Selasa, 06 April 2021

SATUAN PENDIDIKAN AMAN BENCANA

    Saran saya, kemendikbud harus melakukan SPAB sebagai program utama dengan teknis setiap fasilitas pendidikan harus ada instrumen evaluasinya (penilaian). Salah satunya instrumen mengenai SPAB dan manajemen bencana di setiap sekolah. Jika tidak ada maka kepala sekolahnya diberi sangsi. Misalnya diturunkan pangkatnya, atau dipindah ke sekolah lain. Sementara untuk sekolah swasta yang tidak melaksanakan SPAB diberi hukuman administratif,” Kata Sultan Afandi, peserta NGOPI PB (ngobrol pintar penanggulangan bencana) #4.

    Kegiatan yang diadakan secara online ini merupakan agenda rutin dari gerakan literasi bencana. Temanya bermacam-macam, seputar penanggulangan bencana. Pesertanya pun beragam.

    Ngopi PB #4 yang digelar hari rabu (24032021) malam, mengambil tema Pelaksanaan Satuan Pendidikan Aman Bencana di Indonesia. Sangat menarik, karena Indonesia yang rawan bencana itu belum banyak mendapat perhatian dari semua pihak. Khususnya dunia pendidikan, belum memandang serius perlunya mengenalkan masalah bencana kepada siswanya. Padahal sudah ada modul SPAB yang diterbitkan oleh BNPB.

    Termasuk desain bangunan dan fasilitas pendidikan banyak yang belum ramah anak. Banyak yang dibangun di daerah yang memiliki potensi bencana. Muncullah pertanyaan ‘nakal’, kira-kira apa yang bisa ditempuh oleh banyak pihak ?. Hal ini mengingat bencana adalah urusan bersama. Pemerintah sendiri jelas tidak akan mampu mengatasi bencana sendirian.

    Pertanyaan nakal di atas, tampaknya sulit dijawab. Karena banyak instansi yang memiliki program penanggulangan dengan sasaran yang telah ditentukan. Mereka berjalan sendiri sesuai dengan aturan penganggarannya, juga kepentingannya. Sehingga bisa memunculkan rivalitas diantara mereka, dan masyarakat pun bingung dibuatnya. Ujung-ujungnya semua hanya untuk kepentingan daya serap anggaran tanpa kelanjutan yang memandirikan.

    Sementara ini, yang banyak mempraktekkan program SPAB adalah sekolah swasta. Mereka berkreasi sendiri untuk mengenalkan masalah bencana kepada seluruh elemen sekolah (peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan). Bahkan sudah ada yang secara periodik melakukan simulasi jika terjadi bencana di daerahnya (sesuai dengan potensi bencana yang ada).

    Mereka bisa begitu karena “didukung” oleh kawan-kawan LSM yang memiliki aturan sendiri dalam berkegiatan. Sementara pelaksanaan SPAB di sekolah negeri masih bisa dihitung dengan jari. Belum banyak yang berani melakukan karena masih menunggu pentunjuk dan arahan dari pimpinan diatasnya.

    Disinilah perlu adanya kesadaran terhadap risiko bencana yang mungkin terjadi di daerahnya, sehingga tumbuh semangat membangun kesiapsiagaan dan ketangguhan menghadapi bencana, diantaranya melalui proses internalisasi lewat pembelajaran di sekolah.    

    Semua itu kuncinya adalah, adanya regulasi tentang SPAB yang benar-benar dipahami dan dijalankan oleh semua pihak. Kemudian SPAB diintegrasikan dalam mata pelajaran dan ekstra kurikuler. Jika memungkinkan ada evaluasi penyelenggaraan SPAB seperti program Adi Wiyata, lomba SPAB, jambore SPAB dan sosialisasi SPAB dalam kegiatan masa orientasi siswa.

    Dalam acara NGOPI PB juga muncul pendapat bahwa dana BOS dan dana desa bisa digunakan untuk kegiatan SPAB dan kebencanaan. Seperti penyuluhan dan pelatihan pengurangan risiko bencana, pemasangan rambu evakuasi, pembangunan tempat pengungsian dan sejenisnya.

    Namun semua itu tergantung kepada kebijakan pejabatnya. Guru dan karyawan dibawah hanya bisa menunggu arahan dan perintah atasan. Tidak berani mendahului karena bisa dianggap melanggar aturan.

    Untuk itulaha, maka pertanyaan yang harus dijawab adalah, bagaimana membangun kesepahaman antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah di bawahnya dalam upaya mengimplementasikan gerakan SPAB agar ketika terjadi bencana, anak-anak tidak menjadi korban.

    Risma, dari FPRB Provinsi Aceh, mengatakan bahwa masalah SPAB itu adalah keberlanjutan program dan anggarannya. Semua tidak akan berlanjut jika masih kurangnya kesadaran dalam mengimplementasikan. Termasuk kesadaran dari para pengambil kebijakan, pihak sekolah serta elemen pentahelix lainnya dalam hal pengurangan risiko bencana.

    Sesungguhnyalah, setiap orang itu, secara naluri memiliki kemampuan untuk beradaptasi menghadapi bencana dan dapat segera pulih kembali kehidupannya pasca bencana tanpa menunggu bantuan dari luar. Tinggal bagaimana naluri sadar bencana itu “dikelola” menjadi sebuah kesadaran komunal.

    Mari kita dorong pemerintah mengemas SPAB yang memiliki ruh PRB, dan tidak dikerjakan berbasis proyek saja, tapi benar-benar harus mampu mengukur dampak,” Kata peserta dari Kota Tahu, Kediri, Jawa Timur. Sebuah ajakan yang sangat menohok bagi para pegiat pengurangan risiko bencana. Salam Literasi, saling peduli saling menginspirasi. [eBas/RabuPon-07042021]

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar