Sabtu, 20 Februari 2021

KETIKA RELAWAN BERBAGI CERITA

“Ingat lho ya bahwa relawan itu bukan pemain utama di dalam penanggulangan bencana. keberadaannya hanyalah pemain pembantu. Sedang pemain utamanya adalah pemerintah daerah setempat,” Kata Pak dhe, mengingatkan teman-temannya yang baru pulang dari lokasi bencana banjir di Kabupaten jombang. Mereka adalah relawan yang menyumbangkan tenaganya untuk membantu warga setempat yang menjadi korban banjir, dengan tetap mentaati protokol kesehatan.

Apa yang dikatakan Pak dhe itu sesuai dengan Undang-undang nomor 24 tahun 2007, tentang penanggulangan bencana. Pada pasal 5 jelas disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggungjawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Dengan demikian keberadaan relawan hanyalah membantu atas nama kemanusiaan, serta melaksanakan aturan main yang ditetapkan oleh Posko Induk sebagai pemegang komando dalam penanggulangan bencana. begitulah amanat Undang-undang.

Malam itu Jamaah LC jagongan di warung kopinya Cak Kin. Sambil ngopi, mereka bergantian berbagi cerita tentang suka duka selama beraktiitas di lokasi banjir.

Agar tidak salah paham, Jamaah LC itu adalah kumpulan relawan dari berbagai organisasi yang sering ngopi bareng sambil ngobrol apa saja tanpa tema tertentu semua berjalan alami, yang penting menambah wawasan dan informasi. Sepulang ngopi bikin hati hepi, jauh dari iri dan dengki. Begitulah keberadaan jamaah LC yang jarang bisa hadir semua karena kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan.

Konon, menurut warga setempat, banjir tahun ini sangat besar, yang memaksa semua mengungsi beberapa hari. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal ini terjadi, disamping intensitas hujan yang tinggi, juga adanya tanggul jebol yang memperparah keadaan.

“Saya di dapur umum, membantu mengupas bawang dan brambang, juga kacang panjang. Sementara yang lain menanak nasi dan menyiapkan lauk pauknya. Konsumsi itu akan dibagikan ke penyintas, maupun kepada relawan,” Kata Cak Alfin.

Menurut Ketua Jamaah LC ini, ternyata membungkus nasi itu perlu keterampilan. Jika cara membungkusnya tidak rapi biasanya akan mengurangi selera makan para penyintas. Bahkan jika lagi apes akan di paido banyak orang.

Makanya di dapur umum itu diperlukan tenaga yang cukup banyak untuk membantu pengemasan konsumsi sehingga cepet terdistribusikan. Ini penting agar warga yang sedang kena musibah tidak resah. Jika dibiarkan berlama-lama akan mendatangkan marah.

Begitu juga Cak nDaru, Ning Dinda, dan Pak Budi sibuk melayani keperluan penyintas semampunya. Sementara Cak Probo bercerita tentang adanya oknum warga yang melakukan pencegatan mobil yang membawa bantuan. Hal ini menyebabkan pos pengungsian yang terpencil jarang mendapat bantuan. Sehingga diperlukan kemampuan berkomunikasi agar bebas dari gangguan oknum.

“Banyak baju layak pakai sumbangan dari berbagai pihak yang tidak terbagikan sehingga menumpuk di pos yang didirikan relawan. Sukurlah ada relawan yang mau mengambil semuanya untuk dimanfaatkan,” Kata Cak nDaru, sambil menikmati pisang goreng.

Ya, banjir di Kabupaten Jombang telah mengundang berbagai komunitas relawan dari berbagai daerah. Mereka mendirikan pos peduli sendiri, atau bergabung dengan yang sudah ada.

Mereka juga membawa bantuan untuk dibagikan ke warga yang terkena musibah. Diantaranya berupa terpal, tikar, selimut, sarung, makanan bayi, pembalut, pempers, dan aneka makanan cepat saji.

Di sisi lain, banyak juga relawan yang langsung membawa bantuan ke pos pengungsian tanpa laporan dulu ke staf BPBD yang ada di Posko Induk. Hal ini mejadikan proses distribusi logistik dan bantuan lain ke warga tumpang tindih (agak semrawut). Akibatnya ada yang mendapat banyak, ada pula yang terlambat mendapat.

Ada pula rombongan dari kantor atau perusahaan tertentu yang datang hanya menyerahkan bantuan sambil foto-foto kemudian pergi entah kemana. Begitu juga beberapa pejabat datang, bicara dengan relawan dan warga di tenda pengungsian diserta selfi sana sini untuk kemudian pamitan. Apakah yang dibicarakan itu akan direalisasi atau hanya basa basi, kiranya sulit dipahami.

Semakin malam, jagongannya semakin gayeng. Ceritanya pun beragam sesuai pengalaman masing-masing aktor. Tak terasa mBak Pus sudah habis dua gelas es batu dan segelas es the manis. Sementara Pak Heru baru pesan secangkir kopi untuk yang ke dua. Begitu juga dengan gorengan dan kerupuk turut meramaikan suasana jagongan.

Ketika disinggung peran BPBD setempat dalam mengkoordinir relawan  di lapangan. Tidak ada jawaban pasti. Semua hanya saling pandang. Hal ini dimungkinkan karena SKPDB kurang berjalan, Begitu juga rapat koordinasi yang seharusnya digelar setiap malam di Posko Induk yang diikuti oleh berbagai pihak (perwakilan pentahelix), tampaknya belum berjalan.

Sehingga yang terjadi, semua komunitas mengambil inisiatif sendiri melayani dan membantu masyaratkat di masing-masing pos pengungsian yang didirikan secara swadaya. Bahkan ada yang bilang bahwa masyarakat lebih senang minta bantuan ke relawan dari pada ke Posko Induk yang tempatnya agak jauh dengan penerapan prosedur yang dinilai ribet. Sementara relawan “nyah nyoh” ketika dimintai bantuan.

Malam pun kian larut, mendung juga menggelayut. Sesuai aturan PPKM, warung harus segera tutup. Peserta jagongan pun satu satu undur diri sambil berharap semoga BPBD setempat tidak mengalami nasib seperti BPBD Sulawesi barat yang diduga menggelapkan dana untuk korban bencana.  

Sementara itu ada pinta dari Pak dhe yang menggelayut di pundak Cak Alfin, agar obrolan yang bermakna ini dijadikan bahan diskusi webinar. Dengan aplikasi zoom meeting, bisa diikuti oleh seratus relawan ini temanya “mengkaji ulang praktek SKPDB”. Ini penting agar pelayanan satu pintu dalam penanggulangan bencana itu nyata adanya. Salam Tangguh, Salam Sehat. [eBas/SabtuPahing-20022021]

   

  

 

 

 

  

3 komentar:

  1. ada baiknya jika pengalaman relawan saat tanggap darurat "melayani" para penyintas dan berbagai kendala yang terjadi selama di lapangan itu dijadikan bahan masukan kepada pemangku kepentingan untuk bahan evaluasi dan menyusun kebijakan kebencanaan di masa yg akan datang. termasuk perlunya BPBD melakukan sosialisasi SKPDB agar komunitas relawan yang akan ikut berpartisipasi di lokasi bencana memahami pentingnya laporan ke posko induk, berkoordinasi dengan posko induk dan lainnya. begitu juga sebaliknya pposko induk benar2 bisa berfungsi setiap hari dengan keterlibatan SKPD seperti yang tercantum dalam dokumen renkon

    BalasHapus
  2. Perlu adanya pengkajian dan pemahaman yang lebih tentang SKPDB, baik bagi pemerintah maupun relawan..

    BalasHapus
  3. mungkin pengurus SRPB dan Forum prb bisa duduk bareng dengan bpbd merancang sebuah sarasehan yg membahas ttg materi SKPDB. sehingga semua paham. untuk kemudian saat ada bencana bpbd bersama instansi terkait dan relawan setempat langsung menerapkan SKPDB ... pasti nanti akan menjadi pembelajaran yang menarik untuk di duplikasi ke daerah lain saat terjadi bencana.
    memang tidak mudah tapi harus segera dilakukan agar tidak ruwet dan ruwet.
    mungkin yg paling sulit menertibkan adalah para wisatawan bencana yg datang secara tiba-tiba tak terduga

    BalasHapus