Minggu, 16 Oktober 2022

TIDAK CUMA BONDO NEKAT SAJA

“Dulur-dulur, di beberapa daerah Jawa Timur sekarang sedang diserang oleh negara air. Beberapa bangunan juga tergerus oleh tanah longsor, termasuk tanaman tepi jalan dan jembatan juga porak poranda. Apakah dulur ada yang merapat ke lokasi atau ada yang mengumpulkan donasi ?,”. Kata Mukidi yang diposting di beberapa grup whatsapp yang diikutinya.

Apa yang dikatakan Mukidi adalah bentuk “kepekaan sosial” ketika mendengar ada bencana di suatu daerah. Paling tidak Mukidi mengajak sesama relawan untuk segera melakukan sesuatu membantu mereka yang menjadi korban bencana banjir dan longsor.

Gayung pun bersambut. Beberapa komunitas relawan yang memiliki kemampuan yang didukung oleh fasilitas, tanpa menunggu perintah (bahkan mungkin tanpa koordinasi) langusng menyingsingkan baju berangkat ke lokasi, terjun membantu apa saja yang harus dibantu.

Yang penting adalah berusaha menyelamatkan warga sebanyak-banyaknya dan meminimalkan korban jiwa. Artinya, bencana itu datang tanpa bisa dicegah, yang bisa dilakukan adalah berusaha mengurangi risikonya. Untuk itulah perlunya melakukan mitigasi dengan melibatkan warga setempat yang seringkali menjadi korban pertama saat terjadi bencana. Disinilah aktor lokal (khususnya yang tergabung dalam Destana) sangat ditunggu peran aktifnya.

Ya, keberadaan Destana itu diantaranya adalah membangun budaya tangguh bencana. Dimana masyarakat setempat memiliki kesiapsiagaan menghadapi bencana, yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. (UU 24 tahun 2007).

Apa yang dilakukan oleh temannya Mukidi yang langsung berangkat ke lokasi dengan prinsip ‘sat set wat wet’ itu sebagai bentuk partisipasi masyarakat dan merupakan aksi nyata yang wajib mendapatkan apresiasi dan perlu dicontoh oleh komunitas lain, sebagai bentuk kesamaptaan. Namun tidak semua komunitas relawan bisa berlaku seperti temannya Mukidi. Banyak faktor yang turut bermain di dalamnya. Termasuk waktu dan kesempatan.

Dalam Perka BNPB nomor 17 tahun 2011, dikatakan bahwa Relawan Penanggulangan Bencana, yang selanjutnya disebut relawan, adalah seorang atau sekelompok orang yang memiliki kemampuan dan kepedulian untuk bekerja secara sukarela dan ikhlas dalam upaya penanggulangan bencana.   

Dari difinisi di atas, jelas bahwa relawan harus memiliki kemampuan sebelum turun berjibaku di lokasi bencana. Kemampuan itu bisa berupa keterampilan yang diperlukan di lapangan sesuai klaster yang ada. Bisa juga kemampuan finansial untuk menunjang operasionalisasi selama di lapaangan tanpa harus ‘ngrepoti’ pihak lain.

Nah, kemampuan finansial inilah yang sering kali menjadi penghambat mobilitas relawan. Mereka harus berfikir dua kali sebelum memutuskan untuk merapat ke lokasi. Disamping kecukupan dana yang akan dibawa, juga dana yang ditinggal untuk keluarga.

Kecuali relawan yang difasilitasi/mendapat fasilitas untuk pergi ke lokasi. Mereka ini tidak perlu risau dengan dana yang dibawa maupun dana untuk keluarga. Apalagi bagi relawan yang masih jomblo, belum mempunyai tanggungan keluarga.

Dengan kata lain, pergerakan relawan (mandiri) itu tidaklah sekedar bondo tekat (berbekal semangat) saja. Disamping mempunyai kemampuan (kapasitas) dibidang penanggulangan bencana dengan segala variannya, masalah dana operasional, juga perlu diperhatikan.

Postingan Mukidi di atas, perlu diacungi jempol sebagai bentuk ‘kepekaan sosial’, namun tidak harus ditindak lanjuti dengan grusa grusu (emosional bondo nekat) semata. Banyak hal yang harus diperhatikan sebelum memutuskan untuk merapat ke lokasi bencana, termasuk melakukan penggalangan dana di perempatan jalan.

Seperti saat ini, di awal musim penghujan, banjir sudah merajalela di beberapa wilayah kabupaten di seluruh Jawa Timur, juga diberbagai daerah di Indonesia. Baik itu banjir yang disertai longsor dan merusak berbagai bangunan, bahkan telah memakan korban jiwa, maupun banjir sekala kecil namun sudah merepotkan warga setempat. Sebuah peringatan dini yang harus direspon.

Untuk itulah, para aktor lokal yang tergabung di dalam Desa Tangguh Bencana, Kelurahan Tangguh Bencana, Kampung Siaga Bencana, Forum PRB dan sejenisnya, mulai bersiap diri menyambut segala kemungkinan dari dampak musim penghujan. Tentunya dengan selalu berkoordinasi dengan pihak-pihak yang terkait dengan masalah kebencanaan. Salam Tangguh. [eBas/SeninLegi-17102022]

 

  

 

 

 

 

 

2 komentar:

  1. ternyata tidak mudah menjadi relawan penanggulangan bencana. banyak yg harus dipersiapkan. mulai dari siap mental, siap kesehatan diri, siap keterampilan/kemampuan yang diperlukan di lokasi, dan siap logistik/finansial untuk mobilitas selama di lokasi.
    terkait dengan kesiapan finansial itu dibagi dua, yaitu finansial yang dibawa ke lokasi, dan finansial yang ditinggal untuk keluarga.

    artinya disini, relawan pun perlu mendapat dan mencari fasilitas agar bisa turut berkiprah di lokasi.
    kalau ada relawan yg mampu mandiri dalam giatnya, dapat dipastikan mereka itu "warisannya banyak/besar". kalau yang kemampuan finansialnya pas-pasan pastilah mencari nunutan/bantuan.

    begitulah kenyataannya.

    BalasHapus
  2. dan yang perlu diperhatikan bahwa di lokasi bencana itu banyak bantuan yang mengalir dari berbagai pihak. hal itu sangat menggoda iman karena banyaknya kesempatan.
    tentunya sebagai relawan sangat tabu dan haram untuk memainkan bantuan kemanusiaan yang datang dari berbagai pihak.
    ingat lho, mereka itu membantu dengan ikhlas, jangan dikhianati dengan menyelengkannya.

    Tuhan Tidak Tidur

    BalasHapus