Sabtu, 12 Mei 2018

MATERI RENKON dan JITUPASNA


Dalam kegiatannya, pengurus sekretariat bersama relawan penanggulangan bencana Jawa Timur (SRPB JATIM) tidak selalu mengadakan pertemuan-pertemuan secara resmi (formal). Seperti rapat pengurus, rapat kerja, dan diklat untuk peningkatan kapasitas relawan dari organisasi mitra.

Dengan sifatnya yang cair, gelaran pertemuan itu bisa diadakan secara informal dimana saja dan kapan saja. Pesertanya pun tidak harus banyak. Empat atau enam orang ngumpul bersama di warung kopi embongan pun bisa gayeng. Bahkan kadang bisa tercetus aneka gagasan liar yang tidak disangka. Walaupun sering kali gagasan itu hanya sekedar wacana sulit diwujudkan karena keterbatasannya.

Misalnya, gagasan untuk mengadakan diklat tentang pengkajian kebutuhan pasca bencana (jitupasna), penyusunan rencana kontijensi (renkon), monitoring dan evaluasi rehab rekon, maupun pembuatan rencana penanggulangan bencana. Untuk sebuah pengetahuan dan penambah wawasan, kiranya materi tersebut perlu juga dipahami oleh relawan. Ya, sebatas dimengerti, bukan untuk dikerjakan karena terkait dengan kebijakan.

Karena, materi di atas itu nantinya akan dijadikan dokumen yang sangat diperlukan, sebagai langkah kesiapsiagaan dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana/kedaruratan termasuk kesigapan masyarakat. Dokumen itu disusun untuk jangka waktu tertentu untuk kemudian disusun kembali sesuai perkembangan dan hasil evaluasi.

Misalnya, rencana kontinjensi  (renkon) atau rencana kedaruratan digunakan sebagai dasar latihan kesiapsiagaan. Fakta di daerah adalah sebagian kecil daerah telah memiliki renkon namun hanya menjadi dokumen mati serta latihan dilaksanakan tanpa memperhatikan renkon yang ada.

 padahal idealnya renkon harus menjadi dokumen hidup, ditinjau kembali secara periodik, wajib dibuat oleh setiap organisasi/lembaga dengan skenario risiko/ ancaman yang sama serta dikembangkan sebagai dasar latihan dan peningkatan kapasitas kesiapsiagaan dan koordinasi melalui tahapan sebagimana tergambar dalam siklus kesiapsiagaan.

Disamping itu, sosialisasi dan diskusi publik menjadi salah satu tahapan di dalam penyusunan dokumen. Hal itu untuk memastikan bahwa dokumen tersebut telah berisikan substansi yang berbasis pemberdayaan masyarakat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Sesungguhnyalah, pembahasan materi di atas itu jika akan dijadikan sebuah dokumen kebijakan, tentulah harus melibatkan peserta dari berbagai komunitas, dunia usaha dan organisasi perangkat daerah (OPD) setempat. Dengan kata lain, pembahasan materi di atas memang harus melibatkan berbagai komunitas, khususnya OPD setempat agar jelas siapa melakukan apa dan sarana prasarananya dari mana. Mengingat merekalah yang akan sibuk dan terlibat dalam penanganan bencana di daerahnya.

Nah, mendatangkan peserta dari berbagai komunitas itu tidak gampang. Apalagi peserta dari staf OPD yang harus dibekali SPPD/SPJ/SPT. Sehingga, perlu adanya kekuasaan yang bisa menekan, dan anggaran program yang signifikan untuk akomodasi dan transportasi. Tanpa itu, tampaknya akan sulit dapat menghasilkan sesuatu yang bermutu. Orang jawa bilang “Ono Rego Ono Rupo”, bahkan sering diplesetkan “Ono Rego Ning Hasile Ora Ono” .

Artinya, materi-materi di atas itu hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki anggaran dan punya kepentingan. Karena, etikanya, mengundang orang sebagai peserta itu harus ada pengganti transportnya. Apalagi, akhir dari pemberian materi itu biasanya dituntut untuk menghasilkan dokumen resmi yang ditanda tangani oleh pejabat dari masing-masing OPD (dan perwakilan relawan jika memang diperlukan).

Sementara organisasi relawan (khususnya yang tidak punya anggaran tetap, seperti SRPB Jatim), jelas tidak mungkin bisa menyelenggarakannya. Kalaupun toh menyelenggarakan hanya sebatas teori dan dokumen yang dihasilkannya pun biasanya tidak diakui sebagai dokumen resmi. Paling hanya digunakan sebagai masukan untuk penyusunan kebijakan atau program. Kecuali relawan yang “berlindung” dibalik lembaga/yayasan yang kuat, baik program maupun anggarannya. Atau relawan yang ‘digandeng’ oleh lembaga donor untuk menyelenggarakan kegiatan dengan materi di atas.

Karena, sesungguhnyalah penyusunan dokumen renkon, RPB dan jitupasna itu adalah sebagian dari program BPBD, bukan programnya relawan, termasuk bukan programnya SRPB Jatim. Namun, relawan tidak berdosa jika dalam obrolannya di warung kopi membahas tentang itu atau mengadakan diklat. Namun, semua itu sebatas dalam rangka saling belajar literasi agar bisa menginspirasi. Salam tangguh, salam kemanusiaan. [eBas/jum’at legi]*











Tidak ada komentar:

Posting Komentar