Konon, forum pengurangan resiko bencana
(F-PRB) Jatim ini dibentuk dengan tujuan menjadi jembatan antara Pemerintah,
masyarakat (relawan penanggulangan bencana) dan Dunia usaha, dalam mencegah dan
meminimalisir resiko, mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas
masyarakat dalam menghadapi bencana.
Sehingga keberadaan forum ini bisa
menjadi pendorong penyusunan kebijakan, dan perencanaan pembangunan berbasis
pengurangan resiko bencana.
“Forum ini terdiri dari
pemerintah, pengusaha maupun organisasi masyarakat. Kita harus bahu membahu
membangun dan bersinergi untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama, yaitu
terbangunnya masyarakat tangguh bencana” kata Hendro Wardhono, Ketua Unsur
Pengarah BPBD Jawa timur, yang juga seorang dosen di UNITOMO, Surabaya.
Untuk itulah bersamaan
dengan berakhirnya efouria erupsi Gunung kelud, F-PRB Jatim, dengan dukungan
AIFDR, mengadakan acara Apresiasi dan Refleksi Penanganan Respon Letusan Gunung
Kelud. Kegiatan ini diikuti berbagai elemen masyarakat yang terlibat dalam aksi
kemanusiaan saat gunung Kelud berulah mengeluarkan ribuan kilo material pasir.
Acara yang digelar pada
tanggal 22 23 Mei 2014, bertempat di Hotel Utami, Sidoarjo, bertujuan menarik
pembelajaran atas sejumlah isu yang terkait respon darurat sebagai bahan untuk
penyusunan SOP Kedaruratan tingkat Provinsi di Jawa Timur. Mengingat di Jawa
Timur ada beberapa gunung api yang aktif dan perlu diwapadai.
Beberapa hal yang muncul
ke permukaan, sesuai dengan pengalaman relawan yang telah melaksanakan tugas
kemanusiaan, diantaranya, yang perlu mendapat perhatian adalah, masalah Posko
Induk, hendaknya mencatat relawan yang datang dan mengarahkan ke lokasi bencana
sesuai dengan kemampuannya. Hal ini untuk menghidari relawan bergerak sendiri
dengan membawa bendera dan kepentingannya sendiri.
Termasuk memanfaatkan
keberadaan relawan untuk memantau bantuan yang perlu segera di distribusikan ke
pos penampungan pengungsian secara merata. Sehingga logistik yang menumpuk di
gudang posko induk tidak dibiarkan rusak, busuk atau diselewengkan oleh oknum.
Memang kendala utama
pengelolaan bantuan di posko induk adalah prosedur yang mbulet tidak jelas dan
saling lempar tanggung jawab.
Di sisi lain, koordinasi antara relawan, aparat
dan pemerintah desa sampai kabupaten yang masih lemah, sehingga sering salah
paham, belum jelas siapa melakukan apa dimana dan hasilnya bagaimana. Semua
bekerja sesuai nalurinya masing-masing untuk menangani apa yang bisa ditangani,
membantu sesamanya yang terkena musibah.
Untuk itulah perlu upaya
menyelaraskan antara rekomendasi yang dibuat dengan kondisi, dinamika dan
issue-isue penanggulangan bencana saat ini, sehingga bisa mengubah cara
penanggulangan bencana yang reaktif menjadi penanggulangan yang preventif
melalui pengurangan resiko bencana yang melibatkan pemerintah, masyarakat dan
dunia usaha untuk meminimalisasi dampak bencana.
Poin lain yang juga muncul
adalah upaya penanaman ‘sadar bencana dan cinta lingkungan’ yang harus
dilakukan sejak anak usia dini. Untuk itulah F-PRB perlu melakukan pendekatan
kepada Kantor Dinas Pendidikan agar mereka peduli dan memberikan ruang untuk
penyuluhan masalah PRB di setiap sekolah. Tak lupa sosialisasi PRB juga bisa
memanfaatkan keberadaan majlis taklim, PKK, kelompok yasinan dan sejenisnya,
yang banyak berkembang di desa sebagai salah satu bentuk kearifan lokal.
Untuk itulah forum sepakat
bahwa nilai-nilai Kearifan lokal harus selalu didorong untuk dikembangkan dalam
program pengurangan resiko bencana, agar tumbuh budaya tangguh bencana dalam
rangka membentuk desa tangguh bencana, melalui simulasi dan publikasi.
Di sela jeda acara
diskusi, Ada pameran foto kegiatan penanggulan erupsi Gunung Kelud hasil
jepretan kamera relawan dengan berbagai gaya dan karakternya. Juga ada
penampilan kesenian tradisional sebagai wujud kearifan lokal.
Kabupaten malang, kali ini
menampilkan kesenian topeng khas malangan, Kabupaten Blitar menghadirkan
tradisi Larung Sesaji Sedekah Bumi, sedang Kabupaten Kediri memamerkan seni tradisional
Jaranan (kuda lumping) lengkap dengan barongannya.
Tentunya masih banyak
kesenian lain yang bisa ditampilkan sebagai wujud kekayaan dan keragaman
budaya, untuk itulah perlu digali terus kearifan lokal dan ditampilkan dalam
acara-acara seremonial, sebagai warisan kepada anak cucu, calon pewaris negeri.
Yang jelas, masyarakat
lereng gunung Kelud boleh diacungi jempol karena sudah mengerti tentang
bagaimana bersahabat dengan alam. Mereka relatif sudah siap dan paham bahaya
bencana erupsi Kelud, sehingga cepat ngungsi, baik mandiri maupun yang
dikoordinasikan oleh pemerintah setempat bersama relawan.
Artinya disini, melalui
informasi tentang pentingnya PRB kepada masyarakat, utamanya warga yang berdiam
di kawasan resiko bencana, akan tumbuh kesadaran untuk siap siaga dan mampu
mengevakuasi sendiri sebelum bantuan dari luar datang. Inilah yang harus
dilestarikan.
Harapan dari aneka cerita
pengalaman itu, nantinya bisa mewarnai upaya pendokumentasian segala kontribusi
para pihak yang terlibat dalam penanganan respon darurat letusan gunung api
Kelud, serta penyusunan bahan pembelajaran dan rekomendasi dari para pihak
terkait Aktivasi rencana kontijensi menjadi rencana operasi, Pengelolaan pusat
pengendali operasi, komunikasi dan informasi dalam situasi darurat, Masalah
logistik kedaruratan, Sosialisasi pendidikan kebencanaan di sekolah,
sosialisasi PRB kepada masyarakat, masalah proses evakuasi, Akuntabilitas dalam
penanggulangan bencana, partisipasi masyarakat dan lembaga usaha dalam
penanggulangan bencana.
Semoga kegiatan ini ada
RTL yang baik, benar dan diketahui oleh berbagai pihak. Bukan RTL yang bermakna
rencana tidak lanjut karena memang bukan termasuk program berkelanjutan.
Untuk itulah, kedepan,
perlu ada pertemuan terjadwal F-PRB yang difasilitasi oleh BPBD maupun lembaga
donor yang peduli kepada PRB dalam rangka pendataan relawan untuk meningkatkan
kapasitasnya, sehingga mudah untuk koordinasi dan mobilisasi, ketika
tugas-tugas kemanusiaan memanggil.[eBas/26mei14]
SALUT UNTUK RELAWAN GUNUNG KELUD
BalasHapusPasca erupsi gunung Kelud, yang ditandai oleh pulangnya pengungsi ke rumah masing-masing, acara selanjutnya adalah, benah-benah rumah dan lingkungan dari semburan pasir Kelud. Banyak rumah yang gentengnya pecah, tanaman palawija layu menguning, begitu juga dengan pohon durian, papaya dan kelapa, buahnya banyak yang mengering, masih menggantung pada dahan dan ranting.
Dengan penurunan status gunung Kelud, dari awas menjadi waspada, TNI dan POLRI, dibantu relawan dari berbagai organisasi (besar profesional mapan, maupun kecil amatir mandiri modal tekat doang), memulai tugas diluar perang, melakukan pengabdian kepada derita masyarakat terdampak.
Secara naluri, mereka membagi diri, membantu apa saja yang harus dibantu, semampunya. Ada yang benah-benah masjid dan mushola, ada yang memasang genteng rumah warga, ada yang bersih-bersih lingkungan dan jalan desa dari sisa reruntuhan bangunan, dan pohon tumbang, serta mengumpulkan pasir yang berserak dimana-mana.
Semuanya bekerja dengan gembira, saling menolong, membaur bersama masyarakat untuk mempercepat pemulihan tatanan hidup yang sempat terkoyak erupsi.
Warga setempat pun, dengan ikhlas menyediakan konsumsi ala kadarnya untuk relawan, untuk mereka yang rela berdatangan ke desanya, melakukan tugas kemanusiaan sebagai wujud kepedulian kepada sesama warga bangsa.
Ya, masyarakat berbaur dan bekerjasama dengan berbagai relawan yang datang secara sukarela, yang kadang juga membawa kepentingan masing-masing. Ada relawan dari lembaga swadaya masyarakat, relawan dari pabrik, dari kantor/instansi (negeri maupun swasta), dari kampus maupun relawan dari lembaga keagamaan.
Umumnya, relawan jenis ini datang sambil membawa aneka bantuan, seperti sembako, bahan bangunan, terpal, handuk, sarung, mukena, tikar, odol, sabun, sikat gigi, pakaian dalam, pembalut wanita, buku bacaan, minyak goreng, kecap, roti (biskuit dan wafer), air kemasan, pakaian bekas layak pakai, cangkul, sekrop, ember, kayu usuk, reng dan bantuan lain yang dibutuhkan masyarakat.
Ya, sesungguhnyalah, bermacam-macam posko dari berbagai kelompok yang bertebaran di desa terdampak itu, memberi bantuan dengan cara dan gayanya masing-masing. Sumbangan donator dan dermawan dari berbagai daerah ini, ada yang di drop ke posko, maupun langsung dibagikan kepada warga yang ditemui.
Yang jelas, diperlukan pengelolaan bantuan yang adil dan merata, juga perlu pengawasan agar tidak memberi kesempatan kepada oknum yang nakal. Karena, dari berbagai cerita relawan dan wartawan yang meliput, ternyata tumpukan bantuan yang melimpah di posko itu, sangat rawan dipermainkan oleh oknum yang pandai memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, untuk menari diatas penderitaan orang lain.
Di sisi lain, masih saja ada warga yang belum mendapat bantuan dari posko secara signifikan, sehingga beberapa kali terjadi penghadangan dan penurunan paksa aneka bantuan oleh warga yang lapar. Ini bisa terjadi karena lemahnya pendataan oleh posko, sementara data yang dilaporkan oleh relawan masih sering diabaikan.
Silih berganti relawan datang dan pergi. Ada yang pulang karena sudah lama bertugas atau ada kepentingan lain. Posisinya pun langsung diisi oleh relawan yang baru datang, tentu dengan gaya yang berbeda, namun tetap membawa satu misi, kemanusiaan.
Hujan, panas dan semilirnya angin lembah Kelud, dinikmati bersama oleh TNI POLRI dan Relawan. Bersama dalam kondisi darurat menyelesaikan tahap rehab rekon pasca erupsi, agar kehidupan masyarakat bisa segera kembali normal seperti sedia kala, bahkan jika mungkin, bisa lebih baik lagi, sesuai konsep daya lenting yang selalu difatwakan oleh Syamsul Maarif, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Tiada kata yang terindah untuk diucapkan, selain kata salut buat relawan Kelud, yang siap membantu dan memberi bantuan. Setitik baktimu untuk negeri akan tercatat dalam sejarah penanggulangan bencana. Salam kemanusiaan.*[eBas]