Dalam kegiatannya,
pengurus sekretariat bersama relawan penanggulangan bencana Jawa Timur (SRPB
JATIM) tidak selalu mengadakan pertemuan-pertemuan secara resmi (formal).
Seperti rapat pengurus, rapat kerja, dan diklat untuk peningkatan kapasitas
relawan dari organisasi mitra.
Dengan sifatnya yang
cair, gelaran pertemuan itu bisa diadakan secara informal dimana saja dan kapan
saja. Pesertanya pun tidak harus banyak. Empat atau enam orang ngumpul bersama
di warung kopi embongan pun bisa
gayeng. Bahkan kadang bisa tercetus aneka gagasan liar yang tidak disangka.
Walaupun sering kali gagasan itu hanya sekedar wacana sulit diwujudkan karena
keterbatasannya.
Misalnya, gagasan
untuk mengadakan diklat tentang pengkajian kebutuhan pasca bencana (jitupasna),
penyusunan rencana kontijensi (renkon), monitoring dan evaluasi rehab rekon,
maupun pembuatan rencana penanggulangan bencana. Untuk sebuah pengetahuan dan
penambah wawasan, kiranya materi tersebut perlu juga dipahami oleh relawan. Ya,
sebatas dimengerti, bukan untuk dikerjakan karena terkait dengan kebijakan.
Karena, materi di atas itu nantinya
akan dijadikan dokumen yang sangat diperlukan, sebagai langkah kesiapsiagaan
dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana/kedaruratan termasuk kesigapan
masyarakat. Dokumen itu disusun untuk jangka waktu tertentu untuk kemudian
disusun kembali sesuai perkembangan dan hasil evaluasi.
Misalnya,
rencana kontinjensi (renkon) atau
rencana kedaruratan digunakan sebagai dasar latihan kesiapsiagaan. Fakta di
daerah adalah sebagian kecil daerah telah memiliki renkon namun hanya menjadi
dokumen mati serta latihan dilaksanakan tanpa memperhatikan renkon yang ada.
padahal idealnya renkon harus menjadi dokumen
hidup, ditinjau kembali secara periodik, wajib dibuat oleh setiap
organisasi/lembaga dengan skenario risiko/ ancaman yang sama serta dikembangkan
sebagai dasar latihan dan peningkatan kapasitas kesiapsiagaan dan koordinasi
melalui tahapan sebagimana tergambar dalam siklus kesiapsiagaan.
Disamping itu,
sosialisasi dan diskusi publik menjadi salah satu tahapan di dalam penyusunan
dokumen. Hal itu untuk memastikan bahwa dokumen tersebut telah berisikan
substansi yang berbasis pemberdayaan masyarakat dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
Sesungguhnyalah,
pembahasan materi di atas itu jika akan dijadikan sebuah dokumen kebijakan,
tentulah harus melibatkan peserta dari berbagai komunitas, dunia usaha dan
organisasi perangkat daerah (OPD) setempat. Dengan kata lain, pembahasan materi
di atas memang harus melibatkan berbagai komunitas, khususnya OPD setempat agar
jelas siapa melakukan apa dan sarana prasarananya dari mana. Mengingat
merekalah yang akan sibuk dan terlibat dalam penanganan bencana di daerahnya.
Nah, mendatangkan
peserta dari berbagai komunitas itu tidak gampang. Apalagi peserta dari staf
OPD yang harus dibekali SPPD/SPJ/SPT. Sehingga, perlu adanya kekuasaan yang
bisa menekan, dan anggaran program yang signifikan untuk akomodasi dan
transportasi. Tanpa itu, tampaknya akan sulit dapat menghasilkan sesuatu yang
bermutu. Orang jawa bilang “Ono Rego Ono
Rupo”, bahkan sering diplesetkan “Ono
Rego Ning Hasile Ora Ono” .
Artinya, materi-materi
di atas itu hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki anggaran dan punya
kepentingan. Karena, etikanya, mengundang orang sebagai peserta itu harus ada
pengganti transportnya. Apalagi, akhir dari pemberian materi itu biasanya
dituntut untuk menghasilkan dokumen resmi yang ditanda tangani oleh pejabat
dari masing-masing OPD (dan perwakilan relawan jika memang diperlukan).
Sementara organisasi
relawan (khususnya yang tidak punya anggaran tetap, seperti SRPB Jatim), jelas
tidak mungkin bisa menyelenggarakannya. Kalaupun toh menyelenggarakan hanya
sebatas teori dan dokumen yang dihasilkannya pun biasanya tidak diakui sebagai
dokumen resmi. Paling hanya digunakan sebagai masukan untuk penyusunan
kebijakan atau program. Kecuali relawan yang “berlindung” dibalik lembaga/yayasan yang kuat, baik program maupun
anggarannya. Atau relawan yang ‘digandeng’
oleh lembaga donor untuk menyelenggarakan kegiatan dengan materi di atas.
Karena,
sesungguhnyalah penyusunan dokumen renkon, RPB dan jitupasna itu adalah
sebagian dari program BPBD, bukan programnya relawan, termasuk bukan programnya
SRPB Jatim. Namun, relawan tidak berdosa jika dalam obrolannya di warung kopi
membahas tentang itu atau mengadakan diklat. Namun, semua itu sebatas dalam
rangka saling belajar literasi agar bisa menginspirasi. Salam tangguh, salam
kemanusiaan. [eBas/jum’at legi]*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar