Akhir-akhir ini gaung gerakan literasi kebencanan semakin
terdengar dimana-mana. banyak pihak yang
mulai berpaling untuk membantu menggaungkan gerakan literasi kebencanaan
dengan segala kemampuan dan keunikannya, guna membangun budaya sadar bencana.
Tujuannya, diantaranya memberi kesadaran masyarakat akan
pentingnya mengenal potensi bencana yang ada di derahnya. Literasi bencana
adalah bagian dari mitigasi nonstruktural yang fokus pada pemahaman terhadap
bencana melalui edukasi dengan berbagai bentuknya, sesuai kebutuhan dan kearifan
lokal setempat.
Salah satu pengertian Literasi kebencanaan menurut Brown et.al
(2014:267) adalah kapasitas individu dalam membaca, memahami dan menggunakan
informasi tersebut untuk kemudian dibuatkan sebuah kebijakan informasi dengan
mengikuti instruksi-instruksi dalam konteks mitigasi, kesiapsiagaan, respon,
dan pemulihan dari bencana
Jamaah LC yang digagas Cak Alfin pun secara tidak langsung juga
mengarah kepada upaya meningkatkan wawasan anggotanya melalui aktivitas ngopi
bareng. Walaupun tidak ada agenda tertentu dalam berliterasi, namun proses
pertukaran wawasan dan informasi terus mengalir disela pertemuan mempererat
pertemanan, sambil wedangan.
Harapannya, dari pertemuan itu dapat membangun pemahaman dan
kecakapan dalam pengetahuan bencana, yang pada akhirnya mampu menjadi alat melakukan
edukasi/sosialisasi pengurangan resiko bencana untuk peningkatan kapasitas
masyarakat.
Ya, senyatanyalah salah satu peran relawan penanggulangan
bencana adalah melakukan edukasi pengurangan risiko bencana dan pelatihan
penanggulangan bencana. Jika memungkinkan, juga melakukan pendampingan pasca
pelatihan, untuk menumbuhkan budaya sadar bencana bagi masyarakat penerima
manfaat.
Artinya, masyarakat yang di daerahnya memiliki potensi bencana,
perlu kiranya ‘disentuh’ dengan literasi kebencanaan agar mereka memiliki
ketangguhan menghadapi bencana. Hal ini wajar, mengingat sebagai wilayah cincin
api, Indonesia menjadi salah satu negara yang rawan bencana. Sudahkah relawan
melakukannya ?, dan apakah sudah berdampak pada ketangguhan masyarakat
menghadapi bencana ?.
Jagongan Jamaah LC memang belum teragendakan secara rutin. Masih
kondisional. Artinya, jika mayoritas sepakat jagongan, ya langsung jalan. Entah
apa yang akan dibicarakan, yang penting bisa ngobrol bareng sambil nyruput
wedang kesukaannya, dalam suasana riang gembira.
Begitu juga dengan komunitas lain pasti punya agenda jagongan
dengan segala gaya tertentu sebagai ciri khas sebuah komunitas. Apayang dilakukan
itu sejalan dengan upaya gerakan literasi yang dapat meningkatkan kapasitas
peserta jagongan.
Misalnya, F-PRB Jatim punya SDSB (sambang dulur sinau bareng),
SRPB Jatim punya Arisan Ilmu, PUSPPITA punya Shodakoh Ilmu, dan masih banyak
lagi versi jagongan komunitas relawan. Sungguh dengan model jagongan itu pasti
banyak informasi yang bermanfaat dalam rangka transfer pengetahuan dan
pengimbasan pengalaman. Tinggal mampu tidak mereka menangkapnya.
Guna mendukung gerakan literasi, tentunya jagongan yang rutin
digelar itu hendaknya dibuat semakin sarat dengan informasi serta media untuk
belajar berekspresi bagi seluruh peserta jagongan. Hal ini dimaknai bahwa
literasi bukan sekedar kemampuan baca tulis semata, tapi lebih dari itu dalam
rangka mengembangkan potensi untuk berpartisipasi dalam lingkungan
masyarakatnya. Sungguh relawan pun perlu berekspresi dengan literasi untuk
membekali diri sebelum turun ke lokasi. Wallahu a’lam bishowab.
[eBas/RabuPaing-21042021]
tetap semangat gaeess....
BalasHapusberkumpul berdialog bersilaturahim saling berbagi pengalaman untuk memperluas wawasan dan meningkatkan kapasitas sebagai relawan yang bisa berperan sesuai kemampuan, kesehatan dan keuangan.
ini penting gaeess... agar kehidupan rumah tangga kalian tidak terdampak aktivitas kerelawanan kalian
percuma kalian aktif mengevakuasi penyintas tapi ternyata kehidupan keluarga kalian juga di evakuasi oleh kerabat dan saudara kalian
itu pendapat pribadi lho ya....
kalian boleh setuju boleh tidak setujua karena hidup itu adalah pilihan