Beberapa
bulan yang lalu, Fatoni, salah seorang pengurus FPRB JATIM, adalah orang yang
paling getol menanyakan sekaligus mendorong untuk menyegerakan terbentuknya
FPRB Kota Surabaya. Ini penting agar semua Kabupaten/Kota di Jawa Timur
terbentuk FPRB. Walaupun nyatanya masih ada Kabupaten/Kota yang masih enggan
membentuknya.
Sementara
pengurus yang berdomisili di Kota Surabaya belum siap untuk bergerak mengupayakan
terbentuknya FPRB, dengan berbagai alasan. Termasuk adanya masalah kebijakan di
era wali kota baru dalam hal pengangkatan kepala Dinas (0rganisasi perangkat
daerah).
Muncullah
sosok Ninil Jannah, yang mencoba mengumpulkan beberapa pihak yang mewakili komunitasnya
untuk diajak menginisiasi terbentuknya FPRB Kota Pahlawan, yang katanya
akademisi dan praktisinya banyak dan paham akan pentingnya berforum. Namun sayang,
karena tidak ada yang “menggerakkan” maka
semuanya terkesan tiarap sambil mencari peluang untuk dirinya sendiri.
Mbak
Ninil, begitu panggilan akrabnya, beberapa kali mengajak jagongan membahas
upaya pembentukan FPRB. Beberapa komunitas relawan diundang untuk jagongan. Sayang
akademisi dan praktisinya (apalagi birokratnya), belum ada yang berkenan
menghadiri jagongan yang digelar Mbak Ninil secara “garingan”.
Jagongan
demi jagongan digelar dalam rangka membangun kesepahaman, sesuai pesan dari
buku panduan pembentukan FPRB. Peserta yang datangpun masih dari unsur
masyarakat (relawan), sementara elemen pentahelix yang lain belum ada yang
berkenan hadir di arena jagongan.
Ya,
semua pasti memaklumi bahwa, sudah menjadi kebiasaan jika mengundang mereka
harus ada sesajennya. Sementara peserta jagongan rata-rata tidak memiliki
kemampuan untuk menyiapkan sesajen. Sehingga wajar jika ajakan jagongan
disambut dengan dingin.
Kegiatan
inisiasipun terhenti ketika bencana melanda Kota Batu, yang dilanjutkan di
daerah lain, termasuk bencana awan panas guguran Gunung Semeru, yang di
dalamnya muncul permasalahan ikutan. Seperti adanya oknum yang menendang
sesajen.
Sebenarnya,
beberapa pihak berkeinginan mengadakan jagongan dalam rangka menginisiasi
pembentukan FPRB, namun tidak terlaksana karena kesibukan. Sehingga gairah jagonganpun
semakin melemah, bahkan tidak ada lagi yang mau berteriak ngajak jagongan.
Sukurlah,
tetiba ada pihak yang menamakan diri Global
Future Cities Program (GFCP) dengan membawa dana dan agendanya, mengadakan
FGD dengan Pemkot untuk membentuk FPRB Kota Surabaya. Tentu, siapapun dari
elemen pentahelix, pasti “sreminthil”
jika diundang GFCP, yang tentunya tidak “garingan”
dan pastinya menyenangkan.
Masalahnya
kemudian, apakah orang-orang GFCP sudah
kontak dengan mbah Dharmo dan kawan-kawan terkait dengan kegiatannya ?. atau
mereka cukup main “slonong boy” untuk
upaya pembentukan FPRB Kota Surabaya ?. ya, memang tidak ada aturan dalam
pembentukan FPRB. Sehingga dialog partisipatif antar pihak bisa diabaikan.
Jangan-jangan,
yang dipentingkan adalah tersedianya fasilitas yang memadai untuk membentuk
forum, tanpa harus melalui tahap-tahap seperti yang ada di buku pedoman
pembentukan FPRB. Sehingga keterwakilan semua elemen pentahelix menjadi tidak
penting. Termasuk siapa yang dilibatkan
dalam kegiatan FGD ini, tergantung selera penyandang dana dan birokratnya.
Semoga
orang-orang GFCP bisa segera menindaklanjuti hasil FGD dengan menyusun struktur
kepengurusan FPRB Kota Surabaya beserta program-programnya. Sehingga harapan
Fatoni lewat postingan selama ini bisa terwujud, dan Ketua FPRB Kota Surabaya
terpilih segera berkonsultasi terkait pengadaan atribut FPRB agar tidak
tertinggal dengan lainnya. Selamat datang FPRB Kota Surabaya. Kiprahmu di tahun
yang bershio macan, tentang praktek baik dalam PRB ditunggu oleh banyak pihak.
[eBas/RabuKliwon-19012022]
10 hal yang harus diketahui tentang FPRB ini, diantaranya
BalasHapus1. FRPB adalah perwujudan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana di daerahnya.
2. FPRB terdiri dari perwakilan lembaga usaha, akademisi, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, media massa, donor, organisasi profesi/keahlian, legislative, yudikatif, dan organisasi perangkat daerah, serta relawan penanggulangan bencana.
3. FPRB adalah mitra dari BPBD Provinsi maupun BPBD Kab/Kota. FPRB bukan saingan BPBD.
4. FRPB dibentuk berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007, PP No. 21 Tahun 2008, serta secara spesifik diatur dalam Perka BNPB yang dalam proses penyelesaian.
5. FPRB memiliki Visi: Memastikan Pembangunan Daerah Berbasis Pengurangan Risiko Bencana.
6. Memastikan kebijakan yang diambil dapat mengurangi risiko bencana saat ini, tidak menambah risiko bencana baru, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
7. Memastikan kelembagaan penanggulangan bencana dapat bersinergi dengan baik, antara BPBD dengan OPD, antara pemerintah daerah dengan masyarakat dan lembaga usaha.
8. Memastikan anggaran penanggulangan bencana cukup digunakan dalam penanggulangann bencana sesuai dengan risiko bencana di daerahnya.
9. Memastikan pemberdayaan masyarakat dilakukan di daerah dalam membangun ketangguhan terhadap bencana.
10. Target bersama memastikan 7 Objek Ketangguhan : Rumah/Hunian, Sekolah/Madrasah, Puskesmas/RS, Pasar, Rumah Ibadah, Kantor, dan Prarasana Vital.
pembentukan forum berdasarkan partisipatif, yaitu inisiasi FPRB melibatkan multi pemangku kepentingan dan para pihak terkait dalam inisiasi dan semua tahapan pembentukannya.
BalasHapusinisiasi proses pembentukan forum melibatkan organisasi atau aktor kunci di daerah yg melaksanakan:
1. identifikasi aktor kunci, pemangku kepentingan dan para pihak ...
2. pemetaan kapasitas ....
3. pengembangan komunikasi ....
4. pengembangan data dan informasi arah kebijakan ....