Konon,
indonesia adalah salah satu negara yang rawan bencana. Karena berbagai jenis
bencana ada diseluruh wilayah indonesia. Sementara itu, masyarakat belum begitu
peduli dengan potensi bencana yang ada di daerahnya.
Kebanyakan
menganggap bahwa bencana adalah kutukan Tuhan yang harus diterima dengan
pasrah. Belum ada kesadaran untuk bagaimana mengenali bahayanya, serta upaya
mengurangi risiko bencana secara mandiri. Orang awam juga masih menganggap
bahwa bencana itu urusannya pemerintah.
Anggapan
yang seperti inilah kiranya perlu dibongkar melalui sosialisasi pengurangan
risiko bencana. Tentu pemerintah (dalam hal ini BNPB/BPBD) akan termehek-mehek
jika melakukan sendiri. Harus merangkul aktor multipihak. Banyak komunitas
relawan dan pekerja kemanusiaan yang siap membantu. Asal ada koordinasi.
Bahkan,
saat ini muncul pula aktor yang menggerakkan literasi kebencanaan sebagai upaya
membangun kesiapsiagaan masyarakat menuju
budaya tangguh bencana. Khususnya
masyarakat yang berdiam di kawasan rawan bencana. Konon, mereka banyak bergerak
melalui media massa.
Menurut Wien Muldian, salah seorang pegiat literasi, mengatakan bahwa
literasi kebencanaan adalah, kecakapan hidup untuk mengelola,
memahami, dan menggunakan informasi dalam pengambilan keputusan yang tepat
untuk mengikuti panduan penguatan ketangguhan di semua bidang dalam tahapan
penanggulangan bencana.
Sebenarnya, upaya literasi kebencanaan melalui program
satuan pendidikan aman bencana (SPAB) sangatlah ideal dilakukan untuk
menumbuhkan budaya sadar bencana sejak dini. Sayangnya program ini belum banyak
diminati oleh sekolah dengan bebagai alasan. Termasuk belum adanya arahan dari
Dinas Pendidikan, sehingga sekolah tidak berani memulai.
BPBD Provinsi Jawa Timur, tahun ini berkesempatan
menggandeng relawan yang tergabung dalam SRPB Jawa Timur, mengadakan
sosialisasi SPAB di seluruh sekolah yang berada di daerah rawan bencana di Jawa
Timur. Dengan harapan, setelah kegiatan sosialisasi ini, masing-masing sekolah
bisa menindaklanjuti secara mandiri. Wallahu a’lam.
Dalam buku Pendidikan Tangguh Bencana, terbitan Seknas
SPAB, tahun 2017, dikatakan bahwa ada tiga pilar kegiatan yang bisa dilakukan oleh
sekolah dalam rangka implementasi SPAB. Yaitu Pilar Fasilitas Sekolah Aman, Pilar
Manajemen Bencana di Sekolah, dan Pilar Pendidikan pencegahan dan pengurangan
risiko bencana.
Sebagai pengenalan awal, tentu tidak harus ketiga pilar
tersebut langsung diperkenalkan secara berurutan. Agar peserta didik tertarik,
perlu kiranya kegiatan diawali dengan mengenalkan apa itu bencana, jenis-jenis
bencana serta mengenali potensi bencana yang ada di daerahnya.
Pada kesempatan ini, peserta didik diajak untuk mengenali
lingkungan sekolah dan daerahnya, belajar membuat rambu-rambu evakuasi serta
menetapkan titik kumpul jika ada bencana. Sukur-sukur ada film pendek tentang
bencana sesuai potensi bencana setempat.
Baru kemudian peserta didik diajak praktek evakuasi serta
keterampilan pendukung lainnya. Seperti cara pemadaman kebakaran, membuat tandu
serta PPGD/P3K, dan lainnya yang mudah dipraktekkan. Hal ini seperti yang
tertulis dalam Pilar Pendidikan pencegahan dan pengurangan risiko bencana.
Dalam buku itu disebutkan tentang perlunya peningkatan
kapasitas bagi warga sekolah, Praktek evakuasi, Integrasi materi PRB ke dalam
berbagai mata pelajaran dan kegiatan ekstrakulikuler, dan kampanye rutin
mengenai pesan kunci keselamatan yang praktis.
Sesungguhnyalah, literasi kebencanaan melalui program
SPAB merupakan proses yang harus dilakukan secara berkelanjutan..Tidak mungkin
“sekali sentuh” langsung beraksi secara mandiri. Apalagi jika dikaitkan
dengan kebijakan angggaran dan pandemi covid-19 dengan segala variannya yang
mematikan. Paling tidak diperlukan waktu tiga atau empat bulan.
Seperti dalam Pilar Manajemen Bencana di Sekolah. Dimana
kegiatannya antara lain Pembentukan tim penanggulangan bencana di sekolah,
Penetapan kebijakan SPAB di Sekolah, Perencanaan kesiapsiagaan menghadapi
bencana di sekolah dalam bentuk prosedur tetap dan rencana kontijensi, dan
Penyusunan rencana aksi untuk mendukung SPAB. Sungguh, perlu waktu untuk
melaksanakannya agar benar-benar membawa manfaat dlam upaya membangun budaya
tangguh.
Apalagi, masih dalam buku pendidikan tangguh bencana,
disebutkan tentang langkah mewujudkan SPAB. Langkah pertama, persiapan dan
konsolidasi dengan pihak sekolah, ke dua, Pengkajian dan penilaian mandiri di
awal program, ke tiga, Pelatihan untuk
guru, tenaga kependidikan, serta komite sekolah, ke empat, Pelatihan untuk
peserta didik, ke lima, Pengkajian risiko bencana bersama, termasuk dengan
peserta didik.
Ke enam, Penyusunan rencana aksi dan pembentukan tim
siaga bencana sekolah, ke tuju, Penyusunan prosedur tetap untuk masa pra, saat
dan paska bencana, ke delapan, Melakukan simulasi secara berkala, ke sembilan,
Melakukan penilaian mandiri dan pengawasan rutin, dan sepuluh, Melakukan
evaluasi pelaksanaan dan memutakhirkan rencana aksi.
Artinya, BPBD Provinsi Jawa Timur, BPBD Kabupaten dan
SRPB hanyalah pemantik awal penyadaran akan pentingnya membangun kesiapsiagaan
dan ketangguhan menghadapi bencana. Selanjutnya, perlu ada keterlibatan sumberdaya
lokal (relawan setempat) untuk melakukan pendampingan dalam rangka pelestarian
gerakan literasi kebencanaan melalui SPAB. Tanpa itu, dapat dipastikan, selesai
program langsung wasalam.
Pertanyaannya kemudian, siapakah yang punya otoritas
memerintah relawan untuk melakukan pendampingan, dan relawan mana yang layak
melakukan pendampingan SPAB untuk peserta didik dan warga sekolah lainnya?. Salam
Literasi. [eBas/SeninKliwon-28062021]
Menurut Permendikbud No. 33 Tahun 2019, Program Satuan Pendidikan Aman Bencana yang selanjutnya disebut Program SPAB adalah upaya pencegahan dan penanggulangan dampak Bencana di Satuan Pendidikan. Sebelum ada istilah SPAB, dulu terdapat istilah sekolah siaga bencana (SSB) dan mulai Tahun 2019, Istilah SPAB resmi digunakan untuk Program Satuan Pendidikan Aman Bencana.
BalasHapusprogram ini harus dilakukan secara bertahab dan melalui proses yg panjang agar dipahami dihayati kemudian dapat dilaksanakan secara mandiri karena "mereka" telah memiliki kesadaran bahwa SPAB itu penting seperti halnya program destana dan sejenisnya.
program itu memang harus berproses, bukan sekedar ujuk-ujuk mak bedunduk ada ....
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa ada beberapa hambatan dalam pelatihan SPAB atau masalah yang menyebabkan pelatihan SPAB belum efektif. hambatan dalam pelatihan SPAB ini adalah keterbatasan dana pelatihan, kurangnya keseriuasan peserta dalam mengikuti pelatihan sampai selesai, serta pelatihan SPAB dianggap tidak terlalu penting dan paradigma berpikir peserta yang masih responsif.
BalasHapussemua itu bermuara dari belum adanya kebijakan kepala dinas pendidikan yg pro pengurangan risiko bencana