“AREL di Desaku bubar,” Kata Mukidi, yang kebetulan sebagai ketua asosiasi
relawan (AREL) Desa Anurejo, Kecamatan Jayaraya. Masih kata Mukidi, semua
terjadi karena kurangnya koordinasi dan minimnya komunikasi diantara para
pihak. Istilahnya mereka yang terlibat dalam AREL belum ada kesamaan chemistry.
Masih mengagungkan organisasinya sendiri.
Ya, antara pihak yang seharusnya mengayomi dengan
pengurus AREL. Juga diantara anggota asosiasi sendiri konon juga kurang
harmonis, sehingga banyak yang berjalan sendiri-sendiri, sesuai keyakinan dan
kepercayaan masing-masing.
Masih kata Mukidi yang menumpahkan uneg-unegnya di media
sosial, mengatakan bahwa lembaga yang mengayomi AREL dianggap kurang paham terhadap
keberadaan AREL. Bahkan, konon menurut penguasa lembaga, masa berlakunya
kepengurusan AREL sudah habis, sehingga perlu diadakan pergantian, entah kapan waktunya.
“AREL dianggap nyrimpeti, padahal kalao ada giat, baik
iti saat pra bencana, tanggap darurat, maupun pasca bencana, AREL selalu bondo
dewe,” Tulisnya di grup whatsapp.
Semoga itu hanya ungkapan “kemangkelan sesaat”
karena ingin ngopi bareng untuk berkoordinasi, namun belum terlaksana karena
kesibukan.
Namun, jika apa yang dilontarkan Mukidi itu benar adanya,
maka sangat disayangkan. Betapa waktu pengukuhan AREL dulu sangat gempita, dihadiri
oleh berbagai pihak yang terpandang di Desanya. Waktu itu pengurusnya gagah
mengenakan seragam baru.
Ya, jika yang dikatakan Mukidi benar, maka gagallah upaya
Pak Camat meng-AREL-kan semua Desa di wilayahnya, dalam rangka membangun
kesiapsiagaan menuju ketangguhan masyarakat menghadapi bencana. Termasuk dalam
menghadapi banjir kali ini, para aktor lokal sudah semakin mampu berbuat
sesuatu tanpa menunggu bantuan dari pihak luar.
Kondisi ini harusnya segera ada yang memediasi, seperti
tempo hari saat AREL sebuah Desa “bersilang paham” dengan perangkat Desa
yang berakhir dengan saling berangkulan dan bermaafan antar aktor. Itulah pentingnya
mediasi agar “kriwikan ora dadi grojogan”.
Namun, perlu juga dipahami, bahwa masih ada perangkat
Desa yang enggan untuk segera membentuk AREL. Karena mereka berpikir, setelah
terbentuk terus mereka mau berbuat apa, dan fasilitasnya dari mana. Sementara anggaran
Desa untuk memfasilitasi keberadaan AREL tidak ada. Jika dipaksakan, akan “mencubit”
anggaran yang mana.
Terbukti, setelah AREL terbentuk di beberapa Desa, ternyata
kiprah mereka belum merata. Gregetnya tidak sama, tergantung “keterlibatan”
perangkat Desa dalam berkomunikasi sambil ngopi.
Ya begitulah dinamika “organisasi nirlaba”. Kadang
serentak syahwatnya menggebu ingin bertemu untuk berbuat sesuatu. Namun kemudian
masing-masing aktor mundur alon-alon, terlena oleh “mainan baru” yang
lebih menjanjikan, dan berkumpul lagi ketika ada aksi yang berarti.
Sungguh, “grundelan” Mukidi tidak akan terjadi
jika diantara pengurus dan semua yang terlibat, sudah ada kesepahaman dan
kesamaan chemistry untuk bersama sama “membesarkan” AREL. Ya, soliditas
dan komitmen para aktor yang menjadi pengurus adalah kunci, dan itu tidak
mudah. perlu proses panjang, perlu sering berkomunikasi sambil ngopi.
Namun perlu disadari bahwa sebagai “organisasi nirlaba”,
tentu tidak memiliki dana operasional, sehingga semuanya harus diadakan secara “bantingan”
sesuai kesepakatan, namun tidak dipaksakan. Begitu juga dalam mencari sumber dana
operasional hendaknya terbuka. Termasuk jika mendapat fasilitas dari perangkat
Desa untuk AREl, ya harus diketahui oleh semua.
Jangan sampai muncul kesan lu lagi lu lagi, itu kurang
baik. Apalagi lu doang. Jelas ini namanya “one man show” yang mengatasnamakan
organisasi. Kalau sudah begini maka akan muncul friksi dan fragmentasi dalam organisasi,
untuk kemudian diam saling menunggu. Akan berperan jika ada cuan, tanpa itu
akan berlalu.
Semoga apa yang dialami Mukidi segera menemukan solusi,
agar Mukidi bisa tersenyum kembali. Untuk kemudian sembari menjalankan program
AREL, tidak ada salahnya Mukidi menyiapkan kader muda untuk calon penggantinya.
Karena, ibarat gelas yang retak tidaklah mungkin kembali
utuh. Begitu juga Mukidi akan sulit kembali bersahabat dengan aparat yang
menganggap keberadaan Mukidi dan AREL hanya nyrimpeti.
Sedangkan untuk AREL di Desa lain, maupun Desa yang akan
membentuk AREL, hendaknya apa yang dialami Mukidi bisa menjadi pelajaran bahwa menjalankan
“organisasi nirlaba” itu tidak
mudah. tidak sekedar kober, seger, banter, bener, pinter saja. Tapi juga harus
sabar dalam arti luas. Wis ngunu wae, ndleming dini hari tanpo wedang kopi. [eB/KamisWage-20102022]
sungguh begitu pentingnya berkoordinasi dan melakukan komunikasi yang baik dan setara antar aktor. dalam rangka membangun sinergi dalam giat kemanusiaan
BalasHapusmohon maaf tulisan ini hanyalah cerita belaka cerita ngalor ngidul menggunakan ilmu othak athik gathuk yang menghubungkan data dengan cerita dari kolega yang memposting di grup whatsapp. mungkin bisa dijadikan pembelajaran untuk kasus yang sama
BalasHapus