Sesungguhnyalah, peran masyarakat
sipil (selanjutnya disebut komunitas) dalam upaya mencegah berkembangnya virus
yang datang dari Wuhan itu, sudah dilakukan.
Mereka melakukan dengan caranya sendiri.
Ada yang urunan diantara mereka, ada
pula yang disokong oleh donatur. Bahkan ada yang didukung oleh anggaran lembaga
tertentu. Bentuk kegiatannya, antara lain penyemprotan disinfektan ke fasilitas
umum, pembuatan bilik semprotan, membagikan masker dan hand sanitizer kepada
masyarakat.
Pemerintah pun tidak tinggal
diam. Presiden langsung menunjuk kepala BNPB menjadi ketua gugus tugas
percepatan penanganan covid-19, dengan membentuk posko nasional. Konon, posko
diisi oleh berbagai elemen kementerian/lembaga. Disusul berdirinya posko di
tingkat provinsi, kabupaten/kota, bahkan sampai kecamatan dan desa/kelurahan
(teorinya sih begitu, tapi belum semua begitu).
Pertanyaannya kemudian, bagaimana
hubungan antara gugus tugas dengan komunitas relawan (OMS/LSM) yang secara
mandiri telah berbuat mandiri melakukan kegiatan penanganan covid-19. Karena di
lapangan, koordinasi dan komunikasi antar elemen pentahelix ini belumlah
tampak.
Ketidak jelasan inilah yang oleh
Pujiono centre dijadikan bahan diskusi online yang diadakan selasa (14/4), untuk
menampung kegelisahan aktivis OMS/LSM, juga komunitas relawan terhadap
keberadaan gugus tugas yang kurang komunikatif dalam aktivitasnya.
Oleh Pujiono centre, permasalahan
di atas dikemas dalam tema “Struktur dan mekanisme koordinasi serta tindakan
kongkrit seperti apa yang perludilaksanakan oleh gugus tugas nasional, daerah
dan di desa untuk mengoptimalkan kerja sama dengan OMS/LSM dalam rangka
pelaksanaan pembatasan sosial beskala besar.
Banyak sekali yang bertanya,
apakah keberadaan posko OMS/LSM yang akan diaktifkan itu, tidak bertabrakan
kepentingan dengan posko Gugus tugas ?. Kemudian, OMS/LSM yang bagaimana yang
terlibat/dilibatkan dalam posko ?. entah siapa yang bisa/berhak menjawab.
“Ingat lho ya, keberadaan posko
itu tidak hanya memikirkan masalah covid-19 saja. seperti jumlah ODP, jumlah
PDP, positif, sembuh dan meninggal saja. tapi yang tidak kalah pentingnya adalah
bagaimana mengatasi dampak ikutan yang ditimbulkan covid-19. Seperti masalah
sosial ekonomi yang bisa memicu kerusuhan sosial,” Kata seorang peserta yang
merasa kelurahan/desa belum banyak yang mendirikan posko sesuai harapan dari
buku Desa Tangguh Covid-19, dan Protokol Relawan Desa Lawan Covid-19.
Artinya, Dampak pandemi covid-19
bagi kehidupan sosial ekonomi rakyat kecil perlu dipikirkan oleh posko. Termasuk
mereka yang baru kena PHK, belum pernah terima bantuan apa-apa, dan belum
mendapatkan kartu pra kerja. Posko juga berupaya memotivasi sekaligus
memperkuat solidaritas antar elemen pentahelix untuk mengatasi masalah sosial
ekonomi yang jika tidak segera diantisipasi bisa memunculkan kerawanan yang
tidak diinginkan.
Untuk itulah, mereka yang
diamanahi mengendalikan Posko Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 harus
segera mengajak rapat seluruh elemen pentahelix, termasuk OMS/LSM dan komunitas
relawan untk berbagi peran dalam upaya memutus rantai penyebaran wabah dari
Wuhan ini.
Dengan demikian bisa dihindari
praktek yang egosentris, memanfaatkan dana bantuan untuk mensejahterakan sanak
saudara dan kolega perangkat desa sendiri, karena ketidak terbukaan data yang
diperlukan. termasuk menghindari terjadinya kongkalikong antara oknum dengan
OMS/LSM yang telah menjadi kroninya (koncoisme).
Kemudian, yang tidak kalah
penting adalah segera dikeluarkannya surat resmi sebagai payung hukum untuk OMS/LSM
dan komunitas relawan yang professional agar ‘dilibatkan’ dalam pengawasan
pembagian paket bantuan. Serta disertakan pula dalam melakukan sosialisasi
sadar bencana covid-19 yang massif, dengan menggunakan bahasa setempat sehingga
mudah dipahami. termasuk menggerakkan kegiatan yang sudah ada di kampong.
Seperti yasinan, tahlilan, majlis taklim, PKK, dan dasa wisma agar tumbuh
kesadarannya akan bencana covid-19.
“Masalahnya kemudian, bagaimana
bisa melakukan sosialisasi kepada masyarakat, sementara ada larangan untuk
berkumpul terkait dengan social distancing,” Tanya seorang aktivis LSM yang
tidak menyebutkan jadi dirinya.
Diakhir diskusi online, dikatakan
pula bahwa Posko gugus tugas penanganan covid-19 belum berjalan optimal karena
ketidak tahuan personil yang dilibatkan tupoksinya. Termasuk pejabat daerah
juga banyak yang belum bertindak karena takut berlawanan dengan kebijakan yang
ada.
Padahal, pihak kementerian desa
sdh membuat instruksi kepada desa untuk bersiap dalam karantina lokal dengan
menggunakan dana desa melalui program desa tangguh Covid-19 serta diharapkan
membuat program lumbung pangan untuk membantu masyarakat desa yang tidak mampu.
Demikian beberapa catatan dari
diskusi online yang sempat tercatat karena suara dari zoom application yang
digunakan sering putus nyambung tergantung dari signal internet. Juga ketersediaan
paket datanya.
Semoga poin-poin ini bisa
dijadikan pembelajaran bagi semua elemen pentahelix dalam melakukan kerja-kerja
kemanusiaan. bahwa yang namanya egosentris bisa menghambat terjadinya
koordinasi dalam membangun sinergitas. wallahu a’lam bishowab.[eBas/KamisPahing-16042020]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar