Senin, 13 Juli 2020

PENDIDIKAN BENCANA MASUK SEKOLAH ITU TIDAK MUDAH


Dalam webinar yang diselenggarakan oleh konsorsium pendidikan bencana (KPB) Indonesia, senin (13/07/2020), bermaksud untuk melihat perkembangan kebijakan pendidikan kebencanaan, termasuk program satuan pendidikan aman bencana (SPAB). Apakah sudah dilaksanakan disemua jenjang pendidikan atau masih tahap diskusi untuk mematangkan rencana sambil menunggu petunjuk dan alokasi anggaran.

Sejak beragam kejadian bencana besar muncul di Indonesia, pendidikan pengurangan risiko bencana dianggap penting untuk dilaksanakan melalui satuan pendidikan dengan pendekatan partisipasi peserta didik.

Hal ini selain tujuan jangka panjang untuk menciptakan generasi yang memiliki budaya keselamatan, diharapkan anak merupakan jalur yang efektif untuk memberikan dampak bagi orang terdekat terutama keluarganya.

Namun nyatanya di lapangan, masih banyak kendala dalam pelaksanaannya. Utamanya adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa tingkat lokal sesuai amanat otonomi daerah. Sesungguhnyalah banyak pihak yang telah mencoba berkomunikasi dengan pihak sekolah. Namun semua masih harus menunggu petunjuk.

Beberapa peserta webinar mengatakan bahwa keberadaan KPB ini dalam rangka membangun jejaring untuk merintis praktek pengurangan risiko bencana (PRB) berbasis komunitas sesuai kearifan local, yang salah satunya adalah penyelenggaraan SPAB.

KPB juga menginisiasi komunitas untuk membuka ruang diskusi antar pegiat kemanusiaan membahas PRB dan SPAB, untuk kemudian mereplikasikannya ke tempat lain sebagai upaya nyata praktek PRB, khsususnya yang berada di daerah rawan bencana.

Terkait masalah bencana, Wakil dari kemdikbud dalam webinar ini mengatakan bahwa Permendikbud Nomor 33 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program Satuan Pendidikan Aman Bencana merupakan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk memberikan pelindungan dan keselamatan kepada peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dari risiko bencana serta untuk menjamin keberlangsungan layanan pendidikan pada satuan pendidikan yang terdampak bencana.

Dikatakan pula bahwa SPAB adalah satuan pendidikan yang menerapkan standar sarana dan prasarana yang aman dan memiliki budaya keselamatan yang mampu melindungi warganya dari bahaya bencana, dengan mengacu pada tiga pilar: pilar pertama mengenai fasilitas belajar yang aman, pilar ke dua mengenai manajemen penanggulangan bencana di sekolah, pilar ke tiga mengenai pendidikan pencegahan dan pengurangan risiko bencana.

Dalam Permendikbud Nomor 33 tahun 2019 itu bertujuan untuk: Meningkatkan kemampuan sumber daya di Satuan Pendidikan dalam menanggulangi dan mengurangi Risiko Bencana; Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana Satuan Pendidikan agar aman terhadap Bencana; Memberikan pelindungan dan keselamatan kepada Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan dari dampak Bencana di Satuan Pendidikan; Memastikan keberlangsungan layanan pendidikan pada Satuan Pendidikan yang terdampak Bencana; Memberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik Risiko Bencana dan kebutuhan Satuan Pendidikan; Memulihkan dampak Bencana di Satuan Pendidikan; dan Membangun kemandirian Satuan Pendidikan dalam menjalankan Program SPAB.

Sementara itu, ruang lingkup penyelenggaraan program SPAB meliputi: Penyelenggaraan program SPAB pada saat prabencana; Penyelenggaraan layanan pendidikan dalam situasi darurat bencana; dan pemulihan layanan pendidikan pasca bencana.

Apa yang disampaikan oleh wakil dari Kemdikbud itu sangat luar biasa konsepnya yang tertuang dalam SPAB. Artinya, jika semua sekolah, khususnya yang berada di daerah rawan bencana ini benar-benar difasilitasi menyelenggarakan SPAB secara berkala. Pastilah akan banyak yang terselamatkan jika terjadi bencana.

Sayangnya di lapangan masih berkata lain. Jalur pendidikan formal dan jalur pendidikan non formal masih belum banyak yang mengamalkan Permendikbud 33 tahun 2019 dengan berbagai alasan. Kalau pun ada sifatnya hanya pengenalan saja tanpa tindak lanjut.

Bahkan mungkin, tugas Sekretariat Nasional SPAB melaksanakan pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan program SPAB yang dilaksanakan oleh Sekretariat Bersama SPAB Daerah dan satuan pendidikan. Juga belum dilaksanakan. Apalagi yang di daerah.

Begitu juga dengan dana penyelenggaraan program SPAB bersumber dari APBN dan APBD, masyarakat dan sumber lain yang tidak mengikat dan sesuai ketentuan, tampaknya belum di masukkan dalam angaran rutin.

Termasuk pembentukan Pos Pendidikan yang tersurat di dalam SE nomor 15 tahun 2020 tentang pedoman penyelenggaraan belajar dari rumah dalam masa covid-19. Disana disebutkan tentang pembentukan pos pendidikan yang salah satu anggotanya dari unsur organisasi kemasyarakatan. Namun masih belum direalisasikan entah karena apa.

Sedangkan komunitas relawan, dengan segala kebisaannya, telah mencoba mensosialisasikan masalah PRB dan PB kepada masyarakat. Mereka juga aktif jagongan antar sesame relawan untuk merancang aksi peningkatan kapasitas. Bahkan ada pula yang telah rutin mengadakan pendampingan dan memberikan sembako ala kadarnya. Semuanya dilakukan secara mandiri dengan jargon “Ada uang program jalan. Tidak ada uang, ya berhenti sambil ngopi cari inspiransi untuk beraksi”.  

Kendala-kendala inilah yang sebaiknya segera dibahas oleh aktivis KPB yang banyak dari anggotanya punya koneksi di tingkat pengambil kebijakan. Mungkin dalam webinar selanjutnya atau dalam pertemuan-pertemuan tertutup lainnya hendaknya KPB bisa ‘menekan’ mereka agar menjalankan segala aturan yang dibuat dengan melibatkan masyarakat sebagai salah satu elemen pentahelix dalam upaya penanggulangan bencana serta membangun budaya tangguh. [eBas/SelasaLegi-14072020]





2 komentar:

  1. salah satu peran relawan sesuai amanat Perka 17 thn 2011 adalah melakukan edukasi/pemyuluhan kepada masyarakat masalah pengurangan risiko bencana agar tercipta budaya tangguh.
    nah dari situlah maka relawan harus mengadakan giat edukasi dan sosialisasi masalah kebencanaan kepada masyarakat luas termasuk ke sekolah. namun jika pintu sekolah masih tertutup maka salah satu yang bisa dilakukan adalah edukasi melalui komunitas dan kelompok2 di luar sekolah.
    harapannya dari kelompok/komunitas itulah akan terbangun kesadaran akan masalah kebencanaan secara alami.
    mari kita coba bersama dari kelompok kecil dulu ......

    salam tangguh

    BalasHapus