“Saran saya, kemendikbud harus melakukan SPAB sebagai program utama
dengan teknis setiap fasilitas pendidikan harus ada instrumen evaluasinya
(penilaian). Salah satunya instrumen mengenai SPAB dan manajemen bencana di
setiap sekolah. Jika tidak ada maka kepala sekolahnya diberi sangsi. Misalnya
diturunkan pangkatnya, atau dipindah ke sekolah lain. Sementara untuk sekolah
swasta yang tidak melaksanakan SPAB diberi hukuman administratif,” Kata Sultan Afandi, peserta NGOPI PB (ngobrol
pintar penanggulangan bencana) #4.
Kegiatan
yang diadakan secara online ini merupakan agenda rutin dari gerakan literasi
bencana. Temanya bermacam-macam, seputar penanggulangan bencana. Pesertanya pun
beragam.
Ngopi PB
#4 yang digelar hari rabu (24032021) malam, mengambil tema Pelaksanaan Satuan Pendidikan
Aman Bencana di Indonesia. Sangat menarik, karena Indonesia yang rawan bencana itu
belum banyak mendapat perhatian dari semua pihak. Khususnya dunia pendidikan, belum memandang serius
perlunya mengenalkan masalah bencana kepada siswanya. Padahal sudah ada modul
SPAB yang diterbitkan oleh BNPB.
Termasuk desain bangunan dan fasilitas pendidikan banyak yang
belum ramah anak. Banyak yang dibangun di
daerah yang memiliki potensi bencana. Muncullah pertanyaan ‘nakal’, kira-kira apa yang bisa ditempuh oleh banyak pihak ?. Hal ini mengingat bencana
adalah urusan bersama. Pemerintah sendiri jelas tidak akan mampu mengatasi
bencana sendirian.
Pertanyaan
nakal di atas, tampaknya sulit dijawab. Karena banyak instansi yang memiliki
program penanggulangan dengan sasaran yang telah ditentukan. Mereka berjalan
sendiri sesuai dengan aturan penganggarannya, juga kepentingannya. Sehingga
bisa memunculkan rivalitas diantara mereka, dan masyarakat pun bingung
dibuatnya. Ujung-ujungnya semua hanya untuk kepentingan daya serap anggaran
tanpa kelanjutan yang memandirikan.
Sementara
ini, yang banyak mempraktekkan program SPAB adalah sekolah swasta. Mereka
berkreasi sendiri untuk mengenalkan masalah bencana kepada seluruh elemen
sekolah (peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan). Bahkan sudah ada
yang secara periodik melakukan simulasi jika terjadi bencana di daerahnya
(sesuai dengan potensi bencana yang ada).
Mereka
bisa begitu karena “didukung” oleh kawan-kawan LSM yang memiliki aturan sendiri
dalam berkegiatan. Sementara pelaksanaan SPAB di sekolah negeri masih bisa
dihitung dengan jari. Belum banyak yang berani melakukan karena masih menunggu
pentunjuk dan arahan dari pimpinan diatasnya.
Disinilah
perlu adanya kesadaran terhadap risiko bencana yang mungkin terjadi di
daerahnya, sehingga tumbuh semangat membangun kesiapsiagaan dan ketangguhan
menghadapi bencana, diantaranya melalui proses internalisasi lewat pembelajaran
di sekolah.
Semua
itu kuncinya adalah, adanya regulasi tentang SPAB yang benar-benar dipahami dan
dijalankan oleh semua pihak. Kemudian SPAB diintegrasikan dalam mata pelajaran
dan ekstra kurikuler. Jika memungkinkan ada evaluasi penyelenggaraan SPAB
seperti program Adi Wiyata, lomba SPAB, jambore SPAB dan sosialisasi SPAB dalam
kegiatan masa orientasi siswa.
Dalam
acara NGOPI PB juga muncul pendapat bahwa dana BOS dan dana desa bisa digunakan
untuk kegiatan SPAB dan kebencanaan. Seperti penyuluhan dan pelatihan
pengurangan risiko bencana, pemasangan rambu evakuasi, pembangunan tempat
pengungsian dan sejenisnya.
Namun
semua itu tergantung kepada kebijakan pejabatnya. Guru dan karyawan dibawah
hanya bisa menunggu arahan dan perintah atasan. Tidak berani mendahului karena
bisa dianggap melanggar aturan.
Untuk
itulaha, maka pertanyaan yang harus dijawab adalah, bagaimana membangun
kesepahaman antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah di bawahnya dalam
upaya mengimplementasikan gerakan SPAB agar ketika terjadi bencana, anak-anak
tidak menjadi korban.
Risma,
dari FPRB Provinsi Aceh, mengatakan bahwa masalah SPAB itu adalah keberlanjutan
program dan anggarannya. Semua tidak akan berlanjut jika masih kurangnya
kesadaran dalam mengimplementasikan. Termasuk kesadaran dari para pengambil
kebijakan, pihak sekolah serta elemen pentahelix lainnya dalam hal pengurangan
risiko bencana.
Sesungguhnyalah,
setiap orang itu, secara naluri memiliki kemampuan untuk beradaptasi menghadapi
bencana dan dapat segera pulih kembali kehidupannya pasca bencana tanpa
menunggu bantuan dari luar. Tinggal bagaimana naluri sadar bencana itu “dikelola” menjadi
sebuah kesadaran komunal.
“Mari kita dorong
pemerintah mengemas SPAB yang memiliki
ruh PRB, dan tidak
dikerjakan berbasis proyek saja, tapi benar-benar harus mampu mengukur dampak,” Kata peserta dari Kota Tahu, Kediri, Jawa Timur.
Sebuah ajakan yang sangat menohok bagi para pegiat pengurangan risiko bencana.
Salam Literasi, saling peduli saling menginspirasi. [eBas/RabuPon-07042021]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar