Selasa, 13 Oktober 2020

MITIGASI BANJIR DAN LONGSOR DI SAAT MUSIM HUJAN

Akhir September berlanjut ke Oktober merupakan musim pancaroba yang mulai menyapa warga. Hujan yang turun sporadis di beberapa wilayah merupakan pertanda musim penghujan akan tiba. Alam telah member tanda agar warganya menyiapkan segala sesuatunya agar bisa mengurangi dampak yang mungkin terjadi saat musim hujan dengan segala ancamannya.

Banjir dan longsor adalah ancaman utama. Khususnya bagi warga yang bertempat tinggal di sekitar sungai dan bebukitan. Pemukiman warga pun tidak luput dari ancaman banjir jika sampah dan endapan lumpur dibiarkan memenuhi got, sehingga airnya meluap kemana-mana.

Tentulah diperlukan persiapan untuk mengantisipasi datangnya potensi bencana. diantaranya adalah melakukan edukasi kepada warga melalui berbagai sarana yang ada. Seperti arisan warga, PKK, kelompok yasinan, karang taruna dan lainnya. Termasuk siswa sekolah melalui kegiatan ekstrakurikuler.

Kegiatan edukasi ini merupakan bagian dari mitigasi bencana, yaitu serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana).

Dalam kegiatan tersebut, warga diajak untuk mengenali apa dan mengapa terjadi banjir, apa penyebabnya dan upaya apa yang harus dilakukan untuk mengurangi dampak banjir, serta apa yang harus dilakukan saat banjir dan pasca banjir.

Begitu juga dengan ancaman bencana longsor. Semua harus dipahamkan kepada warga. Termasuk mengadakan kegiatan penghijauan di sepanjang bantara sungai dan daerah yang rawan longsor, berswadaya membuat jalur dan pemasangan rambu-rambu evakuasi, serta menentukan tempat evakuasi sementara. Semua bisa dilakukan secara bergotong royong.

Membangun plengsengan, pembuatan sumur resapan, cekdam dan pintu air dan pembangunan fisik lainnya, juga merupakan rangkaian dari upaya mitigasi bencana (ini urusannya pemerintah)

Sementara untuk siswa sekolah, Sejak beragam kejadian bencana besar di Indonesia, pendidikan pengurangan risiko bencana dianggap penting untuk dilaksanakan melalui sekolah dengan pendekatan partisipasi siswa. Hal ini sebagai upaya menciptakan generasi yang memiliki budaya tangguh bencana.

Siswa harus diajari bagaimana membantu penyelamatan asset sekolah. Seperti buku perpustakaan, arsip-arsip penting, Komputer dan sejenisnya. Sudah waktunya sekolah memasang rambu-rambu evakuasi dan titik kumpul. Tidak ada salahnya jika sekolah memiliki ruangan yang representatif dan aman untuk menyelamatkan asset sekolah.   

Untuk itulah pihak sekolah hendaknya membuka diri jika ada relawan ingin melakukan sosialisasi satuan pendidikan aman bencana (SPAB), yaitu satuan pendidikan yang menerapkan standar sarana dan prasarana yang aman dan memiliki budaya keselamatan yang mampu melindungi warganya dari bahaya bencana.

Mariana dalam siagabencana.com, mengatakan bahwa Konsep SPAB ini terdiri atas tiga pilar: pilar 1 mengenai fasilitas belajar yang aman, pilar 2 mengenai manajemen penanggulangan bencana di sekolah, pilar 3 mengenai pendidikan pencegahan dan pengurangan risiko bencana.

Masih kata fasilitator pengirangan risiko bencana ini, Ada 10 Indikator kunci minimal dalam SPAB: (1) Meningkatnya pengetahuan warga sekolah mengenai satuan pendidikan aman bencana; (2) Memiliki konstruksi yang memenuhi standar bangunan tahan gempa; (3) Memiliki Sarpras (Alat pemadam api ringan, Pelampung, Tambang, Rambu kebencanaan, P3K, Megaphone); (4) Terkumpulnya informasi mengenai risiko, ancaman, dan kapasitas di sekolah; (5) Memiliki kebijakan sekolah aman bencana (SK kepsek); (6) Memiliki prosedur tetap kedaruratan; (7) Memiliki tim siaga bencana; (8) Memiliki peta & jalur evakuasi; (9) Terpasangnya media kampanye; (10) Melakukan simulasi secara rutin.

Kini, memasuki pertengahan bulan oktober, tentu berbagai pihak yang membidangi kebencanaan sudah mulai menyiapkan diri menghadapi datangnya musim penghujan dengan segala dampaknya. Termasuk antisipasi ancaman tsunami di pantai selatan jawa, seperti hasil penelitian dari ITB.

Ya, semuanya perlu disiapkan dengan melibatkan elemen pentahelix dibawah koordinasi BPBD setempat. Semua ini dalam rangka membangun kesiapsiagaan warga di kawasan rawan bencana. yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan  untuk mengantisipasi  bencana  melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Salam Tangguh. [eBas/SelasaPahing-13102020]

2 komentar:

  1. Latihan kesiapsiagaan bencana diartikan sebagai bentuk latihan koordinasi, komunikasi dan evakuasi dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (pemerintah dan masyarakat umum). Seluruh pihak yang terlibat mensimulasikan situasi bencana sesungguhnya menggunakan skenario bencana yang dibuat mendekati atau sesuai kondisi nyata.

    BalasHapus
  2. Gerakan untuk mewujudkan SPAB ini seringkali kurang berjalan mulus. Berbagai tantangan dihadapi baik perluasan isu maupun keberanjutannya. Beragam alasan dikemukakan warga satuan pendidikan (terutama kepala sekolah dan guru). Mulai dari masalah pendanaan, tidak ada waktu untuk melaksanakan kegiatannya, tidak cukup waktu untuk menyisipkan muatan kebencanaan ke mata pelajaran, tidak mengetahui apa yang harus dilakukan, tidak cukup sumber daya manusia untuk melakukannya, hingga yang paling menyebalkan adalah keyakinan kuat (jika tidak mau dikatakan kurang menyadari) bahwa tidak akan terjadi bencana di lingkungan sekolahnya. Atau kali lain pernah juga ada yang menyatakan bahwa pendidikan bencana bukan menjadi prioritas untuk diajarkan di sekolah, karena tidak ada dalam ujian nasional, atau tidak ada instruksi dari kepala dinas

    BalasHapus