Minggu, 27 Juni 2021

LITERASI BENCANA UNTUK PESERTA DIDIK

Konon, indonesia adalah salah satu negara yang rawan bencana. Karena berbagai jenis bencana ada diseluruh wilayah indonesia. Sementara itu, masyarakat belum begitu peduli dengan potensi bencana yang ada di daerahnya.

Kebanyakan menganggap bahwa bencana adalah kutukan Tuhan yang harus diterima dengan pasrah. Belum ada kesadaran untuk bagaimana mengenali bahayanya, serta upaya mengurangi risiko bencana secara mandiri. Orang awam juga masih menganggap bahwa bencana itu urusannya pemerintah.

Anggapan yang seperti inilah kiranya perlu dibongkar melalui sosialisasi pengurangan risiko bencana. Tentu pemerintah (dalam hal ini BNPB/BPBD) akan termehek-mehek jika melakukan sendiri. Harus merangkul aktor multipihak. Banyak komunitas relawan dan pekerja kemanusiaan yang siap membantu. Asal ada koordinasi.

Bahkan, saat ini muncul pula aktor yang menggerakkan literasi kebencanaan sebagai upaya membangun kesiapsiagaan masyarakat menuju budaya tangguh bencana. Khususnya masyarakat yang berdiam di kawasan rawan bencana. Konon, mereka banyak bergerak melalui media massa.

Menurut Wien Muldian, salah seorang pegiat literasi, mengatakan bahwa literasi kebencanaan adalah, kecakapan hidup untuk mengelola, memahami, dan menggunakan informasi dalam pengambilan keputusan yang tepat untuk mengikuti panduan penguatan ketangguhan di semua bidang dalam tahapan penanggulangan bencana.

Sebenarnya, upaya literasi kebencanaan melalui program satuan pendidikan aman bencana (SPAB) sangatlah ideal dilakukan untuk menumbuhkan budaya sadar bencana sejak dini. Sayangnya program ini belum banyak diminati oleh sekolah dengan bebagai alasan. Termasuk belum adanya arahan dari Dinas Pendidikan, sehingga sekolah tidak berani memulai.

BPBD Provinsi Jawa Timur, tahun ini berkesempatan menggandeng relawan yang tergabung dalam SRPB Jawa Timur, mengadakan sosialisasi SPAB di seluruh sekolah yang berada di daerah rawan bencana di Jawa Timur. Dengan harapan, setelah kegiatan sosialisasi ini, masing-masing sekolah bisa menindaklanjuti secara mandiri. Wallahu a’lam.

Dalam buku Pendidikan Tangguh Bencana, terbitan Seknas SPAB, tahun 2017, dikatakan bahwa ada tiga pilar kegiatan yang bisa dilakukan oleh sekolah dalam rangka implementasi SPAB. Yaitu Pilar Fasilitas Sekolah Aman, Pilar Manajemen Bencana di Sekolah, dan Pilar Pendidikan pencegahan dan pengurangan risiko bencana.

Sebagai pengenalan awal, tentu tidak harus ketiga pilar tersebut langsung diperkenalkan secara berurutan. Agar peserta didik tertarik, perlu kiranya kegiatan diawali dengan mengenalkan apa itu bencana, jenis-jenis bencana serta mengenali potensi bencana yang ada di daerahnya.

Pada kesempatan ini, peserta didik diajak untuk mengenali lingkungan sekolah dan daerahnya, belajar membuat rambu-rambu evakuasi serta menetapkan titik kumpul jika ada bencana. Sukur-sukur ada film pendek tentang bencana sesuai potensi bencana setempat.

Baru kemudian peserta didik diajak praktek evakuasi serta keterampilan pendukung lainnya. Seperti cara pemadaman kebakaran, membuat tandu serta PPGD/P3K, dan lainnya yang mudah dipraktekkan. Hal ini seperti yang tertulis dalam Pilar Pendidikan pencegahan dan pengurangan risiko bencana.

Dalam buku itu disebutkan tentang perlunya peningkatan kapasitas bagi warga sekolah, Praktek evakuasi, Integrasi materi PRB ke dalam berbagai mata pelajaran dan kegiatan ekstrakulikuler, dan kampanye rutin mengenai pesan kunci keselamatan yang praktis.

Sesungguhnyalah, literasi kebencanaan melalui program SPAB merupakan proses yang harus dilakukan secara berkelanjutan..Tidak mungkin “sekali sentuh” langsung beraksi secara mandiri. Apalagi jika dikaitkan dengan kebijakan angggaran dan pandemi covid-19 dengan segala variannya yang mematikan. Paling tidak diperlukan waktu tiga atau empat bulan.

Seperti dalam Pilar Manajemen Bencana di Sekolah. Dimana kegiatannya antara lain Pembentukan tim penanggulangan bencana di sekolah, Penetapan kebijakan SPAB di Sekolah, Perencanaan kesiapsiagaan menghadapi bencana di sekolah dalam bentuk prosedur tetap dan rencana kontijensi, dan Penyusunan rencana aksi untuk mendukung SPAB. Sungguh, perlu waktu untuk melaksanakannya agar benar-benar membawa manfaat dlam upaya membangun budaya tangguh.

Apalagi, masih dalam buku pendidikan tangguh bencana, disebutkan tentang langkah mewujudkan SPAB. Langkah pertama, persiapan dan konsolidasi dengan pihak sekolah, ke dua, Pengkajian dan penilaian mandiri di awal program, ke tiga,  Pelatihan untuk guru, tenaga kependidikan, serta komite sekolah, ke empat, Pelatihan untuk peserta didik, ke lima, Pengkajian risiko bencana bersama, termasuk dengan peserta didik.

Ke enam, Penyusunan rencana aksi dan pembentukan tim siaga bencana sekolah, ke tuju, Penyusunan prosedur tetap untuk masa pra, saat dan paska bencana, ke delapan, Melakukan simulasi secara berkala, ke sembilan, Melakukan penilaian mandiri dan pengawasan rutin, dan sepuluh, Melakukan evaluasi pelaksanaan dan memutakhirkan rencana aksi.

Artinya, BPBD Provinsi Jawa Timur, BPBD Kabupaten dan SRPB hanyalah pemantik awal penyadaran akan pentingnya membangun kesiapsiagaan dan ketangguhan menghadapi bencana. Selanjutnya, perlu ada keterlibatan sumberdaya lokal (relawan setempat) untuk melakukan pendampingan dalam rangka pelestarian gerakan literasi kebencanaan melalui SPAB. Tanpa itu, dapat dipastikan, selesai program langsung wasalam.

Pertanyaannya kemudian, siapakah yang punya otoritas memerintah relawan untuk melakukan pendampingan, dan relawan mana yang layak melakukan pendampingan SPAB untuk peserta didik dan warga sekolah lainnya?. Salam Literasi. [eBas/SeninKliwon-28062021]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2 komentar:

  1. Menurut Permendikbud No. 33 Tahun 2019, Program Satuan Pendidikan Aman Bencana yang selanjutnya disebut Program SPAB adalah upaya pencegahan dan penanggulangan dampak Bencana di Satuan Pendidikan. Sebelum ada istilah SPAB, dulu terdapat istilah sekolah siaga bencana (SSB) dan mulai Tahun 2019, Istilah SPAB resmi digunakan untuk Program Satuan Pendidikan Aman Bencana.


    program ini harus dilakukan secara bertahab dan melalui proses yg panjang agar dipahami dihayati kemudian dapat dilaksanakan secara mandiri karena "mereka" telah memiliki kesadaran bahwa SPAB itu penting seperti halnya program destana dan sejenisnya.

    program itu memang harus berproses, bukan sekedar ujuk-ujuk mak bedunduk ada ....

    BalasHapus
  2. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa ada beberapa hambatan dalam pelatihan SPAB atau masalah yang menyebabkan pelatihan SPAB belum efektif. hambatan dalam pelatihan SPAB ini adalah keterbatasan dana pelatihan, kurangnya keseriuasan peserta dalam mengikuti pelatihan sampai selesai, serta pelatihan SPAB dianggap tidak terlalu penting dan paradigma berpikir peserta yang masih responsif.

    semua itu bermuara dari belum adanya kebijakan kepala dinas pendidikan yg pro pengurangan risiko bencana

    BalasHapus