Jumat, 05 Februari 2021

PERAN RELAWAN DALAM GERAKAN LITERASI BENCANA

Dalam berbagai literature dikatakan bahwa gerakan Literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara dalam rangka mendorong terjadinya perubahan sikap dan perilaku yang lebih maju dan produktif.

Menurut Alberta dalam sevima.com (2020), Literasi ialah kemampuan membaca dan menulis, menambah pengetahuan dan ketrampilan, berpikir kritis dalam memecahkan masalah, serta kemampuan berkomunikasi secara efektif yang dapat mengembangkan potensi dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.

Sekretariat bersama relawan penanggulangan bencana (SRPB) Jawa Timur, sebagai wadah berkumpulnya berbagai organisasi relawan, diharapkan juga turut berkontribusi dalam gerakan literasi. Khususnya literasi dibidang kebencanaan kepada masyarakat. seluruh organisasi relawan yang bergabung dalam SRPB Jawa Timur pastilah bisa melakukan sosialisasi, diseminasi, edukasi terkait dengan literasi. Bahkan dimungkinkan bisa memerankan diri sebagai influencer.

Dengan literasi bencana, selain tumbuh kesadaran akan kesiapsiagaan menghadapi bencana, juga mampu beradaptasi dengan lingkungannya yang berpotensi terjadinya bencana, sehingga dapat mengurangi banyaknya korban harta, benda, bahkan nyawa.

Terkait dengan literasi bencana, Lilik Kurniawan, dalam webinar literasi kebencanaan di Indonesia, minggu (13/12/2020), mengatakan bahwa, perlu bagi kita untuk selalu mempelajari setiap kejadian bencana, bukan hanya ancamannya saja tetapi juga kerentanan dan kesiapsiagaan juga kapasitasnya. Sehingga kita bisa kaya dengan literasi kebencanaan dan membantu mitigasi bencana di Tanah Air.

Menurut Hendra Puji Saputra, literasi bencana diartikan sebagai kemampuan masyarakat membaca tanda-tanda alam, perubahan alam, dan kerusakan alam sehingga terwujud dalam mitigasi bencana. Dalam pengertian yang lain, literasi bencana juga sebenarnya merupakan salah satu prasyarat penting dari proses mitigasi bencana guna mempersiapkan masyarakat yang tangguh bencana.

Bila masyarakat memiliki literasi bencana yang baik, maka tingkat kesiapsiagaan dan kewaspadaan masyarakat terhadap bencana dapat dilakukan secara sadar. Hasilnya, masyarakat dapat melakukan antisipasi lebih dini dan beradaptasi ketika menghadapi kejadian bencana. (Lombokpost-20-10-2020).

Terkait dengan literasi bencana, tentulah masing-masing organisasi relawan telah memiliki program edukasi kepada masyarakat terkait dengan literasi bencana, dalam hal ini upaya pengurangan risiko bencana. biasanya kegiatan ini dikemas dalam bentuk diklat dan bakti sosial berupa pembagian sembako dan program penghijauan. Biasanya yang menjadi sasaran adalah masyarakat yang berdomisili di daerah rawan bencana.

Tidak ada salahnya jika mereka duduk bersama berbagi informasi dan tukar pengalaman terkait dengan gerakan literasi kebencanaan yang selama ini telah menjadi agenda masing-masing. Alangkah indahnya jika berbagai organisasi mitra SRPB Jawa Timur berkenan membuat program keroyokan melakukan gerakan literasi kebencanaan, dibawah ‘komando’ BPBD setempat.

Apalagi BPBD Provinsi Jawa Timur sekarang telah berhasil merealisasikan gagasannya pusat pelatihan dan penelitian Indonesia tangguh (PUSPPITA) untuk mengadakan mobil edukasi penanggulangan bencana (MOSIPENA), tidak ada salahnya jika gerakan literasi kebencanaan bisa dikerjakan bersama-sama oleh seluruh elemen pentahelix, dengan memanfaatkan keberadaan mosipena.

Mengingat pentingnya Literasi bencana yang berkaitan dengan membangun kesadaran masyarakat tentang ketangguhan individu, dan komunitas, maka perlu diupayakan pendampingan dengan melibatkan tokoh masyarakat setempat.

Jika kesadaran ini telah terbentuk, maka dimungkinkan masyarakat akan mampu melakukan upaya pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan secara mandiri, tidak menggantungkan bantuan dari pihak luar.

Untuk itulah, gerakan literasi bencana harus menjadi salah satu agenda penting guna meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan masyarakat dalam menghadapi bencana. tentu ini memerlukan proses panjang disertai pendampingan dan pembinaan yang terprogram agar masyarakat benar-benar paham.

Dalam teori difusi inovasi, dikatakan bahwa masyarakat dapat berubah melalui proses penerimaan gagasan baru dalam mengerjakan sesuatu melalui kegiatan komunikasi dalam jangka waktu tertentu sehinga akan terjadi perubahan kebiasaan di dalam masyarakat. Dengan gerakan literasi itulah masyarakat paham tentang pengurangan risiko bencana.

Sebagai sebuah gerakan, tentu tidak bisa lepas dari dukungan berbagai pihak. Semua, secara bersama-sama begerak menjalankan program literasi yang merupakan kesepakatan bersama sesuai kapasitasnya. Sehingga dalam gerakan ini tidak ada yang merasa hebat, mendominasi dan ditinggalkan.

Dengan demikian, pandemi covid-19 yang masih mematikan ini tidak harus menjadikan relawan yang tergabung dalam SRPB Jawa Timur berhenti beraktivitas menebar manfaat bagi sesama. Tetap terus bergerak dan produktif, walau pun secara daring memanfaatkan media sosial yang ada.

Ingat, dimasa pandemi ini semua harus mengutamakan kesehatan dan keselamatan dengan mematuhi protokol kesehatan. Karena, jika seorang relawan terpapar, maka 98% risiko ditanggung sendiri. Salam Tangguh, Salam Sehat. [eBas/JumatPahing-05022021].

   

 

.

 

2 komentar:

  1. pekerjaan rumah yang terbesar bagi SRPB maupun FPRB Jawa Timur adalah bagaimana mewujudkan konsep sinergi pentahelix dalam kerja2 kemanusiaan di bidang pengururangan risiko bencana dan penanggulangan bencana.
    seperti diketahui pentahelix itu terdiri dari pemerintah/birokrasi, akademisi, dunia kerja, media massa, dan masyarakat (yg didalamnya ada relawan).
    konon dlm kerja-kerja kemanusiaan itu haruslah saling menguatkan bukan saling melemahkan. kiranya pernyataan di atas perlu di rembug dalam sebuah sarasehan untuk menyamakan langkah untuk mencapai kesepahaman. sehingga pernyataan di atas benar-benar membumi bukan sekedar retorika

    tetap semangat, salam tangguh salam sehat
    jangan lupa bahagia

    BalasHapus
  2. ternyata di beberapa lokasi bencana, peran posko induk sering kurang maksimal. sehingga masing2 komunitas relawan membuka pos sendiri dan berkegiatan sendiri tanpa koordinasi dengan bpbd setempat. Paling hanya lapor saat datang saja dan bpbd juga hanya menerima laporan dan tidak ada koordinasi yang terprogram.
    termasuk barang2 bantuan yang masuk belum bisa didistribusikan secara merata kepada penyimtas di beberapa titik pengungsian. bahkan ada laporan dari penyintas, yang kesulitan minta bantuan ke posko sehinga penyintas/masyarakat lebih nyaman minta bantuan langsung ke komunitas relawan yang ada.
    kejadian2 seperti inilah kiranya bisa menjadikan bahan pembelajaran dalam kegiatan Literasi kebencanaan. seperti Seminar, lokakarya, sarasehan, diklat, rapat, webinar dan siskusi sambil ngopi agar semua pegiat kemanusiaan paham akan SKPDB.
    disinilah kiranya bpbd berperan mensosialisasikan SKPDB lewat acara pembinaan/pendampingan kepada relawan

    BalasHapus