“Dulur-dulur, di beberapa daerah Jawa Timur sekarang
sedang diserang oleh negara air. Beberapa bangunan juga tergerus oleh tanah
longsor, termasuk tanaman tepi jalan dan jembatan juga porak poranda. Apakah dulur
ada yang merapat ke lokasi atau ada yang mengumpulkan donasi ?,”. Kata Mukidi yang
diposting di beberapa grup whatsapp yang diikutinya.
Apa yang dikatakan Mukidi adalah bentuk “kepekaan
sosial” ketika mendengar ada bencana di suatu daerah. Paling tidak Mukidi
mengajak sesama relawan untuk segera melakukan sesuatu membantu mereka yang menjadi
korban bencana banjir dan longsor.
Gayung pun bersambut. Beberapa komunitas relawan yang
memiliki kemampuan yang didukung oleh fasilitas, tanpa menunggu perintah
(bahkan mungkin tanpa koordinasi) langusng menyingsingkan baju berangkat ke
lokasi, terjun membantu apa saja yang harus dibantu.
Yang penting adalah berusaha menyelamatkan warga
sebanyak-banyaknya dan meminimalkan korban jiwa. Artinya, bencana itu datang
tanpa bisa dicegah, yang bisa dilakukan adalah berusaha mengurangi risikonya. Untuk
itulah perlunya melakukan mitigasi dengan melibatkan warga setempat yang seringkali
menjadi korban pertama saat terjadi bencana. Disinilah aktor lokal (khususnya
yang tergabung dalam Destana) sangat ditunggu peran aktifnya.
Ya, keberadaan Destana itu diantaranya adalah membangun budaya
tangguh bencana. Dimana masyarakat setempat memiliki kesiapsiagaan menghadapi
bencana, yaitu serangkaian
kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian
serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. (UU 24 tahun 2007).
Apa yang dilakukan oleh temannya Mukidi yang langsung berangkat
ke lokasi dengan prinsip ‘sat set wat wet’ itu sebagai bentuk
partisipasi masyarakat dan merupakan aksi nyata yang wajib mendapatkan
apresiasi dan perlu dicontoh oleh komunitas lain, sebagai bentuk kesamaptaan. Namun
tidak semua komunitas relawan bisa berlaku seperti temannya Mukidi. Banyak faktor yang turut
bermain di dalamnya. Termasuk waktu dan kesempatan.
Dalam Perka BNPB nomor 17 tahun 2011, dikatakan bahwa Relawan
Penanggulangan Bencana, yang selanjutnya disebut relawan, adalah seorang atau sekelompok
orang yang memiliki kemampuan dan kepedulian untuk bekerja secara sukarela dan
ikhlas dalam upaya penanggulangan bencana.
Dari difinisi di atas, jelas bahwa relawan harus memiliki
kemampuan sebelum turun berjibaku di lokasi bencana. Kemampuan itu bisa berupa
keterampilan yang diperlukan di lapangan sesuai klaster yang ada. Bisa juga
kemampuan finansial untuk menunjang operasionalisasi selama di lapaangan tanpa
harus ‘ngrepoti’ pihak lain.
Nah, kemampuan finansial inilah yang sering kali menjadi penghambat
mobilitas relawan. Mereka harus berfikir dua kali sebelum memutuskan untuk
merapat ke lokasi. Disamping kecukupan dana yang akan dibawa, juga dana yang
ditinggal untuk keluarga.
Kecuali relawan yang difasilitasi/mendapat fasilitas
untuk pergi ke lokasi. Mereka ini tidak perlu risau dengan dana yang dibawa
maupun dana untuk keluarga. Apalagi bagi relawan yang masih jomblo, belum
mempunyai tanggungan keluarga.
Dengan kata lain, pergerakan relawan (mandiri) itu
tidaklah sekedar bondo tekat (berbekal semangat) saja. Disamping mempunyai
kemampuan (kapasitas) dibidang penanggulangan bencana dengan segala variannya, masalah
dana operasional, juga perlu diperhatikan.
Postingan Mukidi di atas, perlu diacungi jempol sebagai
bentuk ‘kepekaan sosial’, namun tidak harus ditindak lanjuti dengan grusa grusu
(emosional bondo nekat) semata. Banyak hal yang harus diperhatikan sebelum
memutuskan untuk merapat ke lokasi bencana, termasuk melakukan penggalangan
dana di perempatan jalan.
Seperti saat ini, di awal musim penghujan, banjir sudah
merajalela di beberapa wilayah kabupaten di seluruh Jawa Timur, juga diberbagai
daerah di Indonesia. Baik itu banjir yang disertai longsor dan merusak berbagai
bangunan, bahkan telah memakan korban jiwa, maupun banjir sekala kecil namun
sudah merepotkan warga setempat. Sebuah peringatan dini yang harus direspon.
Untuk itulah, para aktor lokal yang tergabung di dalam Desa
Tangguh Bencana, Kelurahan Tangguh Bencana, Kampung Siaga Bencana, Forum PRB dan
sejenisnya, mulai bersiap diri menyambut segala kemungkinan dari dampak musim penghujan.
Tentunya dengan selalu berkoordinasi dengan pihak-pihak yang terkait dengan
masalah kebencanaan. Salam Tangguh. [eBas/SeninLegi-17102022]
ternyata tidak mudah menjadi relawan penanggulangan bencana. banyak yg harus dipersiapkan. mulai dari siap mental, siap kesehatan diri, siap keterampilan/kemampuan yang diperlukan di lokasi, dan siap logistik/finansial untuk mobilitas selama di lokasi.
BalasHapusterkait dengan kesiapan finansial itu dibagi dua, yaitu finansial yang dibawa ke lokasi, dan finansial yang ditinggal untuk keluarga.
artinya disini, relawan pun perlu mendapat dan mencari fasilitas agar bisa turut berkiprah di lokasi.
kalau ada relawan yg mampu mandiri dalam giatnya, dapat dipastikan mereka itu "warisannya banyak/besar". kalau yang kemampuan finansialnya pas-pasan pastilah mencari nunutan/bantuan.
begitulah kenyataannya.
dan yang perlu diperhatikan bahwa di lokasi bencana itu banyak bantuan yang mengalir dari berbagai pihak. hal itu sangat menggoda iman karena banyaknya kesempatan.
BalasHapustentunya sebagai relawan sangat tabu dan haram untuk memainkan bantuan kemanusiaan yang datang dari berbagai pihak.
ingat lho, mereka itu membantu dengan ikhlas, jangan dikhianati dengan menyelengkannya.
Tuhan Tidak Tidur