Minggu, 06 Agustus 2023

TANPA KESADARAN ITU OMONG KOSONG

Diakhir tahun pengabdiannya, pengurus SRPB Jatim menggelar kegiatan yang layak diacungi jempol karena keberaniannya menggelar pelatihan berbayar. Ya, mereka menggelar pelatihan Training of Fasilitator SPAB di sebuah Hotel, dimana pesertanya wajib membayar cukup mahal untuk ukuran kantongnya relawan.

Walau pun berbayar, ternyata pesertanya sangat antusias. Kuota yang disediakan pun terpenuhi. Bahkan ada beberapa peserta yang ditolak karena terlambat mendaftar. Banyaknya peserta yang belum tertampung ini akan menjadi catatan tersediri bagi pengurus SRPB Jatim, untuk dijadikan program rutin, disamping Arisan Ilmu Nol Rupiah yang menjadi ikonnya.

Sungguh, ternyata atensi relawan untuk menjadi fasilitator SPAB sangat menggembirakan. Hal ini sangat membantu BNPB dan Seknas SPAB untuk mencetak fasilitator SPAB yang benar-benar mumpuni, dalam rangka upaya sosialisasi pengurangan risiko bencana melalui program SPAB, sehinga cita-cita membangun ketangguhan dan budaya sadar bencana bisa segera terwujud.

Namun, upaya membangun kesadaran itu tidaklah mudah. Perlu proses panjang dan berkesinambungan. Hal ini diakui oleh Dadang Iqwandi, salah seorang pejabat BPBD Provinsi Jawa Timur,  bahwa yang terberat menjadi Fasilitator itu adalah memunculkan Kesadaran Masyarakat/Komunitas. Bukan sekedar menyusun dokumen sebagai kelengkapan laporan. 

“Dokumen itu bisa dipelajari dan tinggal isi form yang sudah tersedia,” Katanya saat bicara dihadapan peserta ToF SPAB yang digelar SRPB Jatim, sabtu (05/08/2023).

Apa yang dilontarkan Dadang, bukanlah isapan jempol belaka. Karena memang itulah kenyataannya. Dengan kata lain semua upaya pengurangan risiko bencana, baik itu melalui program destana, katana, SPAB, serta program baru yang bernama kencana, kecamatan tangguh bencana, tidaklah mungkin mampu menumbuhkan kesadaran jika hanya “sekali sentuh” saja.

Sementara, yang namanya program pemerintah itu biasanya jarang ada tindak lanjutnya. Sehingga tujuan program hanya semacam “pemicu” untuk kemudian masyarakatlah yang harus melanjutkan program tersebut secara mandiri.

Artinya, jika masyarakat (dan aparat setempat) menganggap program itu bermanfaat, pastilah mereka akan berupaya menindak lanjutinya secara swadaya. Termasuk membuat kebijakan untuk menggunakan dana desa/kelurahan.

Namun nyatanya, program seperti SPAB, oleh dinas pendidikan belum dianggap prioritas. Sehingga pelaksanaan SPAB hanya mengandalkan anggarannya BNPB atau BPBD.

Pertanyaannya, bagaimana bisa menyelamatkan warga sekolah jika terjadi bencana, kalau program SPAB belum menjadi prioritas yang dianggarkan ?. Apakah fasilitator SPAB rela selalu menggunakan “Dompet Pribadi” untuk melakukan kontrak fasilitasi ?. Mari berfikir jernih.

Dengan kata lain, untuk menumbuhkan kesadaran harus ada sarana pendukungnya. Tanpa itu ya program hanya tinggal program yang enak diceritakan. Termasuk adanya istilah, jika terjadi bencana harus “sat set bin wat wet”. Ini juga memerlukan kesadaran, berupa penyediaan sarana yang mensupport agar dapat ber satset bin wat wet

Hanya komunitas relawan tertentulah yang dapat bersat set bin wat wet karena adanya support sarana yang memadai. Entah dari mana, yang penting nyaman dan menambah semangat melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan.

Sungguh, Dadang Iqwandi berkata apa adanya. Jujur tanpa kemunafikan. Harapannya tentulah relawan harus menyadari bahwa program SPAB dari BPBD yang dilaksanakan itu hanyalah sekedar sosialisasi. Jika ada yang bilang sekolah sudah tangguh bencana dalam sekali sentuh, itu hanyalah bahasa program kerja berbasis daya serap anggaran.

Dadang juga bilang bahwa praktek PRBBK tanpa Kesadaran itu Omong Kosong. Jelas hal ini terkait dengan istilah tidak ada makan siang yang gratis. Dengan kata lain, agar tidak menjadi omong kosong perlu adanya support agar tumbuh kesadaran.

Termasuk kesadaran dari para perancang program agar memikirkan juga anggaran bagi mereka yang akan melaksanakan upaya menumbuhkan kesadaran akan kesiapsiagaan melalui program SPAB.

Begitu juga nanti pasca TOF SPAB ini, harus ada kesadaran dari “panitia” untuk memberi kesempatan kepada alumni TOF mengaplikasikan ilmunya, dengan cara dilibatkan dalam Tim SPAB melalui model pembelajaran team teaching. Dengan risiko, jatah kontrak fasilitasi terkurangi karena harus dibagi lagi.

Semoga pelatihan Training of Facilitator SPAB yang diselenggarakan tidak gratis oleh SRPB Jatim ini, dapat menginspirasi tumbuhnya kesadaran pihak kemendikbud dan ristek untuk menjalankan peraturan yang dibuat terkait dengan SPAB sekaligus anggaran pendukungnya. Tanpa itu, semuanya hanyalah omong kosong, sekedar menghabiskan anggaran belaka. [eBas/SeninKliwon-07082023]

5 komentar:

  1. istilah yg dilemparkan oleh mas Dadang Iqwandi ttg PRBBK tanpa kesadaran adalah omong kosong dan SPAB itu diperlukan kesadaran adalah benar adanya. karena kesadaran menjalankan program itu ada banyak motivasi. mulai dari sekedar menjalankan proyek saja, atau sekedar ikut-ikutan atau kesdaran itu tergantung dari kebijakan dan prioritas pejabatnya.

    namun ada juga kesadaran itu muncul kerana adalanya rasa kepedulian terhadap sesama/ namun rasa ini kayaknya jarang dimiliki pejabat

    BalasHapus
  2. Nah itu suara rakyat sudah diwakili oleh p. Dadang dan memang itulah kenyataannya

    BalasHapus
  3. Saya lebih mengembalikan tanggungjawab utama program SPAB ini kepada pemangku utama, kalau tidak salah Kemendikbudristek sampai turunannya ( Ini tanpa mengesampingkan peluang peran dari yang lain. Karena kita sama-sama tau bahwa Bencana adalah Urusan Bersama), dimana mereka sampai saat ini dan sampai dimana untuk urusan SPAB. Kerja baik untuk teman-teman SRPB Jatim yang telah mengadakan TOF dimaksud.

    BalasHapus
  4. Kemdikbud ristek hanya menjalankan program membuat peraturan yg sudah dianggarkan dlm RAB tahun anggaran berjalan dsn itu sudah dilakukan sesuai daya serap anggaran serta sudah dilapirkan shg lolos dari incaran pemeriksaan BPK, ITJEN DAN KPK

    BalasHapus
  5. tugas kemdikbud hanya membuat peraturan saja. masalah peraturan itu dijalankan atau tidak bukan lagi urusan kemdikbud. apalagi anggarannya tidak ada, yadi ya dinas pendidikan dibawah tidak mau bergerak

    BalasHapus