
kesepakatan.
Terbentuknya komunitas relawan
peduli kemanusiaan (termasuk relawan penanggulangan bencana) itu seringkali
diawali melalui obrolan di medsos, yang dilanjutkan dengan bersemuka distempat
yang ditentukan untuk membangun komitmen yang kuat sebagai dasar berbuat
membantu masyarakat.
Ya, kelompok relawan peduli kemanusiaan itu
ternyata banyak terserak dimana-mana, baik di Kota pun di Desa. ada yang sering
terberitakan maupun tidak. Mereka tetap beraktifitas sesuai visi misi dan
tujuannya. Peran
relawan jangan hanya untuk urusan darurat jangka pendek insidental, tetapi
harus bersifat reguler untuk menjawab kebutuhan jangka panjang. Sehingga peran
sukarelawan mencakup semua dimensi pembangunan : sosial, ekonomi, pendidikan,
politik, sosial dan teknologi.
Andaikan kelompok relawan ini berkenan
untuk membangun sinergi bersama dalam wadah Sekretariat Bersama (sekber), pasti
akan sangat mudah berkoordinasi saling tukar informasi untuk melaksanakan
kegiatan kemanusiaan secara bersama.
Untuk itulah, alangkah eloknya
jika BPBD setempat yang memiliki kemampuan koordinasi, komando dan pelaksana,
memfasilitasi sekaligus membina relawan dalam rangka memperlancar “proses dialog” antar relawan, sehingga
akan tumbuh kesepahaman dalam melaksanakan tugas kemanusiaan tanpa membedakan ‘baju dan warna bendera’ .
Dengan kata lain, melalui sekber, BPBD dapat
mendorong lahirnya relawan yang memiliki kemampuan professional yang
dipersyaratkan, mampu melakukan pengorganisasian sekaligus memainkan fungsi kontrol
sosial dalam segala aktivitas yang terkait dengan kondisi pra bencana, tanggap
bencana, dan pasca bencana.
Artinya, dengan pembinaan yang terjadwal oleh BPBD, relawan hendaknya bisa
berperan mendorong terwujudnya kemandirian dan ketangguhan masyarakat menghadapi bencana. Oleh karena
itu relawan harus diorganisir secara professional dalam wadah sekber agar bisa berkontribusi
dalam bidang penanggulanga bencana.
Namun perlu disadari, bahwa sifat keanggotaan
sekber yang terbuka dan sukarela ini, dimungkinkan ada komunitas pegiat
kemanusiaan yang tidak mau bernaung dalam wadah sekber, tidak suka bersinergi,
selalu bermain sendiri, dengan berbagai alasan, dan itu wajar. Boleh-boleh saja.
Namun BPBD hendaknya tetap berupaya memiliki data lengkap tentang mereka, agar
mudah memobilisasi jika situasi memang menghendaki. Salam Kemanusiaan.[eBas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar