Dalam
berbagai literature dikatakan bahwa gerakan Literasi adalah kemampuan
mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai
aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara
dalam rangka mendorong terjadinya perubahan sikap dan perilaku yang lebih maju
dan produktif.
Menurut
Alberta dalam sevima.com (2020), Literasi ialah kemampuan membaca dan menulis,
menambah pengetahuan dan ketrampilan, berpikir kritis dalam memecahkan masalah,
serta kemampuan berkomunikasi secara efektif yang dapat mengembangkan potensi
dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
Sekretariat
bersama relawan penanggulangan bencana (SRPB) Jawa Timur, sebagai wadah
berkumpulnya berbagai organisasi relawan, diharapkan juga turut berkontribusi
dalam gerakan literasi. Khususnya literasi dibidang kebencanaan kepada masyarakat.
seluruh organisasi relawan yang bergabung dalam SRPB Jawa Timur pastilah bisa
melakukan sosialisasi, diseminasi, edukasi terkait dengan literasi. Bahkan
dimungkinkan bisa memerankan diri sebagai influencer.
Dengan
literasi bencana, selain tumbuh kesadaran akan kesiapsiagaan menghadapi bencana,
juga mampu beradaptasi dengan lingkungannya yang berpotensi terjadinya bencana,
sehingga dapat mengurangi banyaknya korban harta, benda, bahkan nyawa.
Terkait dengan
literasi bencana, Lilik Kurniawan, dalam webinar literasi kebencanaan di
Indonesia, minggu (13/12/2020), mengatakan bahwa, perlu bagi kita untuk selalu
mempelajari setiap kejadian bencana, bukan hanya ancamannya saja tetapi juga
kerentanan dan kesiapsiagaan juga kapasitasnya. Sehingga kita bisa kaya dengan
literasi kebencanaan dan membantu mitigasi bencana di Tanah Air.
Menurut
Hendra Puji Saputra, literasi bencana diartikan sebagai kemampuan masyarakat
membaca tanda-tanda alam, perubahan alam, dan kerusakan alam sehingga terwujud
dalam mitigasi bencana. Dalam pengertian yang lain, literasi bencana juga
sebenarnya merupakan salah satu prasyarat penting dari proses mitigasi bencana
guna mempersiapkan masyarakat yang tangguh bencana.
Bila
masyarakat memiliki literasi bencana yang baik, maka tingkat kesiapsiagaan dan
kewaspadaan masyarakat terhadap bencana dapat dilakukan secara sadar. Hasilnya,
masyarakat dapat melakukan antisipasi lebih dini dan beradaptasi ketika
menghadapi kejadian bencana. (Lombokpost-20-10-2020).
Terkait
dengan literasi bencana, tentulah masing-masing organisasi relawan telah
memiliki program edukasi kepada masyarakat terkait dengan literasi bencana, dalam
hal ini upaya pengurangan risiko bencana. biasanya kegiatan ini dikemas dalam
bentuk diklat dan bakti sosial berupa pembagian sembako dan program
penghijauan. Biasanya yang menjadi sasaran adalah masyarakat yang berdomisili
di daerah rawan bencana.
Tidak ada
salahnya jika mereka duduk bersama berbagi informasi dan tukar pengalaman
terkait dengan gerakan literasi kebencanaan yang selama ini telah menjadi
agenda masing-masing. Alangkah indahnya jika berbagai organisasi mitra SRPB
Jawa Timur berkenan membuat program keroyokan melakukan gerakan literasi
kebencanaan, dibawah ‘komando’ BPBD
setempat.
Apalagi
BPBD Provinsi Jawa Timur sekarang telah berhasil merealisasikan gagasannya
pusat pelatihan dan penelitian Indonesia tangguh (PUSPPITA) untuk mengadakan mobil
edukasi penanggulangan bencana (MOSIPENA), tidak ada salahnya jika gerakan
literasi kebencanaan bisa dikerjakan bersama-sama oleh seluruh elemen
pentahelix, dengan memanfaatkan keberadaan mosipena.
Mengingat
pentingnya Literasi bencana yang berkaitan dengan membangun kesadaran masyarakat
tentang ketangguhan individu, dan komunitas, maka perlu diupayakan pendampingan
dengan melibatkan tokoh masyarakat setempat.
Jika
kesadaran ini telah terbentuk, maka dimungkinkan masyarakat akan mampu
melakukan upaya pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan secara mandiri, tidak
menggantungkan bantuan dari pihak luar.
Untuk
itulah, gerakan literasi bencana harus menjadi salah satu agenda penting guna
meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan masyarakat dalam menghadapi bencana.
tentu ini memerlukan proses panjang disertai pendampingan dan pembinaan yang
terprogram agar masyarakat benar-benar paham.
Dalam
teori difusi inovasi, dikatakan bahwa masyarakat dapat berubah melalui proses
penerimaan gagasan baru dalam mengerjakan sesuatu melalui kegiatan komunikasi
dalam jangka waktu tertentu sehinga akan terjadi perubahan kebiasaan di dalam
masyarakat. Dengan gerakan literasi itulah masyarakat paham tentang pengurangan
risiko bencana.
Sebagai
sebuah gerakan, tentu tidak bisa lepas dari dukungan berbagai pihak. Semua, secara
bersama-sama begerak menjalankan program literasi yang merupakan kesepakatan
bersama sesuai kapasitasnya. Sehingga dalam gerakan ini tidak ada yang merasa
hebat, mendominasi dan ditinggalkan.
Dengan demikian,
pandemi covid-19 yang masih mematikan ini tidak harus menjadikan relawan yang
tergabung dalam SRPB Jawa Timur berhenti beraktivitas menebar manfaat bagi
sesama. Tetap terus bergerak dan produktif, walau pun secara daring memanfaatkan
media sosial yang ada.
Ingat,
dimasa pandemi ini semua harus mengutamakan kesehatan dan keselamatan dengan
mematuhi protokol kesehatan. Karena, jika seorang relawan terpapar, maka 98%
risiko ditanggung sendiri. Salam Tangguh, Salam Sehat.
[eBas/JumatPahing-05022021].
.
pekerjaan rumah yang terbesar bagi SRPB maupun FPRB Jawa Timur adalah bagaimana mewujudkan konsep sinergi pentahelix dalam kerja2 kemanusiaan di bidang pengururangan risiko bencana dan penanggulangan bencana.
BalasHapusseperti diketahui pentahelix itu terdiri dari pemerintah/birokrasi, akademisi, dunia kerja, media massa, dan masyarakat (yg didalamnya ada relawan).
konon dlm kerja-kerja kemanusiaan itu haruslah saling menguatkan bukan saling melemahkan. kiranya pernyataan di atas perlu di rembug dalam sebuah sarasehan untuk menyamakan langkah untuk mencapai kesepahaman. sehingga pernyataan di atas benar-benar membumi bukan sekedar retorika
tetap semangat, salam tangguh salam sehat
jangan lupa bahagia
ternyata di beberapa lokasi bencana, peran posko induk sering kurang maksimal. sehingga masing2 komunitas relawan membuka pos sendiri dan berkegiatan sendiri tanpa koordinasi dengan bpbd setempat. Paling hanya lapor saat datang saja dan bpbd juga hanya menerima laporan dan tidak ada koordinasi yang terprogram.
BalasHapustermasuk barang2 bantuan yang masuk belum bisa didistribusikan secara merata kepada penyimtas di beberapa titik pengungsian. bahkan ada laporan dari penyintas, yang kesulitan minta bantuan ke posko sehinga penyintas/masyarakat lebih nyaman minta bantuan langsung ke komunitas relawan yang ada.
kejadian2 seperti inilah kiranya bisa menjadikan bahan pembelajaran dalam kegiatan Literasi kebencanaan. seperti Seminar, lokakarya, sarasehan, diklat, rapat, webinar dan siskusi sambil ngopi agar semua pegiat kemanusiaan paham akan SKPDB.
disinilah kiranya bpbd berperan mensosialisasikan SKPDB lewat acara pembinaan/pendampingan kepada relawan