“Mohon diperbanyak lagi relawan yang direkrut menjadi fasilitator Destana maupun fasilitator SPAB, agar tidak diborong oleh orang yang itu-itu saja. Sehingga seolah menjadi matapencaharian saja. Bagaimana jika dari lembaga/komunitas relawan melakukan fasilitasi Destana maupun SPAB secara gratis sesuai standar BNPB, apakah hasilnya juga bisa diakui oleh BNPB?.”.
Pertanyaan sekaligus
harapan itu muncul dalam kegiatan webinar yang diselenggarakan oleh Pusdiklat
PB BNPB, selasa (04/05/2021), dengan topik, Dari Sentul Kita Sharing. Program
baru ini digelar BNPB dalam rangka berbagi pengalaman penanganan bencana di
berbagai daerah di Indonesia.
Kali ini
yang diceritakan adalah penanganan bencana gempa di Malang Selatan beberapa
waktu yang lalu. Dimana, saat terjadi gempa, daerah yang terdampak selain
Kabupaten Malang adalah Kabupaten Lumajang, Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten
Blitar. Sementara daerah lain hanya merasakan goyangannya saja.
Saat
pemateri memaparkan presentasinya, di kolon chat sudah penuh dengan aneka
pertanyaan. Termasuk tanya daftar hadir, materi dan sertifikat webinar. Ya,
maklum dimasa pandemi ini semua lagi demam webinar untuk mengkoleksi sertifikatnya.
Juga muncul pengakuan dari
pejabat BPBD Kabupaten Malang, tentang Konsep SKPBD yang belum berjalan karena kendala SDM, serta dokumen renkon yang diaktivasi
menjadi renop itu
malah memunculkan
kesan ketidak siapan dalam menangani bencana.
Sementara
itu, relawan masih banyak yang datang belum daftar dan laporan ke desh relawan.
Mereka berfikir, yang penting langsung bekerja di lokasi membantu sesama. Mungkin selama ini
relawan belum tahu manfaat data keberadaannya. Sedangkan pengelola desk
relawan pun, konon juga masih sibuk melakukan pendataan relawan di lokasi, dan
belum memberi info setiap pergerakan relawan di lokasi.
Di sisi
lain, banyaknya rombongan
tamu pejabat ke lokasi melihat kerusakan dan korban bencana sambil membagikan bingkisan, yang
dilanjutkan dengan saling
berfoto untuk bukti fisik, ternyata menjadi masalah sendiri bagi BPBD setempat.
Bahkan sering kali
terjadi, masing-masing OPD datang sendiri membagikan bantuan, kemudian balik
kanan setelah foto bersama tanpa memberitahu BPBD sebagai penguasa Pos Komando. Ini menandakan bahwa
ego sektoral itu masih ada diantara OPD. Belum ada sinergitas seperti yang
sering diomongkan dalam rapat.
Sungguh, webinar ini
sangat bermanfaat untuk kawan-kawan di Pusdiklat Penanggulangan Bencana,
sebagai bahan masukan untuk penyusunan kebijakan dan program yang bersentuhan
langsung dengan permasalahan di atas. Termasuk pertanyaan di awal tulisan ini.
Begitu
juga dengan pengurus forum, hendaknya bisa segera melaksanakan (mensosialisasikan) ke lembaga terkait,
tentang misi forum yang berbunyi, memastikan kelembagaan penanggulangan bencana
dapat bersinergi dengan baik, antara BPBD dengan OPD, antara pemerintah daerah
dengan masyarakat dan lembaga usaha. Ini penting untuk membongkar ego sektoral
dalam penanganan bencana.
Tidak ada salahnya
jika forum segera mensikapi pertanyaan di atas dalam rapat pengurus sebagai
upaya mencari solusi. Paling tidak, bisa
dijadikan agenda bimbingan teknis kepada “helix-helix”
dari pentahelix yang tergabung dalam forum. Dengan demikian, semua anggota
forum akan merasa diperhatikan. Agar tidak muncul dugaan yang bukan bukan.
Jika memungkinkan,
kata anggota forum yang lebih banyak diam, sambil nyimak grup, sebenarnya forum bisa membagi
tugas kepada anggotanya, di wilayah masing-masing untuk menggarap program yang
disepakati. Caranya, kumpulkan semua, bikin konsepnya, standarkan biar satu
bahasa, tentukan target, kerjakan, monitoring, dan lakukan evaluasi.
Apa yang
dikatakan oleh anggota forum yang malas berkomentar di grup itu, tampaknya
sederhana. Tapi ternyata tidaklah mudah. banyak faktor yang menjadai kendala. “Waktu dan sangu” merupakan kendala laten
yang sulit diajak kompromi.
Ketika
seseorang diberi kesempatan untuk tampil, namun ternyata terkendala “waktu atau sangu”, maka kesempatan itu otomatis diambil mereka yang punya waktu (dan tentunya sangu). Jadi, kalau
kemudian yang muncul hanya orang-orang itu saja, ya harus dimaklumi, karena
memang dialah yang mampu berkompromi dengan “waktu dan sangu”.
Semoga
acara ‘Dari Sentul Kita Sharing” yang diadakan oleh Pusdiklat PB BNPB akan
membawa perubahan dalam penanganan bencana dikemudian hari. Semoga masukan dan
komentar yang banyak berseliweran itu menjadi pembelajaran bagi semuanya untuk kemudian
ditindak lanjuti dengan upaya nyata. Salam tangguh, salam kemanusiaan. [eBas/JumatPon-07052021]
tetap sehat tetap semangat dalam menjalani takdir kehidupan bekerja untuk kemanusiaan secara sukarela sesuai panggilan nurani.
BalasHapusnamun ingat pesan mas Yeka rpa.
dalam upaya penanggulangan bencana,
relawan itu pemain pembantu dan pemain utamanya adalah bnpb/bpbd
jangan dibalik.
karena aturannya memang begitu
termasuk harus berkoordinasi dengan bnpb/bpbd yang diberi mandat oleh negara melalui UU 24 tahun 2007 "ngurusi" kebencanaan
salam tangguh salam kemanusiaan
terus belajar bersama saling menginspirasi
Tuhan bersama orang2 pemberani
Terimakasih masukan dari mas Yudha seorang fasdes yg mengingatkan penulis ttg falsafah pohon sbg analogi sebuah organisasi yg kuat saling menguatkan utk kebermanfaatan semesta
BalasHapusTerimakasih masukan dari mas Yudha seorang fasdes yg mengingatkan penulis ttg falsafah pohon sbg analogi sebuah organisasi yg kuat saling menguatkan utk kebermanfaatan semesta
BalasHapusSebuah organisasi akan besar jika saling mendukung dan tidak saling memanfaatkan
BalasHapussetuju... harus saling mendukung...
BalasHapustapi bagaimana jika yg didukung menutup diri dari dukungan...atau memilih dukungan tertentu saja...
Berorganisasi itu tidak mudah karna semua program yg akan dijalankan itu harus dibahas lewat rapat pengurus. Bukan langsung diputuskan oleh bbrp pengurus saja yg mengatas namakan organisasi .....
BalasHapusKarena lelaku yg demikian akan melemahkan semangat
Mari kita belajar berorganisasi
terus belajar dan berproses