Ternyata corona
dari Wuhan itu telah masuk ke Jawa timur, termasuk Surabaya. Masyarakat yang
terpapar semakin banyak, baik itu orang dalam pemantauan, maupun pasien dalam
pengawasan. Bahkan sudah ada korban meninggal, karena, konon Corona yang kini
disebut Covid19 belum ada obatnya.
Untuk itulah Gubernur mengeluarkan status keadaan gawat darurat bencana Covid-19 di Jawa Timur. Dinas terkait pun sibuk bergerak “membendung” wabah Corona dengan mengerahkan segala daya dan sarana prasarana pendukungnya. Bahkan sudah pula mendirikan Posko Siaga Corona.
Relawan pun tidak tinggal diam. Mereka juga turut siaga untuk bergerak sesuai kemampuannya. Ada yang dilibatkan jaga Posko bersama PNS/ASN yang dibekali SPPD, ada yang berinisiatif membagikan masker, pun ada yang bersama-sama melakukan gerakan bersih-bersih rumah ibadah. Baik dengan menggunakan APD pribadi, atau terpaksa nekat tanpa APD karena tidak punya atau belum mendapat jatah dari yang menugaskannya.
Apa yang dilakukan relawan ini sebagai upaya turut antisipasi terhadap penyebaran Corona. Cuma, apa yang dilakukan ini sepertinya bertentangan dengan himbauan Panca Selamat : cuci tangan, diam di rumah hindari kerumunan, jaga jarak, pakai masker, silaturahmi tangkup tangan. Hal ini sejalan dengan komentarnya Wawan Kim, bahwa Kawan-kawan sebaiknya benar-benar patuh pada apa yang disebut ‘social distancing’. Sebaiknya kawan-kawan fokus ke anak dan istri, juga keluarga. Pemerintah sudah menghimbau, agar keramaian sudah harus dikurangi, bahkan di tiadakan. Kegiatan yang mengumpulkan massa, banyak yang sudah ditunda pelaksanaannya. Kalau merujuk himbauan untuk sosialisasi langsung, logiknya kita diminta untuk mengumpulkan massa. Ini sudah paradoks.
Ya, apa yang dikatakan wawan ini berlawanan antara
himbauan untuk ‘menyendiri’ dengan
ajakan bersama untuk ‘kerja bakti’ dan
sosialisasi. Terkait dengan hal tersebut, Yeka Kusumajaya yang sedang di Palu,
bilang, “Saya hanya ingin berpendapat bahwa Corona ini penanganannya tidak seperti
bencana pada umumnya. Misalnya longsor atau erupsi gunung api. Penanganannya harus
lebih spesifik dan hati-hati kalau melibatkan relawan yang pengetahuan dan
kemampuannya belum banyak,”
Yang kedua, masih kata pengurus SRPB ini, kita
juga perlu wanti-wanti dengan kondisi ini. Seberapa besar support pemerintah
terkait Corona terhadap relawan yang dilibatkan dalam penanganan Corona. Adakah
jaminan dan ketersediaan APD untuk teman-teman di lapangan. Sehingga bisa
bekerja secara maksimal tanpa rasa kawatir.
“Jangan terlibat kalau kondisi rentan dan beresiko
tinggi, jangan korbankan relawan hanya untuk hal-hal yang sifatnya heroik semata.
Apalagi jika dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Kalau bukan tupoksi dan
belum memiliki kemampuan dan pengetahuan menjadi relawan covid-19 lebih baik
undur diri. Jangan memaksakan diri. Ingat, kesehatan dan nyawa teman-teman
lebih berharga bagi saya dibanding sekedar membangun nama SRPB,” katanya
(mungkin dia nulisnya sambil ngudut jisamsu kesukaannya).
Masih
terkait dengan gonjang ganjing Corona ini, Sahabatnya Pakdhe Kopros ini
mengingatkan bahwa, tidak semua tawaran BPBD itu harus dituruti. Karena,
relawan juga tidak selalu dilibatkan dalam pelaksanaan tugas BPBD. Jangan karena
kita relawan terus selalu wajib membantu kegiatan BPBD. Ingat Corona itu ganas
mematikan. Jadi relawan juga harus memproteksi diri dan keluarganya.
Karena, jika terjadi apa-apa, yang menanggung ya relawan itu sendiri, bukan yang lain, hal ini disebabkan pos anggaran untuk keselamatan relawan belum ada payung hukumnya. Untuk itulah Sam Yeka, begitu panggilan akrabnya, menyarankan agar relawan yang tergabung dalam SRPB juga harus cerdas memilih dan bersikap, agar keberadaannya tidak dianggap sebagai perpanjangan tangan BPBD (apalagi dianggap mendapat subsidi).
“Mohon maaf kalau saya keras dalam hal ini, karena saya tidak lagi mau dengar kehilangan relawan dalam penyelamatan, bukan karena takdir tapi lebih pada kebodohan dan kesombongan,” Katanya (tetap dengan nada berapi-api, mungkin sambil nyruput kopi).
Apa yang
dikatakan alumni Unisma ini patut kiranya menjadi bahan renungan tentang
keberadaan relawan yang terlibat dalam kerja-kerja sosial membantu sesama. Apalagi
yang dikerjakan saat ini adalah bencana non alam. Ini bukan bencana alam seperti
yang selama ini kita geluti, kasat mata, mudah dilihat dan dihindari. Harus ekstra
hati-hati, jangan sampai tertular.
Sejalan dengan pesannya Yeka Kusumajaya, Syaiful Huda, pemilik Obis Camp, di kawasan Mojokerto, mengajak relawan untuk waspada terhadap Corona. Dalam postingannya dia menganjurkan relawan untuk ‘tiarap dulu’, konsentrasi pada kesehatan diri dan keluarga. Pemerintah beserta aparatnya sudah turun tangan melakukan pencegahan, penyelamatan dan rehabilitasi. Mohon utamakan keselamatan diri dan keluarga.
“Ingat, kita ini relawan yang tidak ditanggung
siapa-siapa. Hanya nurani dan rasa kemanusiaan saja yang menggerakkan kita berbuat
sesuatu untuk sesama. Sementara karyawan Dinkes, bpbd, atau dinas lain yang
ditugaskan sebagai relawan, itu semua adalah abdi negara yang di gaji dan mendapat aneka tunjangan. Jadi,
janganlah menjadi pahlawan kesiangan.
Kita sudah luarbiasa perhatian dengan masalah kemanusiaan. Dan mohon dipahami ini lain dari pada bencana
pada umumnya sepertinya patut diduga ini pekerjaan iluminati,” Katanya, tak
kalah menohoknya dengan Yeka.
Semoga apa yang diposting oleh orang-orang hebat di
atas bisa menjadikan kita semua untuk berfikir jernih dalam menyusun agenda organisasi.
Jangan lupa bahagia dan tetap mengutamakan keselamatan bersama dalam melakukan
kerja-kerja kemanusiaan. jangan sampai kegiatan kerelawanan itu mengorbankan
urusan domestik yang berdampak pada terlantarnya keluarga. Naudzubillah Min dzalik.
[eBas/Jumat Kliwon-20032020]
BalasHapusayo daftarkan diri anda di 4g3n365*c0m :D
WA : +85587781483