Rabu, 19 Oktober 2022

DINAMIKA ORGANISASI NIRLABA

“AREL di Desaku bubar,” Kata Mukidi, yang kebetulan sebagai ketua asosiasi relawan (AREL) Desa Anurejo, Kecamatan Jayaraya. Masih kata Mukidi, semua terjadi karena kurangnya koordinasi dan minimnya komunikasi diantara para pihak. Istilahnya mereka yang terlibat dalam AREL belum ada kesamaan chemistry. Masih mengagungkan organisasinya sendiri.

Ya, antara pihak yang seharusnya mengayomi dengan pengurus AREL. Juga diantara anggota asosiasi sendiri konon juga kurang harmonis, sehingga banyak yang berjalan sendiri-sendiri, sesuai keyakinan dan kepercayaan masing-masing.

Masih kata Mukidi yang menumpahkan uneg-unegnya di media sosial, mengatakan bahwa lembaga yang mengayomi AREL dianggap kurang paham terhadap keberadaan AREL. Bahkan, konon menurut penguasa lembaga, masa berlakunya kepengurusan AREL sudah habis, sehingga perlu diadakan pergantian, entah kapan waktunya.

“AREL dianggap nyrimpeti, padahal kalao ada giat, baik iti saat pra bencana, tanggap darurat, maupun pasca bencana, AREL selalu bondo dewe,” Tulisnya di grup whatsapp.

Semoga itu hanya ungkapan “kemangkelan sesaat” karena ingin ngopi bareng untuk berkoordinasi, namun belum terlaksana karena kesibukan.

Namun, jika apa yang dilontarkan Mukidi itu benar adanya, maka sangat disayangkan. Betapa waktu pengukuhan AREL dulu sangat gempita, dihadiri oleh berbagai pihak yang terpandang di Desanya. Waktu itu pengurusnya gagah mengenakan seragam baru.

Ya, jika yang dikatakan Mukidi benar, maka gagallah upaya Pak Camat meng-AREL-kan semua Desa di wilayahnya, dalam rangka membangun kesiapsiagaan menuju ketangguhan masyarakat menghadapi bencana. Termasuk dalam menghadapi banjir kali ini, para aktor lokal sudah semakin mampu berbuat sesuatu tanpa menunggu bantuan dari pihak luar.

Kondisi ini harusnya segera ada yang memediasi, seperti tempo hari saat AREL sebuah Desa “bersilang paham” dengan perangkat Desa yang berakhir dengan saling berangkulan dan bermaafan antar aktor. Itulah pentingnya mediasi agar “kriwikan ora dadi grojogan”.

Namun, perlu juga dipahami, bahwa masih ada perangkat Desa yang enggan untuk segera membentuk AREL. Karena mereka berpikir, setelah terbentuk terus mereka mau berbuat apa, dan fasilitasnya dari mana. Sementara anggaran Desa untuk memfasilitasi keberadaan AREL tidak ada. Jika dipaksakan, akan “mencubit” anggaran yang mana.

Terbukti, setelah AREL terbentuk di beberapa Desa, ternyata kiprah mereka belum merata. Gregetnya tidak sama, tergantung “keterlibatan” perangkat Desa dalam berkomunikasi sambil ngopi.

Ya begitulah dinamika “organisasi nirlaba”. Kadang serentak syahwatnya menggebu ingin bertemu untuk berbuat sesuatu. Namun kemudian masing-masing aktor mundur alon-alon, terlena oleh “mainan baru” yang lebih menjanjikan, dan berkumpul lagi ketika ada aksi yang berarti.

Sungguh, “grundelan” Mukidi tidak akan terjadi jika diantara pengurus dan semua yang terlibat, sudah ada kesepahaman dan kesamaan chemistry untuk bersama sama “membesarkan” AREL. Ya, soliditas dan komitmen para aktor yang menjadi pengurus adalah kunci, dan itu tidak mudah. perlu proses panjang, perlu sering berkomunikasi sambil ngopi.

Namun perlu disadari bahwa sebagai “organisasi nirlaba”, tentu tidak memiliki dana operasional, sehingga semuanya harus diadakan secara “bantingan” sesuai kesepakatan, namun tidak dipaksakan. Begitu juga dalam mencari sumber dana operasional hendaknya terbuka. Termasuk jika mendapat fasilitas dari perangkat Desa untuk AREl, ya harus diketahui oleh semua.

Jangan sampai muncul kesan lu lagi lu lagi, itu kurang baik. Apalagi lu doang. Jelas ini namanya “one man show” yang mengatasnamakan organisasi. Kalau sudah begini maka akan muncul friksi dan fragmentasi dalam organisasi, untuk kemudian diam saling menunggu. Akan berperan jika ada cuan, tanpa itu akan berlalu.

Semoga apa yang dialami Mukidi segera menemukan solusi, agar Mukidi bisa tersenyum kembali. Untuk kemudian sembari menjalankan program AREL, tidak ada salahnya Mukidi menyiapkan kader muda untuk calon penggantinya.

Karena, ibarat gelas yang retak tidaklah mungkin kembali utuh. Begitu juga Mukidi akan sulit kembali bersahabat dengan aparat yang menganggap keberadaan Mukidi dan AREL hanya nyrimpeti.  

Sedangkan untuk AREL di Desa lain, maupun Desa yang akan membentuk AREL, hendaknya apa yang dialami Mukidi bisa menjadi pelajaran bahwa menjalankan “organisasi nirlaba”  itu tidak mudah. tidak sekedar kober, seger, banter, bener, pinter saja. Tapi juga harus sabar dalam arti luas. Wis ngunu wae, ndleming dini hari tanpo wedang kopi. [eB/KamisWage-20102022]

 

 

 

 

   

  

 

2 komentar:

  1. sungguh begitu pentingnya berkoordinasi dan melakukan komunikasi yang baik dan setara antar aktor. dalam rangka membangun sinergi dalam giat kemanusiaan

    BalasHapus
  2. mohon maaf tulisan ini hanyalah cerita belaka cerita ngalor ngidul menggunakan ilmu othak athik gathuk yang menghubungkan data dengan cerita dari kolega yang memposting di grup whatsapp. mungkin bisa dijadikan pembelajaran untuk kasus yang sama

    BalasHapus