Selasa, 29 Agustus 2023

MUKIDI SUKA RONDO ROYAL SAMBIL NGOPI

Hari ini, selasa pahing (29/08/2023), saya bertemu Mukidi, konco cangkruk di warkop menghabiskan waktu sambil ngopi dan nggedabrus omong klobot yang cuma kemresek tanpa melihat urgensinya. Disini yang penting ngopi sambil bersulang cerita mempererat paseduluran.

“Piye kabare, Jare Kaspo kemarin sampiyan ikut rapat konsultasi akhir pedoman umum gedsi dalam penanggulangan bencana di kantor BPBD Jatim ya?,” Kata Mukidi

“Iya benar, saya diutus Pak Ketua forum untuk ikut berdiskusi mencermati naskah yang akan segera ditandatangani Ibu gubernur Khofifah,” Jawab Saya sambil memesan kopi ireng rodok pait agar tidak kena diabit.

“Waduh, saya kok pesimis ya si Ibu mau tangda tangan. Karena di dalam naskah itu juga ada istilah transgender yang identik dengan kaum LGBT.” Kata Mukidi sambil nyakot rondo royal yang masih hangat.

Masih menurut Mukidi, saat ini dunia sedang gencar menerima kampanye pelegalan LGBT, namun tidak sedikit negara yang menolak. Termasuk Indonesia. Kalau negara saja melarang, terus bagaimana nasib naskah yang bermuatan pengarusutamaan gedsi dalam penanggulangan bencana. Apakah tidak rawan benturan ?. Apalagi golongan islam. Pasti akan menentangnya.

Memang, masih menurut Mukidi yang sok tahu (kemeruh), diakui atau tidak, keberadaan mereka itu ada ditengah tengah kita. Mereka tetap eksis dengan aktivitasnya disektor informal, dan biasanya menyendiri (tertutup). merekapun juga menghadapi diskriminasi dalam beberapa hal. Diantaranya, masalah pekerjaan dan sulit bersaing di lapangan kerja. Termasuk layanan kesehatan.

“Benar Cak Muk, kemarin waktu diskusi, peserta dari Bapeda, mengatakan bahwa kelompok transgender, orientasi seksual dan sejenisnya itu belum ada aturannya,” Kata Saya mencoba mengingat pernyataan peserta rapat kemarin, yang menginginkan transgender dimasukkan ke dalam kelompok marginal.

Bahkan ada kekhawatiran dari peserta, jika kelompok ini diberi ruang, maka bisa jadi, mereka akan meminta lebih akan hak-haknya.

Namun, semangat penyusunan pedoman umum ini hanyalah berupaya untuk melibatkan kelompok rentan (termasuk transgender), dalam penanggulangan bencana. Sejak fase pra bencana, tanggap darurat, dan pasca bencana.

“Gak usah mikir yang tidak tidaklah, di dalam naskah itu kita hanya bicara dari sisi kemanusiaannya, bukan yang lain. Karena, di beberapa kasus, kelompok rentan itu masih sering terabaikan,” Ucap Saya sedikit kemeruh, niru Mukidi.

Dalam naskah ini, keterlibatan kelompok rentan ini diantaranya saat pra bencana, adalah melakukan pendataan kepada sesamanya agar diperoleh data yang lengkap. Sehingga, ketika terjadi situasi tanggap darurat, kelompok rentan akan terlayani dengan cepat kebutuhannya.

Pada saat tanggap darurat, kelompok rentan yang memiliki kapasitas, juga dapat diperbantukan di dapur umum, di posko untuk mengolah data, dan klaster lain yang sesuai.

“Wah luar biasa sekali naskahnya, semoga Ibu gubernur berkenan tanda tangan walau disitu ada LGBT nya,” Kata Mukidi, tetap setia menikmati rondo royal yang mulai dingin.

Mungkin, masih kata Mukidi, masalahnya adalah, upaya pemastian digunakannya naskah ini dalam praktek penanggulangan bencana di lapangan. Seringkali jauh panggang dari api, karena pengesahan naskah yang belum dibarengi oleh ketersediaan anggaran pendukung.

Contohnya. Keberadaan permendikbud 33 tahun 2019, tentang SPAB. Dimana sampai sekarang masih banyak orang dinas pendidikan yang belum membacanya. Bahkan tidak sedikit yang belum pernah dengar ada permendikbud 33, sehingga mereka cuek bebek terhadap program SPAB yang sementara ini “dijalankan” BNPB/BPBD. Pungkas Mukidi sambil nyruput kopi. tak terasa Mukidi menghabiskan rondo royal sebanyak lima biji. [eB]

 

 

 

 

 

 

1 komentar: