Entahlah, kebiasaan cangkruk’an
itu siapa yang memulai dan sejak kapan ada di Negara kita ini. Tampaknya cangkruk’an itu kebiasaan yang turun temurun.
Diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Begitu seterusnya.
Mungkin yang berbeda adalah gayanya. Karena sesungguhnyalah gaya itu mengikuti
perubahan jaman, yang dipengaruhi oleh ragam komunikasi yang semakin canggih.
Dalam Ilmu sosial dikatakan bahwa
manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan sesamanya untuk
berbagi rasa, bertukar pikiran dan kehendak, baik secara langsung maupun tidak
langsung, salah satu media untuk berinteraksi adalah cangkruk’an.
Cangkruk’an sangat menyenangkan
karena di sana terjadi perbincangan yang setara, dan peningkatan relasi
persahabatan. Cangkrukan merupakan ruang publik yang dapat dimanfaatkan sebagai
wahana komunikasi, tempat bersosialisasi,
tukar informasi, dan juga sebagai tempat hiburan rohani yang murah
meriah.
Tempatnya bisa di mana saja yang
penting nyaman dan cocok untuk mengobrol bersama-sama dalam waktu
tertentu. Pada saat cangkruk, materi obrolan bisa apa saja, dari satu topik
pembicaraan ke topik pembicaraan lainnya, mulai dari berita politik, bencana
alam, sampai gossip tentang relawan lain atau tentang kehidupan artis yang
kawin cerai dan selingkuh, yang dianggap sebagai obat awet muda.
Dengan kata lain, kebiasaan
cangkruk bagi penggemarnya, sangat dinantikan karena di sana ada pertukaran
ilmu, wawasan, pengetahuan, informasi-informasi penting bagi kemajuan hidup,
dan berbagai hal yang bersifat positif dan konstruktif bagi kehidupan bersama. Ya,
semua orang pasti suka cangkruk. Termasuk komunitas relawan.
Cangkruk’an, bagi komunitas
relawan tanpaknya sudah merupakan hal yang ‘wajib’
dilakukan disamping pertemuan yang diagendakan dalam kaitannya dengan program. Seperti
diketahui bahwa seseorang bergabung ke dalam sebuah komunitas itu biasanya untuk mewujudkan kebutuhannya dalam konteks sosial sebagai anggota komunitas.
Lewat cangkruk’an. Komunitas
membantu seseorang dalam memenuhi sejumlah kebutuhannya, seperti kebutuhan untuk
belajar bergaul, belajar berkomunikasi, bersahabat, dan beaktualisasi diri, Mungkin juga untuk
mendapatkan keuntungan ekonomi. karena motivasi seseorang itu beragam.
Ya, cangkruk’an sebagai sebuah
pertemuan informal yang kental dengan suasana persahabatan, sangat mungkin
menjadi media pembelajaran secara informal diantara mereka. Khususnya masalah
kerelawanan dan kerja-kerja kemanusiaan yang menjadi kepeduliannya.
Disana, mereka saling bertukar
pengalaman dan berbagi informasi, sambil nyruput kopi. Yang lebih berpengalaman
membagikan pengalamannya dengan gaya tutur yang khas. Sementara, yang kaya
informasi mengimbaskan informasinya agar diketahui. Siapa tahu, dari situ
muncul kegiatan kreatif. Sehingga cangkruk’an bermakna sebagai wahana saling
menginspirasi sesama relawan untuk merancang sebuah kegiatan bersama.
Ya, biasanya, dalam cangkruk’an
itu, yang dianggap kaya pengalaman
selalu menjadi pusat perhatian. Semua yang hadir menyimak apa yang dikatakan
dan semua yang diceritakan. Inilah proses pembelajaran informal dalam upaya
pewarisan nilai-nilai hidup sebagai seorang relawan kemanusiaan serta pengalaman
dan informasi yang bisa dijadikan pedoman oleh relawan generasi baru.
Melihat strategisnya kegiatan cangkruk’an,
maka pengurus SRPB JATIM selalu memanfaatkan moment ini untuk menebar pesan
moral dan etika bermasyarakat. Siapa tahu bisa dimanfaatkan oleh relawan
milenial yang akan menggantikan peran relawan kolonial yang mau tidak mau,
karena faktor umur, harus mundur memberi kesempatan kepada lainnya tampil di
atas panggung kehidupan sesuai jamannya. Wallahu a’lam bishowab. Salam Tangguh,
Salam Kemanusiaan. [eBas/MingguKliwon-19042020]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar